Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21. Larangan
Arunika turun dari mobil, Purnomo sang ayah telah memberi peringatan padanya. Ia pun berjanji akan lebih memprioritaskan kuliahnya. Hatinya masih gelisah—bayangan kemarin saat buru-buru menyeret ayahnya pergi dari hadapan Raka terus terulang. Ia takut sang ayah benar-benar tak percaya padanya hanya karena ia terlihat berjalan bersama Raka.
"Ayo, Ayah," ajaknya lirih, langkahnya sedikit tergesa. Tangannya refleks meraih tangan besar Purnomo. Lelaki itu menatap tajam ke arah Raka yang berdiri mematung. Sorot mata Purnomo dingin, jelas masih menyimpan tanya.
"Siapa dia?" suaranya berat, terlontar begitu mereka masuk mobil.
Arunika menunduk, sibuk memasang sabuk pengaman. "Teman SMA… sama-sama lolos bebas tes masuk," jawabnya pendek.
"Ayah pernah lihat dia dulu," sahut Purnomo datar.
Sesudah itu, tak ada kata lagi. Hanya keheningan yang menekan sepanjang perjalanan. Arunika menatap keluar jendela, dadanya sesak. Ia benci sunyi yang seperti ini—bukan karena hening, tapi karena dinginnya tatapan sang ayah.
"Nik!" suara riang membuatnya menoleh.
Media datang dengan dress panjang, rambutnya diikat kuda. Senyumnya seperti biasa, lebar dan tulus.
Arunika menatap sebentar. "Kamu cantik," ujarnya lirih, hampir tanpa ekspresi.
"Ah, bisa aja kamu!" Media terkekeh sambil meraih lengan Arunika.
Mereka berjalan beriringan menuju kelas. "Baru dari mana?" tanya Arunika, suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh riuh mahasiswa lain.
"Habis pemberkatan di gereja," jawab Media dengan nada lembut. Arunika hanya mengangguk, tak menambah tanya.
Tak lama, Raka turun dari mobilnya. Langkahnya tergesa, tapi saat masuk lobi ia hanya bisa melihat punggung Arunika yang sudah menjauh bersama Media. Napasnya terhela panjang.
"Nanti… waktu istirahat aku harus bisa ketemu," gumamnya penuh tekad.
Di kelas, Arunika dan Media duduk di barisan paling depan. Itu pilihan Media, bukan Arunika. Ia terlalu malas berdebat, jadi hanya menurut.
Dosen botak masuk, nadanya galak. "Absen! Tidak ada titip, saya keliling!"
Satu per satu nama dipanggil. Arunika mengangkat tangan singkat ketika namanya disebut, lalu kembali menunduk. Pensilnya segera bekerja begitu dosen mulai menulis di papan.
Sesekali dosen melempar pertanyaan dadakan. Arunika terkejut, tapi suaranya nyaris bergetar saat menjawab. Begitulah—ia tidak pandai bicara di depan banyak orang, meski tahu jawabannya.
Saat kuliah selesai, mahasiswa bersorak lega. Suara tawa dan obrolan memenuhi ruangan.
"Gila! Mau mampus Gue!"
"Alhamdulillah, akhirnya!"
Lalu satu persatu semua mahasiswa keluar kelas. Kecuali Media dan Arunika. Keduanya masih duduk, lebih tepatnya Media yang menatap lurus Arunika.
Arunika tetap duduk, membuka bekalnya. Tangannya sibuk mengunyah pelan, pikirannya masih kusut.
"Nik," panggil Media, mencondongkan tubuh.
"Hm?" sahut Arunika pelan tanpa menoleh.
"Kamu nggak fokus tadi." Tatapan Media meneliti wajah sahabatnya.
Arunika hanya menghela napas. Bukan berarti ingin mengabaikan, hanya… kata-kata selalu sulit keluar.
Media menepuk meja pelan. "Kalau kamu mau cerita, aku siap. Tapi kalau belum siap, juga nggak apa-apa!"
Arunika menatap temannya sebentar, lalu kembali menunduk. "Sebenarnya…" suaranya memudar. Kata berikutnya lenyap ditelan kerongkongan.
Media mendengus kesal, lalu menyambar bakwan jagung dari bekal Arunika.
"Hei!" protes Arunika lirih, matanya membesar.
"Kalau kamu nggak mau ngomong, ya udah! Jangan setengah-setengah gitu," sahut Media sambil mengunyah.
Sudut bibir Arunika terangkat tipis, nyaris tak terlihat. Tingkah Media selalu berhasil melelehkan kegugupannya.
Akhirnya ia berani membuka suara lagi. "Raka… kemarin," gumamnya pelan.
