Cinta yang di nanti selama delapan tahun ternyata berakhir begitu saja. Harsa percaya akan ucapan yang dijanjikan Gus abid kepadanya, namun tak kala gadis itu mendengar pernikahan pria yang dia cintai dengan putri pemilik pesantren besar.
Disitulah dia merasa hancur, kecewa, sekaligus tak berdaya.
Menyaksikan pernikahan yang diimpikan itu ternyata, mempelai wanitanya bukan dirinya.
menanggung rasa cemburu yang tak semestinya, membuat harsya ingin segera keluar dari pesantren.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nadhi-faa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Gosip mengenai pernikahan gus Abid semakin gencar dibicarakan. pembicaraan mereka sampai ke telinga gadis yang tengah asyik membingkai mawar satin yang dia buat.
"lo percaya gak sama gosip yang sedang beredar akhir-akhir ini?."
tanya talita sambil menutup kitab yang sedang dia hafal.
"entahlah..."
Jawaban harsa singkat, namun mengandung ke enggan untuk membicarakan hal itu.
gosip yang belum pasti itu sedikit mengusik pikirannya akhir-akhir ini. namun sebelum mendapatkan konfirmasi dari keluarga ndalem, harsa tak akan begitu percaya.
"neng harsa!!!"
Suara marwa, ketua kamar asrama yang harsa tinggali saat ini sedang ngos-ngosan.
Harsa dan talita menoleh bersama, suara marwa membuat mereka berdua cukup terkejut.
"ada apa mar?."
"Sampean di suruh ke kantor pengurus sekarang!!!."
Harsa menatap jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore.
"kenapa?."
"gak tahu neng."
jawab marwa cepat, tapi menyembunyikan sesuatu.
Harsa yang hanya menggunakan kaos pendek bergegas ke pojok kamar, untuk mengambil baju yang dia gantung disana bersama jilbabnya.
"di temani ngak sa?."
"enggak usah ta. gue ke kantor dulu."
"hati-hati beb."
harsa mengangguk, lalu dia keluar kamar. marwa tidak ikut, dia hanya menyampaikan perintah saja.
"kenapa dia dipanggil?." tanya talita.
marwa menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan talita.
"aku denger mau di sidang mbak?."
"di sidang?."
talita mengerutkan keningnya. untuk apa sahabatnya itu disidang jika tidak diam-diam pacaran dan ketahuan.
"siapa yang akan menyidang harsa, mar?."
"aku dengar-nya sich langsung ke gus abid, katanya dari santri putra menemukan surat atas nama neng harsa "
"oh my god.."
kini talita ingat. ah surat cinta botol jin yang dititipkan dari sahabat doi-nya itu.
"ya sudah, terimakasih infonya."
talita segera bangkit dan akan menyusul harsa.
Harsa sudah sampai didepan pintu kantor pengurus santri putri. namun yang bikin dia heran, semua pengurus putri bubar keluar.
"sampean di minta segera masuk neng."
ucap mbak pengurus dengan sopan, tapi tatapnya tidak begitu bersahabat.
Harsa mengangguk lalu segera masuk.
"kenapa gak ada yang tinggal didalam?." tanya salah satu pengurus.
"setidaknya neng elsa." lanjutnya.
Mereka yang ada disitu melirik kearah neng elsa.
"mungkin gus abid ingin privasi, masalahnya harsa kan adiknya." jawab teman elsa yang tengah berdiri disamping sahabatnya.
"tapikan gak sedarah."
"hus, jangan rame sendiri, udah kita tunggu saja hasilnya."
Bella selaku ketua pengurus menengahi.
"Assalamualaikum."
salam harsa sambil menutup pintu meski tidak sepenuhnya tertutup.
"waalaikumsalam."
Suara rendah nan berat namun cukup tegas itu hampir membuat harsa melonjak kaget. tatapannya langsung tertuju pada pria yang tengah duduk di depa meja sambil menatapnya sesaat.
Ini pertama kalinya pemilik mata bulat dengah iris coklat terang menatap pria pemilik mata teduh.
