Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berita Pagi Di Batara Raya
Aroma kopi instan dan roti panggang memenuhi dapur minimalis di apartemen Raisa di Batara Raya. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Suasana pagi yang tenang dan sibuk itu adalah ritual harian Raisa—sebuah kontras sempurna dengan kekacauan kosmik yang baru saja terjadi. Raisa, mengenakan rok pensil hitam dan blus putih yang disetrika rapi, sedang menyibukkan diri di depan cermin, memastikan rambutnya terikat sempurna, mencerminkan profesionalismenya yang tinggi.
Pintu apartemennya terbuka, dan masuklah Alex. Alex adalah pria muda yang santai, mengenakan kemeja kasual yang rapi dan celana khaki. Ia bekerja sebagai kontraktor di bidang keamanan sistem informasi, yang ironisnya, sering berhubungan dengan isu-isu sensitif global.
"Pagi, Gorgeous," sapa Alex, suaranya smooth. Ia segera meletakkan kunci mobilnya di meja dan menghampiri Raisa, mencium pipinya singkat. "Sudah siap untuk menaklukkan Indo Tech Energy lagi?"
Raisa tersenyum tipis. "Pagi juga. Lima menit lagi. Aku harus mengecek jadwal Pak Rohim hari ini. Dia pasti sudah kembali dari liburan panjangnya." Raisa meraih tablet kerjanya. Matanya berbinar, senang membayangkan Rohim kembali ke kantor. Ia sangat mengagumi atasannya itu.
Alex mengambil tempat di sofa, menyalakan televisi plasma di ruang tamu. "Semoga saja dia tidak membawa ide revolusioner yang membuat kerjanya kita semua dobel lagi. Tapi jujur, gue suka semangat Bapak lo itu. Setidaknya dia idealis." Alex berkomentar sambil menyalakan saluran berita lokal. Ia fokus mengikat tali sepatu kulitnya.
Suara penyiar berita yang tadinya hanya menjadi background noise tiba-tiba berubah menjadi nada yang sangat serius dan mendesak.
"Kami menginterupsi siaran pagi ini untuk sebuah pengumuman darurat."
Alex mendongak, matanya tertarik pada televisi. Gambar di layar menunjukkan footage buram dari sebuah fasilitas militer yang porak-poranda, diselingi dengan wajah seorang wanita berambut perak yang berbicara di podium dengan ekspresi marah—Miss Armstrong.
"Astaga, breaking news apalagi ini?" gumam Alex, kini benar-benar fokus.
Kemudian, gambar di layar berubah. Tiga frame foto yang sangat buruk kualitasnya, seperti hasil rekaman CCTV atau drone, muncul di layar. Foto pertama menampilkan Rohim yang menggendong Shalih, tubuhnya dikelilingi kabut panas. Foto kedua menampilkan Fitriani dengan perisai cahaya perak. Dan foto ketiga menampilkan mereka berdua melayang canggung di udara. Di samping foto itu, ditampilkan foto mugshot Rohim yang diambil dari database ISTC saat pendaftaran Mars.
Melihat wajah Rohim di televisi, Raisa menjatuhkan tablet kerjanya. Bruk! Tablet itu jatuh ke lantai, suaranya cukup keras memecah keheningan.
"P-Pak Rohim?!" Suara Raisa tercekat. Matanya membulat, darahnya serasa berhenti mengalir. Ia mengenali atasannya itu. Wajah yang selalu tersenyum, kini terpampang di layar sebagai... sesuatu yang lain.
Alex juga terkejut. Ia menegakkan tubuhnya, menatap layar dengan mata tak percaya. "Gila... Itu... itu Bos lo, Ra? Kenapa dia ada di berita AS?!"
Penyiar berita, dengan suara tegang dan berwibawa, mulai membacakan laporan yang dikirimkan secara eksklusif dari Associated Press Amerika Serikat.
"Pemerintah Amerika Serikat, melalui juru bicara ISTC, Miss Armstrong, telah mengumumkan 'Red Alert' Global untuk memburu empat individu yang dicap sebagai 'Ancaman Ekstrem' bagi keamanan dunia. Keempat individu ini—seorang ayah, ibu, dan dua anak—diduga terlibat dalam insiden tragis Artemis IV dan melakukan pelarian brutal dari fasilitas medis rahasia ISTC di perairan Pasifik."
Raisa gemetar hebat. Ia tidak bisa bergerak. Seluruh tubuhnya dingin, seolah membeku.
"Laporan awal mengindikasikan bahwa keluarga ini, yang berasal dari Indonesia, memiliki..." Penyiar itu ragu sejenak, seolah kata-kata yang ia ucapkan sangat sulit dipercaya. "...memiliki 'kemampuan super' yang melampaui fisika manusia normal. Mereka mampu memanipulasi panas, cahaya, dan energi kosmik. Mereka diduga bertanggung jawab atas terlukanya ratusan personil militer dan perusakan fasilitas vital. Identitas kepala keluarga, Rohim Wiratama, seorang insinyur energi dari Indo Tech Energy di Batara Raya, telah dikonfirmasi."
