 
                            Keputusan gegabah membuat Sekar harus menderita, suami yang ia terima pinangannya 5 tahun lalu ternyata tak membawanya ke dalam kebahagiaan. Sekar harus hidup bersama ibu mertua dan kedua iparnya yang hanya menganggapnya sebagai pembantu.
Sekar yang merasa terabaikan akhirnya memilih kabur dan menggugat suaminya. Bagaimana kisah selanjutnya?
Ikuti ceritanya setiap episode. Aku mohon jangan di lompat. Terima kasih 🙏🏼
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mami Al, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian ketiga
Malam harinya di kamar tidur, Sekar merebahkan tubuhnya di samping suaminya. Ia kemudian bertanya mengenai sosok Ayu kepada pria itu.
"Dia memang mantan kekasihku," Reno memberikan jawaban.
"Sepertinya dari dulu kalian memang sudah akrab?" sindir Sekar.
"Apa 'sih, kamu? Itu 'kan masa lalu, memang Ayu sangat akrab dengan keluargaku. Jadi, kamu tidak usah cemburu," kata Reno kesal diungkit cerita masa lalunya.
"Ibu dan kedua adikmu membanggakan dia," ucap Sekar.
"Jelas mereka bangga, Ayu yang hidupnya mapan masih ingat dengan keluarga kami," kata Reno yang tak memikirkan perasaan istrinya.
"Apa Mas Reno masih mencintainya?" tanya Sekar.
"Kamu bicara apa, sih?" Reno balik bertanya.
"Aku 'kan cuma tanya saja. Siapa tahu Mas Reno masih menyimpan perasaan kepada Ayu," jawab Sekar.
"Aku juga belum pernah bertemu dengannya lagi," kata Reno.
"Mbak Ayu sangat cantik," ucap Sekar memuji kecantikan mantan kekasih suaminya.
"Aku capek mau tidur!" kata Reno kemudian memejamkan matanya begitu juga dengan istrinya.
Baru saja mata terpejam, terdengar suara ketukan pintu yang memanggil nama Sekar. Wanita itu pun terbangun dan membuka pintu kamarnya.
"Lala dan Lulu lapar. Buatkan mie instan rebus!" titah Lastri.
"Aku sangat ngantuk, Bu!" tolak Sekar karena memang dirinya begitu lelah.
"Jangan banyak alasan, cepat kerjakan!" paksa Lastri.
"Iya, Bu!" kata Sekar malas. Ia pun keluar kamar dengan langkah malas.
"Ini uangnya, Kak!" Lulu yang menghampiri Sekar lantas menyerahkan uang lima ribu.
"Kalian saja yang membelinya, biar aku siapkan air rebusannya!" kata Sekar.
"Sekar, ini sudah larut malam. Jangan suruh mereka ke warung, kamu saja yang membelinya!" ucap Lastri karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.
"Kalau mereka yang beli, masakannya jadi cepat selesai!" Sekar beralasan.
"Kamu aja yang membelinya!" Lastri tetap memaksa menantunya.
"Baiklah!" kata Sekar dengan terpaksa.
Sekar pun berangkat ke warung yang lebih jauh dari rumah mertuanya dengan berjalan kaki karena warung yang biasa ia belanja sayuran dan sembako sudah tutup.
Sesampainya di warung tujuan, Sekar pun membeli 3 bungkus mie instan sesuai pesanan. Setelah itu, ia kembali ke rumah dengan berjalan kaki.
Ditengah perjalanan, langkahnya terhenti ketika ada seorang pria yang menggunakan sepeda motor mendekatinya. Sekar tampak ketakutan apalagi jalanan sangat sepi.
"Maaf, Mbak. Saya mau menumpang tanya," kata pria yang ditaksir usianya hampir sama dengan Reno.
"Ya, mau tanya apa?" Sekar berkata dengan berusaha menahan rasa ketakutannya.
"Saya mau tanya rumahnya Pak Karman," ucap pria itu yang masih memakai helm.
"Pak Karman yang penjual nasi uduk?" Sekar memastikan bahwa yang dicari adalah tetangganya pedagang makanan.
"Iya, Mbak."
"Mas, lurus saja dari sini terus ketemu perempatan jalan. Tak jauh dari perempatan jalan, di sebelah kiri ada tenda dagangan warna hijau. Di situlah rumahnya Pak Karman," jelas Sekar.
"Kalau begitu, terima kasih, Mbak!" ucap pria itu tersenyum.
"Sama-sama!" Sekar membalasnya dengan senyuman singkat. Ia kemudian berjalan terburu-buru.
Sesampainya di rumah, Sekar bergegas ke dapur memasak pesanan mertua dan iparnya. Selang 10 menit kemudian, ia lalu menghidangkan kepada ketiganya. Perut Sekar mulai terasa lapar lagi, apalagi mencium aroma khas mie instan. Namun, ia tak berani memintanya.