"mas abi."
spontan harsa memanggil nama pemuda yang tengah duduk menatap. Dia sedikit tak percaya jika yang duduk disana adalah mas abi-nya. sudut bibir gadis itu tersenyum, menarik sebagian pipinya hingga menimbulkan dua lesung pipit.
gus abid segera memotong kontak mata setelah menyadari pandangannya pada gadis kecil yang sudah tumbuh menjadi remaja.
"duduklah sa."
Harsa melangkah pelan, kini pandangannya tertunduk menghadap lantai. Dia sadar, kondisi saat ini berbeda, jika dulu dia akan meloncat-loncat dan berlari memeluk gus abid. saat ini dia harus menjaga marwahnya sebagai perempuan.
Dada harsa rasanya ingin meledakan kebahagaikan, bagaikan sekuntum mawar yang bertebaran.
Harsa segera duduk di kursi yang langsung menghadap gus abid, hanya meja yang menjadi penghalang mereka. dia tersenyum manis, tak hentinya menyiratkan perasaan bahagia yang amat dalam.
"kamu tahu mengapa kamu dipanggil?. " tanya gus abid tegas, namun sedikit ada kelembutan.
Didepannya adalah harsa, gadis yang tumbuh bersama dengannya dibawah asuhan ibunya.
harsa menggeleng. dia memang tidak tahu mengapa dia dipanggil ke kantor kepengurusan putri.
"Tadi malam pengurus putra melakukan penggeledahan, dan menemukan surat yang ditujukan kepada mu."
Harsa membulatkan matanya, keningnya mengkerut.
Didepannya gus abid menatap kearah jendela.
"terus kenapa mas?."
"dan tadi pagi pengurus putri juga menemukan surat di lemari mu."
pernyataan gus abid membuat harsa ingat tentang surat cinta semalam.
"aku gak pacaran."
Jawab harsa mantap. Dia menatap gus abid yang juga menatapnya, namun ekspresi pria didepannya menunjukkan ketidakpuasan akan jawabnya.
"lantas surat siapa yang kamu simpan di lemari mu?."
Harsa terdiam, dia berpikir keras untuk mencari jawabannya.
"itu..."
Harsa tak bisa berkata. matanya bergerak mengamati wajah gus abid.
"aku gak pacaran mas, memang itu surat dikirimkan ke aku, tapi aku gak membalasnya, sungguh..."
"tapi bukan berarti alasanmu dapat dipercaya harsa. siapa tahu santri itu membuang nya. umma dan abah pasti kecewa jika mendengar ini."
Harsa membulatkan matanya.
"tapi sungguh harsa gak pacaran mas."
"bukti sudah dibawa pengurus harsa. besok kalian akan di kenai takziran."
"mas abi gak percaya dengan ku!!."
kini suara harsa sedikit meninggi, menyimpan ke dongkolan yang amat sangat jelas terlihat dimata gus abid.
"sa, bukan begitu. tapi bukti..."
"ya, besok harsa akan terima takziran itu mas."
Harsa kecewa, ternyata pria yang dianggap tahu sifatnya itu tidak mempercayainya.
"kupikir mas abi tahu betul harsa..."
"sa,.."
Gus abid mendengus kesal. Sebenarnya dia tak ingin percaya, tapi bukti itu sangat jelas. memang pengurus tidak menemukan surat balasan dari harsa. namun pengurus putri menemukan surat-surat yang tidak hanya sedikit di lemari harsa.
Ah, ternyata selama ini adik angkatnya banyak yang melirik. gus abid sedikit kesal. Dari surat itu menunjukkan nama pria yang berbeda-beda.
"sebagai pembelajaran pagi santriwan dan santriwati, maka kamu akan ditakzir bersama tujuh santri putra."
Harsa bangkit dari duduk nya, dia sangat kesal atas tuduhan tak berdasar padanya itu.
"baiklah.." ucapnya, namun bibir kecil itu bergetar, harsa sangat kecewa dengan ketidak adilan yang diberikan padanya.
Harsa segera melangkah, namun ada sesuatu yang dia ingit ditengah langkahnya. dia kembali menoleh menghadap gus abid.
