Romantis - Komedi
"Gak bisa Will, kita cuma nikah sementara kan? Bahkan ibumu juga benci sama aku?" -Hania-
"Tapi hamilmu gak pura-pura, Han? Aku bakal tanggung jawab!" -William-
***
Kisah dimulai saat Hania terpaksa menerima tawaran sang bos untuk menjadi istri kontraknya tapi setelah satu bulan berlalu, Hania mabuk karena obat perangsang yang salah sasaran dan mengakibatkan Hania hamil!
Bagaimana kisah ini berlanjut? Akankah Hania menerima pinangan kedua kali dari suami kontraknya atau kembali pada mantan tunangan yang sudah tobat dan ingin membahagiakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Di pinggir sungai itu, Hania masih duduk, tubuhnya berselimut jaket yang dipinjamkan warga. Rambutnya kusut, matanya sembab. Ia tidak tidur semalam — hanya menatap air yang terus mengalir, seolah menantang waktu agar memuntahkan kembali seseorang yang telah diambilnya.
“Bu Hania, ayo sarapan dulu,” ucap salah satu ibu warga desa, membawa termos air panas dan roti kering.
Hania menggeleng pelan. “Saya nggak lapar, Bu.”
“Tubuh Ibu harus kuat. Kalau Ibu sakit, siapa yang mau nunggu suaminya?” suara lembut itu membuat Hania sedikit menunduk. Ia tahu wanita itu benar, tapi hatinya menolak kenyataan. Ia takut kalau berpaling sebentar saja, William akan muncul di sana — berdiri di tepi sungai dengan senyum yang selalu membuatnya tenang.
Perlahan, ia menegakkan punggungnya, memandangi arus sungai yang mulai tenang. “Dia nggak akan pergi tanpa pamit,” gumamnya lirih, hampir seperti doa. “Aku tahu dia masih hidup.”
Di kejauhan, para relawan masih menelusuri aliran sungai dengan perahu karet. Mereka berteriak, memanggil nama William, tapi hanya suara burung dan gemericik air yang menjawab.
---
Sementara itu, di pondok nelayan tua di hilir sungai, William masih terbaring di atas kasur jerami. Tubuhnya dibalut kain kering, luka di pelipisnya sudah dibersihkan seadanya. Di sampingnya, duduk seorang lelaki tua dengan rambut putih kusut dan mata penuh welas asih.
“Syukurlah, masih ada napasmu, Nak,” gumam nelayan itu, mengganti kompres di dahi William. “Arus sungai itu kejam. Banyak yang nggak kembali.”
William menggeliat pelan, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Pandangannya kabur — atap bambu dan suara debur ombak kecil menyambut kesadarannya yang masih separuh.
“Di… mana aku?” suaranya serak, nyaris tak terdengar.
“Di pondokku. Aku nemuin kamu hanyut dekat jembatan tua,” jawab sang nelayan sambil tersenyum samar. “Kamu beruntung. Sedikit lagi, arus bisa bawa kamu ke laut.”
William mencoba bangun, tapi rasa nyeri di rusuk membuatnya meringis. “Hania…” bisiknya. “Aku harus pulang.”
Nelayan itu menahan bahunya. “Tenang dulu. Kamu pingsan semalaman. Kalau maksa jalan, bisa mati di tengah jalan.”
William menatap tangannya sendiri — kulitnya pucat, dingin, dan gemetar. Tapi yang paling menyiksa bukan luka fisik, melainkan bayangan wajah Hania yang menangis di tepi sungai. Ia tahu Hania pasti berpikir dia telah tiada.
“Aku harus kasih tahu dia kalau aku masih hidup,” desisnya.
“Kalau begitu, tunggu sampai siang. Aku antar kamu ke pos warga,” kata nelayan itu dengan nada lembut. “Tapi sebelum itu, makan dulu. Orang lapar nggak bisa menyelamatkan siapa pun.”
William menatap lelaki tua itu, matanya melembut. Ia mengangguk pelan. “Terima kasih… sudah nolong aku.”
---
Di sisi lain, jauh dari derasnya sungai dan bau tanah basah, Weni berjalan di lorong rumah megahnya. Sepatunya berdetak pelan di lantai marmer, suaranya menggema dalam keheningan pagi.
Seorang pria berpakaian hitam sudah menunggunya di ruang kerja — dengan ekspresi tegang dan ponsel di tangan.
“Laporan dari anak-anak lapangan, Nona,” ucapnya cepat. “Ada kemungkinan pria itu belum mati. Ada saksi bilang, nelayan di hilir menemukan orang asing semalam.”
Weni menghentikan langkahnya. Matanya yang tajam berubah dingin. “Nelayan?”
“Ya. Belum dikonfirmasi, tapi—”
Suara tamparan keras memotong kalimat itu. Weni menatapnya tajam. “Kau tahu apa artinya ‘kemungkinan’? Itu artinya gagal.”
Pria itu menunduk dalam, menahan sakit di pipinya. “Maaf, Nona. Saya akan pastikan lagi. Kami bisa kejar ke hilir.”
“Tidak,” potong Weni tajam. Ia berbalik, menatap kaca besar di belakang meja, di mana bayangannya sendiri terlihat samar di balik sinar matahari yang masuk dari tirai. “Kalau benar dia masih hidup, aku ingin melihat wajahnya sendiri. Kirim dua orang tepercaya. Jangan gunakan nama. Dan…” ia berbalik sedikit, suaranya turun satu oktaf, dingin tapi mematikan, “kalau dia benar-benar selamat, pastikan kali ini dia tidak sempat kembali!"
***
Bersambung...