Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 3
Malam itu, Jenia masih terjaga di kamar kosnya yang sederhana. Lampu meja kecil menyala temaram, sementara di luar jendela, hujan turun perlahan membasahi jalanan kota. Earphone-nya sudah rusak sejak insiden pagi tadi, jadi ia hanya bisa menatap langit-langit kamar tanpa ditemani musik yang biasanya jadi pelipur lara.
“Kenapa aku begini sih…?” bisiknya lirih.
Bayangan Bastian terus muncul di kepalanya. Senyum samar, tatapan yang menusuk, dan kenyataan bahwa pria itu sudah memiliki kekasih semua bercampur menjadi perasaan asing yang menyesakkan.
Keesokan harinya, Jenia kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Ia harus bekerja paruh waktu di sebuah kafe kecil untuk menutupi kebutuhan sehari-hari sambil menunggu pengumuman hasil wawancara. Leony sempat menemaninya sebentar sebelum kembali ke rumah, sedangkan Jenia memilih lembur.
Saat sedang sibuk membersihkan meja pelanggan, pintu kafe berbunyi. Jenia menoleh sekilas, lalu seketika tubuhnya kaku.
"Bastian..???"
Ia masuk dengan langkah tenang, kemeja biru muda yang digulung sampai siku membuatnya tampak santai tapi tetap berwibawa. Di sampingnya, tidak ada Vita. Ia datang sendirian.
Jenia buru-buru menunduk, berharap Bastian tidak menyadarinya. Namun, ternyata justru suara bariton itu memanggilnya.
“Permisi, bisa pesan di sini?”
Deg..Jenia mengangkat wajahnya perlahan. Mata mereka bertemu lagi.
“Oh, iya… silakan duduk, saya ambilkan menu,” jawabnya terbata-bata.
Bastian hanya mengangguk, tatapannya tetap terjaga pada Jenia seakan mencoba mengingat sesuatu.
Beberapa menit kemudian, Jenia mengantarkan segelas kopi pesanan Bastian ke mejanya. Namun, saat hendak meletakkan gelas itu, tangannya sedikit gemetar hingga kopi hampir tumpah.
Refleks, Bastian meraih tangannya.
“Pelan-pelan… kamu baik-baik saja?” suaranya terdengar lebih hangat daripada sebelumnya.
Jenia menunduk cepat, menarik tangannya kembali. “Maaf… saya agak lelah, Pak.”
Bastian menatapnya lama. Ada sesuatu di wajah gadis itu yang membuatnya merasa pernah dekat, meski ingatannya kabur.
“Namamu… Jenia, ya?” tanyanya tiba-tiba.
Jenia terdiam. Hatinya mencelos mendengar namanya disebut dari bibir pria itu. Ia hanya mengangguk singkat, lalu buru-buru berpamitan untuk melayani pelanggan lain.
Malam semakin larut, kafe sepi. Bastian masih duduk di pojok, tidak beranjak. Ia tampak sibuk dengan ponselnya, namun sesekali melirik ke arah Jenia.
Saat hendak keluar, ia mendekat ke kasir.
“Terima kasih kopinya… enak. Oh iya, semoga kita bisa sering bertemu lagi,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
Jenia terpaku, tidak bisa menjawab apa-apa selain senyum kikuk. Setelah Bastian pergi, ia langsung terduduk lemas di kursinya.
Kenapa dia harus bilang begitu? batinnya gelisah.
Sementara itu, di mobilnya, Bastian bersandar dengan pikiran yang kacau.
“Jenia… nama itu… aku yakin pernah dengar dulu,” gumamnya.
Ingatan samar tentang seorang gadis yang selalu ada di organisasi kampus, yang sering memperhatikannya diam-diam, mulai muncul. Namun ia belum bisa memastikan.
Di sisi lain, Vita mengirim pesan panjang ke ponsel Bastian.
Sayang, aku nggak sabar besok ikut kamu ke kantor…
Bastian menatap layar ponsel itu lama. Entah mengapa, wajah Jenia justru yang terlintas lebih dulu di benaknya malam itu.
Hari pengumuman penerimaan kerja akhirnya tiba. Pagi itu, Jenia berangkat lebih awal, berharap jika ia diterima maka ini akan menjadi awal baru untuk hidupnya. Sesampainya di lobi, ia melihat banyak wajah baru yang sama-sama menunggu giliran untuk dipanggil.
“Selamat pagi. Untuk nama Jenia Pradipta Prameswari, dipersilakan naik ke lantai lima belas,” ucap seorang staf HRD.