Media meneguk minumannya, mengangguk-angguk. "Kalau aku jadi bapak kamu, ya pasti sama. Nggak bakal suka lihat anak gadis jalan bareng cowok."
Arunika menatapnya lama, lalu menunduk lagi. "Semua ayah… begitu?" suaranya lirih, lebih seperti gumaman untuk dirinya sendiri.
Media tertawa kecil, menghabiskan tahu goreng terakhir dari bekal sahabatnya. "Coba deh pikir. Kalau kamu jadi ayah, rela anak gadismu dekat sama cowok yang entah siapa?"
Arunika terdiam. Ia tahu jawabannya. Dan itulah yang paling membuat dadanya berat.
"Run!" sebuah suara besar di depan pintu, keduanya menoleh.
"Eh ... Kok Gue ikutan noleh!" sungut Medi yang merasa konyol.
Raka membawa ransel masuk dan mengambil kursi. Ia meletakkan kursi itu di depan Arunika yang baru saja menghabiskan makanannya.
"Apa perlu Gue pergi?" tanya Medi, tetapi tangan Arunika lekas menggapai lengannya dan menahan dirinya berdiri.
"Kamu tetap di sini Med!" suruh Raka tak masalah.
"Run!" sambungnya lagi,.matanya tak ia alihkan hanya pada Arunika.
"Ya," jawab Arunika pelan.
"Aku minta nomor kamu!" ujar Raka lalu mengeluarkan ponselnya.
Setengah ragu, mata Arunika masih melirik Media. Temannya itu hanya mengelus tangan Arunika.
"Baiklah," Arunika mengeluarkan ponselnya.
"Tapi maaf, aku nggak bisa simpan nomormu," ujar Arunika pelan.
Raka tertegun sebentar, tapi ia ingat tatapan sosok ayah gadis di depannya. Tatapan tajam Purnomo masih membekas dan membuatnya sulit tidur.
"Aku ngerti Run," ujarnya lagi.
Medi sedikit jengah, karena ia memang seperti setengah obat nyamuk. Raka sama sekali tak menatapnya. Tapi, cengkraman tangan Arunika yang dingin. Membuat ia tetap bertahan untuk sahabatnya itu.
'Dia mau fokus sama kuliahnya dulu!" celetuknya tak tahan bisu lama-lama.
Barulah tatapan Raka beralih begitu juga Arunika. Media malah nyengir kuda.
"Aku juga mau serius kuliah kok!' sahut Raka, lalu kembali menatap Arunika.
"Aku harus lulus dengan nilai baik," lanjutnya .
Arunika tak banyak menjawab. Ia hanya menunduk, mengusap jemari sendiri. Tapi ada sesuatu di matanya—cahaya kecil yang tak bisa ia sembunyikan.
Media bersandar di kursinya, nyengir lebar. “Ya ampun, kalian berdua ini… kayak drama slow motion. Untung ada aku, kalau nggak, pasti bisu bareng!”
Arunika menepuk tangannya pelan, setengah malu. Raka terkekeh kecil, dan untuk sesaat, beban di dada Arunika terasa lebih ringan.
Mata kuliah selesai, dosen keluar diikuti semua mahasiswanya. Arunika dan Medi keluar belakangan. Bertepatan mereka keluar, Raka telah menunggu.
"Aku duluan ya!' seru Media lalu berlari kecil meninggalkan keduanya.
Arunika hanya bisa membuka mulut, tapi kata-katanya tak keluar. Raka mendekat.
"Aku hanya sebentar, memastikan kamu baik-baik saja!" ujar Raka yang membuat rona merah menjalar hingga telinga Arunika.
'Oke, kamu boleh jalan duluan. Aku ikutin kamu dari belakang!" suruh Raka.
Hati Arunika menghangat, ia merasa Raka begitu dewasa dan tidak memaksakan kehendak. Ia salut dengan emosi Raka.
Sampai depan lobi, sebuah mobil BMW berhenti. Arunika tersenyum, lalu masuk ke dalam. Ia menoleh, tak ada Raka di sana, kemungkinan sembunyi. Ia tersenyum kecil.
'Raka,' gumamnya dalam hati.
Kendaraan roda empat itu pun berjalan menjauh. Raka keluar dari persembunyiannya, ia menghela nafas panjang melihat mobil yang ditumpangi Arunika menjauh.
"Ah ... Beratnya jatuh cinta!" gumamnya kesal. Lalu ia pun melangkah ke halaman parkir menuju kendaraannya.
Bersambung.
Uh ... berat ya ...
Next?
kamu bisa datang d saat kamu sudah siap dalam hal apapun,buat ayah Purnomo terkesan dengan perjuangan mu