Amira 22 tahun menikah kontrak dengan Ferdi baskara untuk biaya kesembuhan ayah angkatnya.
Amira bar-bar vs Ferdi yang perfeksionis
bagaimana kisah tom and Jery ini berlangsung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku mau mencekiknya
“Bu, jadwal operasi akan dilakukan lusa,” ucap seorang perawat pada wanita setengah baya bernama Rahayu. Wanita yang selama ini merawat amira
“Lho, kok sudah ditetapkan jadwalnya? Saya kan belum ada uangnya,” jawab Rahayu dengan wajah melas.
“Oh, anak Ibu sudah membayarnya kemarin. Jadi kami langsung menjadwalkan operasinya,” jelas perawat.
Rahayu tertegun sejenak. “Oh… begitu ya? Terima kasih, Bu.”
“Baik, jaga kesehatan Bapak, ya. Nanti malam akan ada pemeriksaan dari dokter Amora. Beliau hanya datang sebulan sekali karena praktiknya di berbagai negara. Jadwalnya padat, tapi Ibu beruntung. Kali ini beliau mau tinggal seminggu karena katanya penyakit Bapak unik, jadi ingin ditangani langsung olehnya.”
“Baiklah, Bu,” jawab Rahayu singkat.
Perawat meninggalkan ruangan.
“Bu… maafin Bapak merepotkan Ibu terus,” ucap Yono, suaminya, dengan suara lirih.
“Maaf… maaf… itu saja terus. Kalau dari dulu berhenti merokok, pasti nggak sampai begini. Yang repot kan Amira lagi,” jawab Rahayu ketus.
“Ibu kok galak banget sama Bapak. Orang sakit itu butuh dukungan, bukan tekanan mental seperti ini,” Yono menggenggam tangan istrinya.
Air mata menggenang di pelupuk Rahayu. “Aku cuma kasihan sama Amira, Pak. Pagi, siang, sore dia banting tulang cari uang buat kita. Padahal… dia bukan anak kita. Aku jadi nggak enak. Makanya, Bapak cepat sembuh, ya. Setelah ini berhenti merokok.”
“Iya…” Yono hanya mampu mengangguk singkat.
Suasana kamar mendadak hening.
Beberapa menit kemudian Yono membuka suara, pelan namun tegas, “Bu, kalau umur Bapak nggak panjang, jangan sampai rahasia itu terbongkar.”
Rahayu menoleh kaget. “Kenapa, Pak? Apa Bapak mau bawa rahasia itu sampai mati?”
“Nyawa Ibu bisa dalam bahaya kalau Amira tahu jati dirinya. Amira memang baik, tapi apa keluarganya akan menerima kalau anak mereka dulu kita culik, kita besarkan seadanya, dan sekarang malah harus menanggung beban kita? Amira bukan dari keluarga biasa, Bu.”
“Ah… tenang saja. Sepertinya Amira memang dibuang. Kalau nggak dibuang, mana mungkin keluarganya nggak bisa menemukan dia? Mereka punya kekuasaan luas, bukan hanya di negeri ini tapi juga di Asia,” ucap Rahayu, seperti menenangkan dirinya sendiri.
“Mudah-mudahan saja begitu Bu. Bapak hanya takut, kalau Bapak nggak ada, kamu akan diburu keluarga amira” lirih Yono.
Kesunyian kembali menyelimuti ruangan.
Pasangan suami istri itu diliputi dilema: Amira, anak yang mereka besarkan penuh cinta, mungkin suatu hari akan tahu siapa keluarga aslinya. Padahal Amira sudah menjadi alasan mereka berubah. Yono, mantan maling, berhenti mencuri sejak merawat Amira. Rahayu, mantan pekerja seks, meninggalkan masa lalunya demi merawat anak itu.
Mereka hidup miskin, tapi pantang membiarkan Amira dihina.
Amira sendiri adalah anak yang unik. Tak pernah marah saat disebut “anak gembel” atau “anak pemulung.” Justru ia sering tersenyum seolah hinaan itu hiburan. Yang membuat orang heran, Amira justru senang jika dimarahi. Semakin keras orang berteriak, semakin lebar senyum di bibirnya.
Namun ada satu kelemahannya: Amira tidak bisa menerima kekerasan fisik.
Pernah suatu kali, seorang anak laki-laki bertubuh besar memeluknya. Seketika Amira menghajarnya habis-habisan hingga wajah anak itu tak berbentuk. Di sekolah pun pernah terjadi, seorang guru menamparnya. Akibatnya, guru itu harus dirawat karena gegar otak—Amira mengamuk tak terkendali.
Amira bisa menahan hinaan, tapi sabarnya setipis tisu ketika tubuhnya disentuh paksa.
“Bu?” suara Yono memecah lamunan istrinya.
