—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”
Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.
Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.
Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.
Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.
Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?
Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?
Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
“Aku tidak mau bertemu Ferlay…” suara Ara nyaris bergetar, meski ia berusaha terdengar tegas. “Tidak sekarang. Tidak nanti…”
Elvero memandangi wajah Ara dengan ekspresi sulit dibaca. Ada keraguan, ada iba. Tapi lebih dari itu—ada rasa ingin tahu yang tak tertahankan, yang akhirnya membuatnya bertanya, pelan tapi mantap, “Kalian dulu sangat dekat. Apa yang terjadi?”
“Ferlay sudah mengurusmu semenjak bayi,” lanjut Elvero, nyaris seperti mengingatkan dirinya sendiri. “Dulu… Kau mengekorinya ke mana-mana. Kau bilang akan menikahinya kalau sudah besar.”
Ara membuang pandang. Bibirnya bergetar pelan. “Tidak lagi,” bisiknya. “Aku… aku tidak mau lagi.”
Sejenak ruangan terasa sunyi.
Sangat sunyi.
Elvero akhirnya bicara lagi, lebih pelan. “Ferlay akan tetap mencarimu, Ara. Dia bukan orang yang berhenti begitu saja.”
Kael mengangkat kepalanya perlahan, menatap Elvero. Menyalakan rokoknya. Tidak bersuara.
Mata Elvero mengamati gerakan itu.
Kael tak menatap siapa pun, tapi keberadaannya cukup untuk mengubah suhu ruangan. Ada sesuatu yang berubah di udara. Sesuatu yang tak terlihat—tapi sangat bisa dirasakan.
Ara memeluk dirinya sendiri.
Entah mengapa, setelah mengucapkan penolakan terhadap Ferlay, ada bagian dari dirinya yang merasa… semakin terikat pada sosok di belakangnya ini.
Dan itu membuatnya takut.
Tapi juga membuatnya… tak bisa menjauh.
“Aku tidak mau” tolak Ara lagi.
“Ara…Kalau kau tidak jujur padaku. Bagaimana Aku bisa membantumu” kata Elvero akhirnya. “Apa yang terjadi diantara Kalian ?. Apa ini ada hubungannya dengan tunangannya yang bunuh diri dan Kematian Caleb ?”
Ara menggigit bibirnya.
Rasanya seperti ditelanjangi hidup-hidup.
Kael tidak bergerak. Tapi pandangannya, yang tadinya menatap Elvero, perlahan bergeser… menatap Ara.
Samar. Seolah sedang menunggu apakah gadis itu akan mengatakan sesuatu—atau berbohong lagi.
“Aku tidak tahu,” suara Ara akhirnya keluar. Lirih. Patah. “Aku… aku tidak tahu yang mana yang lebih membunuhku…”
Ia menatap Elvero, lalu Kael, lalu kembali pada dirinya sendiri.
“Yang mereka lakukan padaku…”
“…atau yang aku biarkan terjadi.”
Ara menunduk, bahunya gemetar. Suaranya nyaris seperti bisikan, tapi beratnya kata-kata itu membuat seluruh ruangan terasa runtuh.
“Tragedi itu…” ucapnya.
“Sepenuhnya bukan salah Caleb. Bukan juga Ferlay. Aku juga… Aku juga bersalah.”
Elvero mematung. Kata-kata Ara menampar pikirannya dengan bingkai baru—satu yang tak pernah ia bayangkan.
Kael tetap diam. Tapi rokoknya padam, dan dia tak menyalakan yang baru. Tangannya masih menggenggam batang itu, seperti ada tekanan besar yang tak bisa dilampiaskan ke mana pun.
“Aku tahu aku bodoh,” katanya, pelan—terlalu tenang untuk rasa sakit sebesar itu.
“Aku tidak peka. Terlalu naif. Aku pikir… tidak apa-apa. Karena itu Ferlay.”
Ia tertawa, pendek. Tapi tak ada sedikit pun kegembiraan di sana.
“Kupikir dia tidak akan pernah menyakitiku. Karena selama ini… dia yang selalu menjagaku. Menggendongku. Membelaku. Bahkan menggantikan ibuku saat aku sakit.”
“Tapi aku lupa…” suaranya menurun, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.
“Orang yang paling berbahaya… bukan orang yang menunjukkan minat.”
Ara mengangkat wajahnya perlahan, menatap kosong ke depan. Suaranya nyaris tidak terdengar.
“Orang paling berbahaya… adalah orang yang paling keras menghindariku.”
Sejenak, hanya ada diam.