"Jangan tidur dulu, cuci mangkok kami!" kata Lastri sebelum Sekar meninggalkan ruang televisi.
"Besok saja aku cuci piringnya, Bu!" ucap Sekar karena ia tak mungkin menunggu ketiga selesai makan. Mata dan perutnya tak dapat diajak kompromi. Ia sangat mengantuk dan juga lapar tetapi ia memilih tidur.
"Malam ini saja!" kata Lastri.
"Biarkan saja Kak Sekar tidur, Bu. Mangkok bisa dicuci besok pagi!" kata Lulu.
"Ah, ya, sudahlah. Pergilah kamu tidur!" Lastri menggoyang tangan kirinya mengusir menantunya itu.
***
Keesokan harinya, seperti biasanya Sekar lebih awal bangun dari tidurnya daripada penghuni lainnya yang ada di rumah. Ia sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.
Sebelum memasak Sekar mencuci mangkok dan panci bekas memasak mie rebus. Setelah itu ia menggiling cabe merah dan bawang. Ia akan memasak tempe dan tahu sambal.
Selesai memasak, Sekar menyajikannya di meja makan begitu juga dengan nasi putih. Setelah itu lanjut mencuci pakaian sebelum putranya bangun tidur.
"Sekar!!!" panggil Lastri 1 jam kemudian saat menantunya sedang menjemur pakaian.
Sekar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh, "Iya, Bu. Ada apa?"
"Ibu tidak selera makan lauk hari ini. Kamu belikan nasi uduk tempat Pak Karman!" perintah Lastri menyodorkan uang 10 ribu.
"Beli berapa, Bu?" tanya Sekar.
"Dua bungkus saja dengan lauk perkedel kentang dan semur ayam," jawab Lastri.
"Arya enggak dibelikan juga, Bu?" tanya Sekar karena ia juga mau anaknya dapat menikmati sepotong ayam.
"Dia makan pakai tempe goreng saja!" jawab Lastri.
"Ya sudah, Bu!" kata Sekar kemudian berlalu.
Sekar berjalan kaki menuju warung Pak Karman yang berjarak 300 meter. Di sana, ia harus menunggu karena banyaknya pembeli. Warung sarapan Pak Karman termasuk paling ramai di lingkungan tempat tinggal mertuanya.
"Beli apa, Mbak?"
Sekar yang sedang melamun, terperanjat dan menoleh ke arah suara. "Beli nasi uduk!"
"Beli berapa?" tanya pria yang sepertinya baru dilihat Sekar.
Sekar menjawab jumlah pesanannya serta lauk pauknya.
"Tunggu sebentar, ya!" kata pria itu kemudian menghampiri Pak Karman.
Selang 5 menit, pria itu kembali menghampiri Sekar lalu menyodorkan kantong plastik dan menyebutkan total harga belanjaannya.
Sekar menyerahkan uangnya dan mendapatkan kembalian lalu melangkah pergi.
"Tunggu, Mbak!"
Sekar menghentikan langkahnya dan bertanya, "Ada apa, ya?"
"Apa Mbak yang semalam saya temui?"
Sekar mengernyitkan keningnya, ia berusaha mengingat wajah pria yang ada dihadapannya.
"Saya yang bertanya rumahnya Pak Karman."
"Oh," ucap Sekar baru ingat.
"Kita bertemu lagi, ya!" kata pria itu tersenyum.
Sekar membalasnya dengan senyuman tipis dan singkat.
"Rumah Mbak di mana?"
"Hmm, saya buru-buru. Permisi!" kata Sekar dengan langkah cepat meninggalkan tempat. Ia tak mau terjadi salah paham, apalagi dirinya sudah memiliki suami.
"Dia sudah menikah dan punya anak, Ryan!" kata Pak Karman kepada keponakannya yang terus memandangi Sekar dari kejauhan.
"Masa, sih, Paman?" tanya Ryan yang tak yakin.
"Jadi, kamu pikir Paman berbohong," jawab Pak Karman.
"Bukan begitu, Paman. Tapi, dia tak seperti wanita yang sudah menikah," kata Ryan.
"Mungkin karena tubuhnya kurus," ucap Pak Karman asal.
Ryan yang mendengarnya manggut-manggut.
"Jangan ganggu dia, cari wanita lain saja yang belum bersuami!" kata istri Pak Karman menasehati.
"Aku tidak mungkin mengganggu istri orang, kok, Bi!" ucap Ryan.
"Bagus kalau begitu!" kata istri Pak Karman lagi.
Sementara itu, Sekar sudah tiba di rumah. Ia menyerahkan kantong berisi nasi uduk kepada mertuanya sekaligus uang kembalian.
"Kenapa lama sekali?" tanya Lastri protes.
"Ramai yang beli, Bu. Jadi, aku harus ngantri," jawab Sekar.
"Ya sudah sana, lanjutkan pekerjaanmu!" kata Lastri sembari membuka bungkusan makanannya.