Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Ruang rapat utama di lantai 21 Sanggana Group tampak elegan.
Dinding kaca bening dengan pemandangan kota, meja kayu hitam panjang, dan layar besar di ujung ruangan yang menampilkan logo, SANGGANA GROUP × KLINIK CASTELLA MEDIKA
Collaboration Proposal Presentation.
Chesna datang lebih awal.
Ia berdiri di dekat jendela, berusaha mengatur napas.
Jantungnya seperti tak tahu aturan, memukul terlalu keras setiap kali pintu lift berbunyi.
Sampai akhirnya suara itu datang. Langkah berat, mantap, dengan ritme teratur.
Pintu terbuka.
Dan di ambang sana, Gideon Sanggana berdiri.
Ia mengenakan setelan abu tua, dasi gelap, dan tongkat penyanggah di sisi kanan.
Kacamata tipis membingkai wajah yang kini lebih tegas, lebih matang, datar, murung... tapi sorot matanya... sama persis.
Mata yang dulu menatapnya dengan penuh perasaan, kini menatapnya dengan sesuatu yang jauh lebih rumit, rindu yang disembunyikan.
Gideon berhenti beberapa langkah dari meja.
Tatapan mereka bertaut cukup lama untuk membuat udara di ruangan itu menegang.
Keduanya diam, tapi di antara diam itu ada puluhan kalimat yang tak pernah sempat diucapkan.
“dr. Chesna Castella Abram,” suara Gideon akhirnya terdengar, berat tapi bergetar halus.
“Selamat datang di Sanggana Group.”
Chesna mencoba tersenyum. “Terima kasih, Tuan Sanggana.”
Suara profesional, tapi matanya tak bisa membohongi getar halus di dalamnya.
Beberapa staf yang ikut rapat menatap bergantian, merasa suasana aneh tapi tak paham apa.
Mereka tak tahu bahwa di depan mereka bukan sekadar dua profesional yang hendak bekerja sama, tapi dua hati yang pernah saling menyimpan rasa, lalu sama-sama patah oleh waktu yang begitu lama.
Presentasi dimulai.
Chesna menjelaskan proposal pengembangan pusat rehabilitasi saraf.
Bahasanya tenang, tegas, dan elegan. Tapi setiap kali Gideon menatapnya, pikirannya buyar sejenak.
Tangan yang dulu pernah ia genggam di taman bukut saat malam hari itu, kini menekan pointer dengan percaya diri. Gideon memperhatikan setiap kata, tapi pikirannya sama kalutnya.
Ia tak lagi melihat diagram dan angka, ia hanya melihat perempuan yang dulu sangat ia sukai, perempuan pertama yang membuatnya jatuh hati dan kini berdiri di hadapannya sebagai seseorang yang jauh lebih kuat dari yang ia bayangkan.
“Konsep ini berfokus pada pemulihan saraf pasien dengan trauma ekstrem,” kata Chesna sambil menatap layar. “Termasuk kasus paraplegia dan kehilangan penglihatan pascakecelakaan.”
Gideon menunduk sedikit, topik itu terlalu dekat dengan masa lalunya. Namun ketika Chesna melanjutkan, tanpa sadar ia menatapnya lama dan suara lembut itu menusuk jauh ke dalam dada.
Begitu presentasi selesai, ruangan hening sejenak. Semua mata beralih pada Gideon, menunggu tanggapannya.
Ia menegakkan tubuh, suaranya tenang tapi dalam. “Kerja samanya menarik. Tapi aku ingin memastikan… semua prosedur dijalankan dengan pengawasan langsung dari pihak klinik. Khususnya oleh… Dokter Chesna sendiri.”
Beberapa staf tampak saling berpandangan.
“Langsung oleh saya?” tanya Chesna hati-hati.
Gideon menatapnya, bibirnya menahan senyum samar. “Aku percaya, tak ada yang lebih memahami hal ini… selain kau sendiri.”
Kalimat itu seperti hantaman lembut yang membelah keheningan.
Chesna terdiam. Ia menatapnya, mata itu, suara itu, semuanya kembali dalam satu kedipan waktu.
Tapi sebelum ia sempat membalas, Gideon berdiri.
“Pertemuan selesai. Terima kasih, Dokter.”
Ia berbalik perlahan, langkahnya mantap meski bertumpu pada tongkat.
Dan tepat sebelum keluar dari ruangan, ia menoleh sedikit, senyum nyaris tak terlihat di sudut bibirnya.
“Senang akhirnya bisa melihatmu lagi, Ches.”
Pintu tertutup.
Ruangan itu kembali hening.
Namun bagi Chesna, jantungnya masih berdetak secepat tadi, karena dua belas tahun penantiannya, barusan berakhir dalam satu tatapan.
Malam sudah turun, langit kota J kelabu dengan sisa rintik hujan.
Ketika Chesna melangkah masuk ke rumah besar keluarga Abram, seisi rumah langsung tahu ada sesuatu yang berbeda darinya malam itu.