Elvero menegang. Kael masih berdiri di belakangnya, tak bergerak, tapi ruang di sekitarnya seperti tertarik oleh kehadirannya—dingin dan tajam, seperti pisau yang sudah dicabut tapi belum diarahkan.
Ara menghela napas, dalam. ““Aku tidak tahu kapan semua mulai berubah,” lanjutnya. “Mungkin sejak Mama meninggal. Atau mungkin lebih jauh lagi. Sejak… dia datang kembali.”
Ara memejamkan mata.
Mencoba mengingat masa-masa sebelum semuanya berubah.
Sebelum pelukan terasa rumit.
Sebelum tatapan jadi menyesakkan.
Sebelum ia tahu bahwa cinta bisa jadi lebih mengerikan daripada kebencian.
Kali ini dengan suara lebih tegas. “Tapi kau harus mendengarkannya sampai akhir. Karena aku pun belum tahu di mana bagian yang salah.”
Ia menghela napas. Lalu tersenyum samar.
...****************...
Lyeria Bardansah—10 Tahun
“Tuan Putri, Tuan Ferlay Pulang!” seru pelayan dari ujung lorong, nadanya penuh antusias yang sudah lama tak terdengar di rumah itu.
Lyeria baru saja melepas sepatu ketika kata-kata itu menghantam dadanya seperti petir kecil—membakar perasaan rindu yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Ferlay…
Dada gadis itu bergetar. Tangannya yang masih memegang tas sekolah langsung melepaskannya begitu saja di lantai. Ia berlari tanpa berkata apa-apa, gaunnya mengepak seperti sayap burung yang tak sabar pulang ke sarangnya.
Ia tahu harus kemana.
Ia tidak perlu bertanya.
Karena hatinya selalu tahu ke mana arah yang dituju saat nama itu disebut.
Orang itu—Ferlaynya—pasti ada di taman samping utara.
Tempat di mana matahari sore menyentuh dedaunan dengan lembut. Tempat yang dulu, saat ia masih kecil, menjadi dunia kecil milik mereka berdua.
Ia hampir tersandung anak tangga saat kakinya melompat dua-dua. Rambutnya berantakan. Napasnya memburu. Tapi senyum di wajahnya—itu bukan senyum anak bangsawan, bukan pula senyum putri Garduete.
Itu senyum seorang gadis kecil yang akhirnya menemukan bintang jatuhnya kembali.
Bagi Lyeria, Ferlay bukan hanya pelindung—dia adalah dunia pertama yang dikenalnya, bahkan sebelum ia bisa mengingat apa pun.
Saat Lyeria masih bayi, Ferlay yang waktu itu baru menginjak usia enam belas tahun, sudah seperti ayah kedua baginya. Bukan karena disuruh. Bukan karena kewajiban. Tapi karena Lyeria, sejak pertama kali menangis di dunia ini, menangis di dalam pelukan Ferlay.
Dialah yang mengganti popoknya di malam-malam panjang saat Yuki kelelahan.
Dialah yang membawanya keluar untuk berjemur pagi di taman istana Garduete, menyelimutinya saat angin datang, menyuapinya bubur, dan mengajari tangannya yang mungil meraih mainan.
Ferlay mengajarinya merangkak.
Mengajarinya berjalan.
Mengajarinya menyebut kata pertama—yang lucunya bukan “Ibu” atau “Ayah”, tapi “Lay.”
Sejak kecil,Lyeria selalu melekat padanya.
Ketika Lyeria demam, ia tidak akan tidur tenang sampai merasakan kehadiran Ferlay di dekatnya. Ferlay selalu tahu bagaimana menenangkan Lyeria —kadang hanya dengan duduk diam di pojok kamar, membaca buku sambil menjaga agar nyamuk tak mendekat.
Bagi Lyeria kecil, dunia terasa utuh jika Ferlay ada.
Tapi semuanya mulai berubah saat Lyeria berusia tujuh tahun.
Ferlay—yang dulu selalu ada, perlahan mulai jarang terlihat di istana. Ia pergi tanpa banyak kata. Menghilang dari rutinitas harian Lyeria seperti kabut yang tersapu angin. Tidak ada perpisahan, tidak ada penjelasan.
Orang-orang hanya berbisik.
Konon, Ferlay mengetahui sesuatu tentang masa lalu—tentang ibunya, Yuki, dan Lekky Darmount—yang membuatnya menjauh. Bahkan hubungannya dengan Riana, ayah Lyeria yang dulu seperti Ayah sendiri bagi Ferlay, perlahan merenggang menjadi jarak yang tak terjembatani.