Degup jantung Jenia bertambah cepat. Ia meraih map kecil berisi berkas yang diminta, lalu melangkah masuk ke lift. Saat pintu terbuka di lantai 15, ia tertegun. Ruangan itu jauh lebih megah daripada bayangannya penuh dengan kaca besar, meja panjang elegan, dan pemandangan kota yang terlihat jelas dari balik jendela.
“Selamat bergabung, Mbak Jenia,” ucap salah seorang staf. “Mulai hari ini, Anda resmi bekerja di perusahaan kami.”
Jenia menahan senyum haru. Ia menunduk sopan sambil mengucap terima kasih.
Namun kebahagiaannya seketika terusik saat melihat sosok yang baru masuk ruangan.
"Bastian??" reflek Jenia yang membuat staf yang berada di hadapannya langsung menoleh. "kamu kenal pak Bastian??" tanya staf itu. Jenia lantas menggeleng karena ia tidak ingin menjawab pertanyaan apapun. "hmm.. baiklah, pak Bastian adalah Ceo Perusahaan kita, jadi harus baik-baik di depan beliau karena ia sangat tidak friendly!!" ucap sang staf mengingkatkan. Jenia hanya mengangguk patuh, ia hanya mengelus dada saat tahu Bastian adalah atasan di kantornya itu.
sementara Bastian dengan pakaian kerja rapi, ia berjalan didampingi seorang wanita cantik berpenampilan glamor. Vita.
“Sayang, jadi ini kantormu? Wah, keren banget!” ucap Vita sambil menggandeng lengan Bastian erat-erat.
Jenia menunduk, berusaha menghindari tatapan mereka. Tapi justru langkah Bastian terhenti sejenak begitu melihatnya berdiri di sudut ruangan bersama staf HRD. Pandangan matanya menelusuri wajah Jenia, kali ini lebih lama daripada sebelumnya.
“Bos, ini karyawan baru yang tadi pagi mulai bekerja,” jelas salah satu staf.
“Hmm…” Bastian hanya mengangguk singkat, namun sorot matanya sulit ditebak.
Vita yang sedari tadi memperhatikan justru tersenyum miring. Ia menangkap sesuatu yang aneh dari cara Bastian melihat gadis itu. Dengan cepat ia menggandeng lebih erat lengan kekasihnya, seolah ingin menunjukkan kepemilikan.
Hari pertama kerja Jenia tidak berjalan mudah. Ia ditempatkan di divisi yang kebetulan masih berada di bawah supervisi langsung Bastian. Sepanjang rapat siang itu, ia berusaha fokus pada catatan dan instruksi, meski sesekali ia bisa merasakan tatapan pria itu mengarah padanya.
Sementara Vita, yang diundang Bastian sekadar berkeliling kantor, terlihat tidak senang. Saat istirahat, ia mendekati meja Jenia dengan senyum manis yang terasa menusuk.
“Kamu Jenia, ya? Aku dengar kamu karyawan baru di sini,” ucap Vita sambil menyilangkan tangan di dada.
“I-iya, Mbak,” jawab Jenia sopan.
“Bagus. Semoga kamu betah ya. Oh ya… hati-hati, kerja di sini berat, apalagi kalau atasanmu setegas Bastian,” ucapnya sambil menepuk bahu Jenia pelan, lalu berlalu meninggalkan aroma parfum yang menyengat.
Jenia terdiam. Ia tahu kata-kata itu bukan sekadar basa-basi, melainkan semacam peringatan halus.
Malam harinya, setelah semua karyawan pulang, Jenia masih lembur merapikan dokumen. Ia tak sadar ada seseorang yang masih berada di ruangannya.
“Kenapa belum pulang?” suara bariton itu terdengar dari belakang.
Jenia menoleh. Bastian berdiri bersandar di pintu, dasinya sudah dilepas, lengan kemejanya digulung, membuatnya tampak lebih santai.
“Saya… hanya ingin menyelesaikan pekerjaan, Pak,” jawab Jenia pelan.
Bastian berjalan mendekat. Jarak mereka hanya beberapa langkah.
“Kalau terlalu lelah, jangan dipaksa. Di sini bukan cuma soal kerja keras, tapi juga kerja cerdas,” ucapnya tenang.
Jenia menunduk, jantungnya berdebar. “Baik, Pak. Terima kasih atas sarannya.”
Namun saat ia mengangkat wajah, mata mereka kembali bertemu. Ada keheningan yang sulit dijelaskan, seakan waktu berhenti.
Dan untuk pertama kalinya, Bastian tersenyum samar padanya.
Di tempat lain, Vita yang baru saja sampai di rumah tidak berhenti menatap layar ponselnya. Ia membuka galeri berisi foto-foto Bastian dan dirinya, lalu bergumam pelan dengan tatapan penuh curiga:
“Jenia… siapa sebenarnya kamu?”