Bukan lelah, bukan marah.
Tapi ada sesuatu di balik matanya… campuran antara terkejut, haru, dan sesuatu yang sudah lama coba ia kubur.
“Selamat malam, Dokter Hebat!” seru Lila, adik bungsunya, dari ruang tengah sambil menonton drama Korea. “Tumben banget pulang nggak tengah malam. Klinik kebakaran, ya?”
Chesna hanya menaruh tas, tidak membalas gurauan itu.
Tatapannya kosong sejenak sebelum akhirnya duduk di sofa.
Melihat itu, Lila langsung menghentikan drama di TV-nya.
“Eh, Kak, kamu kenapa? Dari tadi diem banget. Mukamu kayak abis lihat masa lalu.”
Belum sempat Chesna menjawab, Miko muncul dari arah dapur, membawa cangkir teh hangat.
“Kalau kamu mulai diam, itu artinya ada sesuatu,” katanya tenang.
“Cerita, Nak. Apa yang terjadi di klinik hari ini?”
Chesna menatap ayahnya lama. Lalu, dengan nada pelan tapi mantap, ia berkata,
“Dia kembali, Pah.”
Lila langsung duduk tegak. “Dia? Siapa? Jangan bilang-”
“Gideon.”
Keheningan langsung turun.
Lila membulatkan mata. Ayahnya menatap lekat, memastikan ia tidak salah dengar.
“Gideon Sanggana?” tanya Miko pelan.
Chesna mengangguk.
“Ya, Yah. Gideon… teman yang papa bilang sudah seharusnya kulupakan. Aku ada rapat kerjasama dengan Sanggana Grup hari ini dan-” suara Chesna melemah,
“-dia melihatku, Pa. Dengan matanya sendiri.”
Ayahnya menatapnya lama. Lalu menarik napas panjang. “Jadi penglihatannya kembali?”
“Ya. Dan dia bisa berjalan, walaupun dengan tongkat penyanggah.”
Lila menatap kakaknya seperti tak percaya. “Astaga… berarti dia sembuh? Setelah dua belas tahun?!”
“Dua belas,” sahut Chesna lirih. “Dua belas tahun dia berjuang. Dua belas tahun aku menunggu kabarnya, tanpa tahu apakah dia masih hidup, apakah dia masih ingat aku.”
Lila menggigit bibir, sementara Miko menaruh cangkir tehnya di meja.
“Dan sekarang, setelah semua tahun itu berlalu, dia kembali tepat di depan kakak.”
Chesna mengangguk perlahan. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Papa tahu… aku sudah mencoba melupakan, tapi aku nggak bisa. Setiap pasien yang datang dengan luka saraf berat, setiap kali aku meneliti sistem regenerasi saraf aku selalu ingat dia. Aku jadi dokter saraf bukan karena cita-cita, tapi karena rasa bersalah. Aku cuma ingin suatu hari nanti, kalau aku bisa menyembuhkan orang lain… aku mungkin bisa menebus kesalahanku ke Deon.”
Miko terdiam. Tatapan matanya melembut, tapi juga penuh iba.
“Chesna…”
“Tapi hari ini, Pah… aku sadar. Aku nggak gagal. Dia sembuh. Tapi... bahakan tidak menanyakan kabarku.”
Chesna menunduk, suaranya bergetar.
“Dia berhasil. Dia kuat . Dan itu… entah kenapa, malah bikin dadaku sesak.”
Lila yang dari tadi diam akhirnya memeluk bahu kakaknya.
“Kak… mungkin dia butuh waktu.”
Chesna tersenyum tipis, tapi air matanya makin deras.
“Kalau begitu, aku mau percaya sekali lagi, Lil.
Mungkin… Tuhan ngasih aku kesempatan kedua. Entah untuk menutup luka, atau justru membukanya kembali.”
Dr. Miko menatap putrinya dalam-dalam.
“Kesempatan, Nak, tidak selalu datang dua kali. Tapi kalau datang, jangan biarkan rasa takut membuatmu buta lagi.”
Chesna menghapus air matanya, mencoba tersenyum.
“Yah… aku nggak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Tapi jujur, aku pengen dia tahu kalau aku selama ini menunggu dia.”
Lila menatapnya dengan wajah campur antara haru dan tak sabar.
“Berarti kakak jatuh cinta.”
Chesna menatapnya.
“Dulu, dia ngejar-ngejar aku Lil. Dia perhatian tiap hari selalu ada buat aku. Tapi liat sekarang-”
Hening sesaat.
Lila akhirnya berkata pelan, “Kak, aku rasa kakak harus nemuin dia lagi. Bukan sebagai dokter, tapi sebagai Chesna yang dulu.”
Chesna menarik napas panjang, lalu berdiri.
“Aku lega dia sudah kembali. Tapi aku gak akan membahas perasaan dengannya. Cukup melihat dia bisa berdiri aja sudah cukup. Lagi pula sudah dua belas tahun. Tidak mungkin perasaannya masih sama. Biarlah, tak apa.”
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??