“Apa sih? Ngagetin saja. Ibu lagi melamun,” balas Rahayu.
“Bu… Amira dapat uang dari mana ya?” tanya Yono, penuh curiga.
“Iya, dari mana ya? Dia kan cuma tukang parkir plus jaga kafe,” Rahayu mulai gelisah.
“Mungkin dia jadi debt collector. Katanya, kalau Amira yang nagih, semua orang langsung bayar,” Yono menebak-nebak.
“Siapa, Pak, yang mau kasih komisi sampai seratus juta? Nggak masuk akal,” bantah Rahayu.
Yono menghela napas panjang, lalu tiba-tiba pikiran buruk melintas dikepalanya.
“Bagaimana kalau… Amira jual diri, Bu?”
“Ibu tidak terima pak,,ibu tidak terima kalau Amira sampai jual diri gara-gara ingin membuayai operasi bapak, biar kita saja yang rusak jangan sampai Amira yang rusak pak” ucap rahayu dengan suara gemetar.
“Coba hubungi Amira, Bu. Kita harus tahu kebenarannya. Kalau benar dia jual diri, bilang sama Amira, Bapak nggak mau dioperasi,” ucap Yono tegas.
Dengan tangan gemetar, Rahayu mengambil ponsel dan mencoba menelepon Amira. Namun berkali-kali panggilannya gagal.
“Tidak aktif, Pak…” bisik Rahayu, wajahnya pucat.
“Gimana dong, Pak?” tanyanya panik.
“Coba Ibu hubungi temannya Amira,” usul Yono cepat.
Rahayu segera menekan nomor Johan. Tak lama, suara di seberang menjawab.
“Jo, kamu tahu di mana Amira?” tanya Rahayu tergesa.
“Loh, emang nggak ada sama Ibu?” Johan balik bertanya heran.
“Kamu ini… kalau ada sama Ibu, ngapain Ibu nanya ke kamu!” suara Rahayu meninggi, emosinya bercampur cemas.
“Oh… iya, iya. Kemarin Amira dibawa ibu-ibu dengan banyak pengawal ke mobil mewah. Dia sempat bilang ada pekerjaan, Bu. Jadi ya aku biarin aja. Lagian kelihatannya orang-orang itu baik, bajunya rapi, banyak yang pakai jas hitam,” jelas Johan.
Rahayu tercekat.
“Apa? Kenapa kamu nggak bilang ke Ibu?” suaranya bergetar.
“Kirain aku Ibu udah tahu…” jawab Johan terbata.
“Oh ya sudah… terima kasih ya, Jo,” ucap Rahayu cepat lalu menutup telepon.
“Bagaimana, Bu?” tanya Yono, sorot matanya penuh kegelisahan.
Rahayu menarik napas panjang, lalu berkata lirih, “Katanya… Amira dibawa ibu-ibu yang dikawal banyak pria berjas hitam.”
Deg! Jantung Yono berdetak keras. Tangannya mencengkeram selimut.
“Mungkinkah… keluarga Amira sudah menemukannya?” gumamnya, wajahnya tegang.
.
.
Di kamar, Ferdi gelisah di sofa. Ia berguling-guling tanpa arah, harga dirinya terasa diinjak. Ia tuan rumah, tapi justru merasa seperti tamu.
"Apa aku cekik saja dia sampai mati? Tapi… kalau aku cekik, Ibu pasti marah besar. Lagian, Laras… kenapa malah pergi pas hari pernikahan? Ke mana sih kamu, Laras? Padahal kamu janji akan datang…" gumam Ferdi, kepalanya pening.
Ia menatap Amira yang tertidur lelap. Tekanan batin membuat pikirannya kacau.
"Mending aku cekik saja. Kalau mati, tinggal aku bilang dia terpeleset," pikirnya dengan tekad yang semakin bulat.
Ferdi berdiri, melangkah perlahan ke arah ranjang. Tatapannya penuh amarah bercampur frustrasi.
"Vampir… kamu harus mati. Kalau kamu masih hidup, aku yang akan mati. Kamu sudah memakai bajuku, tidur di kasurku… ini penghinaan," desisnya dalam hati.
Tangannya bergetar saat meraih sepasang sarung tangan dari lemari. Ia memakainya dengan rapi, seolah sedang menyiapkan ritual. Kemudian, Ferdi menatap bantal di sisi ranjang.
Ia mengubah rencana. Tadinya ingin mencekik dengan tangan kosong, kini ia memilih menutup wajah Amira dengan bantal—agar tak meninggalkan jejak.
Ferdi mengangkat bantal itu perlahan. Jantungnya berdetak cepat, napasnya memburu. Setiap langkah mendekat, tekadnya semakin kuat
Ferdi menngakat bantal dan siap menekan Amira sampai kehabisan nafas
fer kecintaan buangttt ma Kunti