Rohim Wiratama, insinyur energi. Dua kata itu menghantam Raisa dengan kenyataan yang dingin. Rohim, atasannya yang selalu berbicara tentang kebaikan dan listrik gratis. Rohim, suami dari Fitriani yang manis, ayah dari Shalih yang menggemaskan, kini adalah Ancaman Ekstrem.
"Astaga, Ra... Superpowers? Bos lo? Lo kenal dia luar dalam, kan?" Alex menoleh ke Raisa, wajahnya dipenuhi campuran ngeri dan keingintahuan. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia keamanan cyber, Alex tahu betul bahwa pemerintah global tidak akan main-main dengan status "Ancaman Ekstrem."
Raisa akhirnya bergerak. Ia berjalan limbung ke arah televisi, tangannya menyentuh layar dingin itu, tepat di wajah Rohim. Air mata mulai menggenang di matanya.
"Tidak mungkin... Pak Rohim bukan ancaman," bisik Raisa, suaranya penuh penyangkalan. "Dia orang paling baik, paling jujur, paling idealis yang pernah aku kenal. Dia mau membuat listrik gratis, Alex! Dia tidak akan pernah melukai siapa pun!"
Alex bangkit, mencoba memegang bahu Raisa. "Ra, tenang dulu. Kita lihat dulu faktanya. Siaran itu bilang dia menyerang militer AS. Superpowers itu kan fiksi, tapi kalau dia merusak fasilitas, itu realita. Kita harus hati-hati. Ini urusan CIA, Ra. Ini bukan urusan Indo Tech Energy lagi."
"Justru itu!" Raisa menepis tangan Alex, menoleh padanya dengan mata basah namun tajam. "Dia tidak akan melakukan ini kecuali dia terpaksa! Mereka pasti menjebak atau menyakiti keluarganya! Aku tahu Pak Rohim!"
Loyalitas Raisa diuji, berhadapan langsung dengan propaganda media global. Ia percaya pada karakter Rohim, bukan pada laporan Red Alert yang mengerikan itu. Dilema moral itu menyiksanya. Jika dunia mengejar Rohim, maka dunia salah.
Alex mundur sedikit, terkejut melihat intensitas emosi Raisa. "Oke, oke. Gue tahu lo kagum sama dia. Tapi dengerin gue! Kalau dia benar-benar di Batara Raya, kita harus menjauh. Kita harus lapor. Ini bisa membahayakan kita semua, Raisa. Lo bisa terlibat kasus treason kalau lo melindunginya."
Mendengar kata 'melindungi', sebuah keputusan gila langsung muncul di benak Raisa. Melindungi Rohim. Itu nalurinya.
Raisa mengabaikan Alex. Ia berjalan cepat ke meja kerjanya, mengambil tas tangannya, dan merogoh dompet.
"Lo mau ke mana?" tanya Alex, bingung melihat Raisa yang tiba-tiba bertindak impulsif.
"Aku harus ke rumahnya," jawab Raisa, nadanya mantap, penuh tekad.
"Apa?! Lo gila, Raisa?! Rumahnya ada di ujung kota, dan kalau benar dia di sana, pasti sudah diawasi. Lagian, lo ada meeting sama klien jam sembilan! Lo mau bolos?!" Alex meninggikan suaranya, frustrasi.
Raisa menatap Alex, tatapannya dingin dan tegas, mengingatkan pada profesionalismenya di kantor. "Batalin semua jadwalku. Bilang saja aku sakit mendadak. Dan... Alex," Raisa maju, berdiri sangat dekat dengan pacarnya. "Kalau kau benar-benar peduli padaku, kau akan diam tentang ini. Aku harus memastikan Pak Rohim baik-baik saja."
Ia tidak menunggu jawaban Alex. Keputusan telah dibuat. Rohim adalah orang baik, dan orang baik tidak pantas diperlakukan sebagai senjata.
Ia berbalik, bergegas menuju pintu. Ia tidak peduli dengan penampilannya yang sempurna yang kini terasa percuma, tidak peduli dengan meeting penting, atau dengan karirnya di Indo Tech Energy. Loyalitasnya pada Rohim Wiratama, the idealist, lebih besar dari semua itu.
Raisa membuka pintu apartemennya dan berlari cepat menuju mobilnya, meninggalkan Alex yang masih terpaku di depan televisi, melihat foto Rohim yang dicap sebagai buronan nomor satu dunia.
CLIFFHANGER: Alex menatap pintu yang baru saja dibanting Raisa. Tangannya gemetar. Televisi masih menyiarkan foto Rohim yang melayang di udara. Alex meraih ponselnya, ragu-ragu. Ia bukan orang yang akan gegabah. Ia bekerja di bidang keamanan. Dan ia tahu, loyalitas kepada atasan yang idealis, tidak sebanding dengan risiko menghadapi CIA dan Red Alert Global. Di ponselnya, Alex membuka sebuah kontak rahasia yang ia simpan dengan nama samaran. Ia harus mengambil keputusan yang sangat cepat, keputusan yang mungkin akan mengkhianati Raisa dan Rohim.
Bersambung....