"selamat ya atas kelulusan S-3 nya mas."
ucap harsa ditengah dia menahan tangisnya.
Perkataan harsa mengingatkan gus abid tentang kondisi-nya saat ini.
"dek.."
Harsa yang akan pamit keluar mengangkat kepalanya.
"maaf..."
Entah mengapa gus abid ingin mengatakan hal itu, namun dia tak sanggup melihat mata coklat terang itu berkaca-kaca didepannya.
Namun lambat laun harsa pasti akan mendengar dari orang lain, jadi gus abid hanya ingin mengucapkan kata maaf tanpa harus menjelaskan.
"untuk?"
Tanya harsa, dia merasa tidak tenang, namun dia memilih berdiri ditempatnya.
"kamu bisa keluar sekarang..."
jawaban gus abid dengan wajah berpaling itu membuat harsa dilanda rasa kebingungan dan tanda tanya.
Harsa tak langsung pergi, dia masih berdiri menunggu penjelasan gus abid.
Hening, hanya deru nafas masing-masing. tiba-tiba harsa mengingat kembali gosip yang sering dibicarakan akhir-akhir ini. mengusik pikirannya, namun harsa mencoba menampiknya.
"apa benar mas akan menikah?."
Sebuah pertanyaan yang terlontar begitu saja dari bibir mungil yang menunggu jawaban.
Gus abid menghela nafas berat. dia masih memalingkan wajahnya pada harsa dan memilih diam.
"kamu bisa keluar sekarang dek..."
"apa itu benar?."
bukanya menuruti perintah, harsa malah mencerca dengan pertanyaan.
Gelagat tubuh dan wajah gus abid sudah memberikan jawaban bagi harsa, tapi gadis itu masih bersikukuh berdiri disana sebelum mendapatkan jawabannya secara langsung.
"Dengan siapa?."
pertanyaan kali ini sedikit bergetar. gus abid melirik adik angkatnya yang menatap dengan pandangan berkaca-kaca. Gus abid jadi ingat wajah harsa delapan tahun lalu.
gadis yang diam-diam menangis di belakang pesantren karena menangisi keberangkatannya ke kairo.
"harsa..."
"Mas minta maaf tidak bisa menepati janji itu.."
Brakkk...
Harsa mematung, air mata yang tadi menggunung di pelupuk mata itu terjun bebas ke pipinya. pandangannya pada gus abid bagaikan jendela buram. harapan lamanya yang dia nanti tiba-tiba retak, terhantam oleh ucapan pria yang begitu dia percaya.
harsa tersenyum pelan, namun giginya menggigit bibir bawahnya.
"Selamat mas."
Dua kata terucap dengan suara sendu itu menutup perbincangan mereka.
Harsa yang tadinya teguh berdiri di pijakan lantai dingin itu memilih berpaling pergi membawa retakan harapannya . dia berjalan cepat setelah keluar dari kantor.
"Dia kenapa?."
Tanya salah satu pengurus.
pengurus yang sempat melihat wajah harsa yang menangis itu hanya mengangkat bahu dan menggeleng.
Harsa tidak berlari, namun jalannya begitu cepat.
talita yang sedikit terlambat sampai ke kantor itu menghentikan langkahnya. dari jauh dia melihat sahabatnya sedang berjalan kearahnya denga air mata yang terus bergulir. tidak terisak, tapi talita tahu itu sangat menyakitkan.
"harsa."
ucap talita ketika harsa sudah dekat.
bruk.
tubuh talita bergoyang ketika tubuhnya di tubruk sahabatnya dengan keras.
"tata!!!..."
kini harsa memeluk talita dengan kuat.
talita seperti tidak bisa bernapas, namun dia memilih diam. di dekapan-nya harsa terisak.
"sesak.."
"iy, iya gue tahu... ayo kita ke kamar."
akhirnya talita membawa harsa ke kamar sambil merangkul wajah sahabatnya yang masih menangis itu.
talita tak ingin sahabatnya itu jadi tontonan santriwati lainnya yang memandang ke arah mereka.
"Apa neng harsa dapat takziran berat dari gus abid?." tanya meraka pada satu sama lainnya.