Lyeria tak mengerti saat itu.
Yang ia tahu hanyalah: pelindungnya menghilang.
Ia menunggu. Hari demi hari. Minggu demi minggu.
Tapi Ferlay tidak kembali.
Dan sekarang Pria itu kembali
Langkahnya terhenti.
Di ujung taman yang diterpa cahaya keemasan senja, berdiri sosok itu. Tegap. Diam. Seperti bayangan yang selama ini hanya hidup dalam ingatan Lyeria—dan kini menjelma nyata kembali.
Ferlay.
Namun tidak seperti yang ia kenal dulu.
Pria itu… sudah berbeda.
Tubuhnya lebih tinggi, bahunya lebih lebar, dan garis wajahnya lebih tajam dari yang tersimpan di kepalanya. Ia mengenakan pakaian hitam yang tak menunjukkan lambang kerajaan manapun—ciri khas keluarga Darmount. Angin menyibakkan rambutnya yang kini lebih panjang dan acak. Sepasang mata tajam itu memandang langit seakan memikirkan dosa-dosa yang tidak pernah diceritakannya pada siapa pun.
Lyeria nyaris tidak mengenalinya.
Tapi jantungnya tetap berdetak seperti dulu.
Tidak peduli seberapa berubahnya Ferlay, Lyeria tetap menyukainya. Sama seperti saat ia masih kecil dan mencuri-curi tidur di pelukan pria itu ketika mimpi buruk datang.
Dia tahu, semua orang membicarakan Ferlay.
Bahwa ia kini mewarisi jejak pamannya—Lekky Darmount.
Bahwa ia menjalankan bisnis-bisnis gelap, memimpin keluarga pembunuh bayaran, dan turun tangan sendiri bila bayaran cukup tinggi.
Tapi di mata Lyeria…
Ferlay tetap yang pertama.
Dan tidak ada yang bisa menggantikannya.
Lyeria tak berpikir panjang.
Ia langsung berlari. Menghambur ke arah Ferlay seperti anak kecil yang menemukan rumah setelah tersesat di hujan. Rambutnya terurai, napasnya sedikit memburu, dan matanya—mata itu bersinar terang seperti dulu.
“Laylay!” serunya, nada manja dan penuh rindu.
Tanpa ragu, ia memeluk tubuh Ferlay yang kini jauh lebih besar. Aroma pakaian hitam Ferlay—sedikit logam, sedikit tanah, sedikit… darah—mungkin bisa dirasakan oleh orang lain. Tapi tidak oleh Lyeria.
Bagi Lyeria, itu tetap wangi rumah.
Ferlay, yang sejak tadi hanya berdiri diam, akhirnya merengkuhnya. Dengan mudah, ia mengangkat tubuh Lyeria dan menggendongnya seperti dulu. Tangannya kuat dan hangat. Namun tatapannya, saat menunduk menatap wajah Lyeria, tetap sama—dingin, dalam, dan menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak.
Ia tak mengatakan apa-apa.
Diam. Seolah kata-kata tidak perlu ketika Lyeria sudah ada di pelukannya.
Lalu terdengar suara dari dalam ruangan.
“Lyeria, jangan terlalu manja. Ferlay baru pulang,” suara itu tenang namun melelahkan.
Yuki.
Duduk di sofa, mengenakan kain lembut warna putih, tampak ringkih dan tenang seperti bunga yang baru saja kehilangan musim semi.
Dulu, Yuki adalah legenda.
Gadis petualang yang ditakuti dan dicintai banyak orang. Perempuan dengan darah tiga kerajaan yang pernah mengguncang dunia hanya dengan satu keputusan.
Namun kini tubuhnya ringkih.
Sejak melahirkan Lyeria, tubuhnya tak pernah pulih sepenuhnya. Ia tahu batasnya adalah tiga kelahiran. Tapi ketika ramalan mengatakan anak keempat akan datang membawa perlindungan—Yuki tetap memilih melahirkan.
Ia memilih menahan napasnya demi kehidupan yang belum lahir.
Dan sekarang, kehidupan itu ada di pelukan Ferlay—anak yang bukan darahnya, tapi menjaganya seolah Lyeria adalah miliknya sendiri.
Lyeria memeluk Ferlay lebih erat lagi, wajahnya bersemu merah.
Seolah ingin menunjukkan pada ibunya bahwa ia sudah cukup besar.
Bahwa ia tidak hanya manja.
Tapi juga… jatuh cinta.