"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Mantu Rahasia
Tama menatap Rama yang sedang terdiam dalam, wajahnya serius banget. Entah kenapa, Tama merasa seluruh tubuhnya seperti diselimuti hawa dingin. Jantungnya mencelos, dan dia tahu betul kalau Rama benar-benar mau, tinggal bilang satu kata, Kakek Adi pasti punya seribu cara buat bikin dia “menghilang” secara mengenaskan.
Saking takutnya, Tama langsung tiarap, nyembah-nyembah, minta ampun tanpa malu lagi. Harga diri? Buat apa kalau nyawa bisa melayang?
Melihat Tama yang memohon dengan begitu hina, Rama pun sedikit kaget.
Gila juga sih... pengaruh Pak Adi ternyata segede itu.
“Tuan Rama, kami benar-benar salah. Tolonglah... kali ini maafkan kami,” ucap Yola dengan suara gemetar, menggigit bibirnya.
Rama meliriknya sekilas. “Hmm, kayaknya tadi yang paling nyolot itu kamu, ya?”
Yola hanya bisa menunduk.
“Mau dimaafin? Bisa. Tapi... kamu harus berlutut dan tampar pipimu sendiri sepuluh kali. Harus keras. Bisa?”
“Bisa,” jawabnya pelan, tanpa ragu.
Tanpa nunggu perintah lagi, Yola langsung menampar pipinya sendiri satu per satu. Plak! Plak! Suaranya keras dan nyata. Pipinya memerah, lalu bengkak. Air mata mulai jatuh, tapi dia terus melakukannya.
Ayu dan Yuni sama-sama melongo. Adegan ini benar-benar di luar dugaan.
Apalagi Yuni — dia benar-benar nggak bisa menerima kenyataan ini.
Tadinya dia yakin Rama bakal habis. Tapi tiba-tiba, tokoh besar macam Pak Adi muncul entah dari mana, dan malah bantu Rama buat "ngajarin" keluarga Jaya.
Dan... yang bikin shock, Pak Adi bahkan memanggil Rama “Tuan”. Berkali-kali.
Jangan-jangan... Rama berasal dari keluarga super elit? Yuni mulai panik.
Ayu juga kelihatan bingung. Nggak masuk akal. Orang sekelas Pak Adi bisa begitu hormat sama Rama?
Sementara itu, Kakek Adi tertawa kecil. “Tuan Rama, kelihatannya Anda belum ingin saya habisi mereka, ya?”
Rama mengangguk pelan. “Tadinya aku memang datang buat ngurus orang yang ada di dalam, tapi sekarang aku berubah pikiran.”
Lalu dia menoleh ke arah keluarga Jaya. “Kalian denger baik-baik. Ini kesempatan terakhir kalian. Jangan macam-macam lagi.”
“Iya! Iya, kami janji nggak akan ganggu lagi!” Tama buru-buru angguk-angguk sambil gemetar.
“Aku sih nggak takut diganggu,” kata Rama santai. “Cuma kadang capek aja dengerin omong kosong orang-orang.”
Tama langsung nunduk, nggak berani buka suara lagi. Total menyerah.
Rama pun nggak mau buang waktu lagi, dia menoleh ke Kakek Adi dan tersenyum.
“Terima kasih, Pak Tua. Kalau besok Bapak ada waktu, aku pengin mampir.”
Kakek Adi langsung kelihatan senang. “Tentu, tentu. Saya tunggu.”
Dia paham betul maksud Rama itu tanda bahwa Rama bersedia membantu menyembuhkan penyakit lamanya.
“Kalau begitu, saya dan istri pamit dulu,” ujar Rama sambil menarik tangan Ayu.
“Baik, Tuan Rama. Jaga diri,” Kakek Adi membungkuk dengan penuh hormat.
Rama hanya melambaikan tangan dan melangkah pergi, pelan tapi mantap.
Begitu keluar dari rumah sakit, Rama baru bisa tarik napas panjang.
Tadi di depan Pak Adi dia memang kelihatan kalem, tapi sebenarnya dalam hati... dia juga agak tegang.
Kalau bukan karena garis keturunan yang mulai bangkit, mana mungkin dia bisa punya status kayak tadi? Orang biasa seumur hidup pun belum tentu bisa ngobrol selevel sama Pak Adi.
“Mas...” kata Ayu pelan.
“Hm?”
“Gimana ceritanya kamu bisa kenal Ketua Hartono? Kenapa dia manggil kamu Tuan Rama segala? Kamu sembunyiin sesuatu dariku, ya?”
Rama tersenyum kecil. “Yah... bisa dibilang begitu.”
“Aku memang nyembunyiin sesuatu darimu,” ujar Rama akhirnya, sambil menatap lurus ke depan. “Sebenarnya… aku ini seorang Dokter Pijit. Pak Tua itu minta bantuanku buat ngobatin penyakitnya. Makanya dia bisa sopan banget sama aku.”
Ayu langsung melotot. “Bisa nggak sih kamu latihan dulu sebelum ngebohong? Pak Tua Adi itu siapa? Orang sekelas dia bisa dapet Dokter dari mana aja! Masa butuh kamu? Anak muda yang bahkan… nggak pernah kulihat pegang kotak P3K!”
Rama tersenyum canggung. “Ehem… aku tahu banyak hal, cuma kamu nggak pernah nanya.”
“Udah, udah. Males denger alasanmu. Ayo pulang!” seru Ayu, sambil mengangkat tangan memanggil taksi.
Sementara itu, di rumah sakit, tepat di luar bangsal…
Tama masih berdiri kaku. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Rasa penasaran menggerogoti, dan akhirnya dia memberanikan diri membuka mulut.
“Maaf, Kakek Adi... sebenarnya siapa sih Tuan Rama itu?”
Yuni yang belum jauh, pasang telinga baik-baik. Bahkan napasnya ditahan supaya bisa dengar lebih jelas.
Kakek Adi melirik mereka semua dengan tenang, lalu berkata datar, “Kalau kalian masih pengen hidup, jauhi Tuan Rama. Kalau sampai kalian macam-macam dengannya, artinya kalian berurusan langsung dengan aku, Adi Hartono. Dan aku nggak main-main.”
Habis ngomong gitu, Pak Adi langsung berbalik dan pergi begitu saja. Nggak peduli siapa pun yang masih berdiri di situ.
Tama langsung menunduk. Sama sekali nggak berani tahan kepergian Pak Adi.
“Yah... awalnya kupikir Kakek Adi bisa jadi pelindung Keluarga Jaya. Tapi karena bocah itu, semuanya ambyar…” keluh Yola sambil menghela napas panjang.
“Jangan banyak ngoceh. Dengarkan baik-baik kata-kata Kakek Adi. Rama itu… kayaknya punya latar belakang gede,” gumam Tama, wajahnya serius.
“Latar belakang apaan? Dia itu dari keluarga biasa aja. Kakeknya baru meninggal belum lama ini. Buat nyelametin kakeknya, adik perempuannya sampai berutang besar. Kakak perempuanku malah yang bantu lunasinya! Orang kayak gitu… kalau Om bilang punya latar belakang hebat, aku bener-bener nggak percaya!” bentak Yuni, rahangnya mengencang.
Tama hanya bisa menghela napas, “Terserah kamu mau percaya atau nggak, tapi kalau kamu mau cari masalah sama dia… pikir seribu kali dulu. Kita udah berurusan sama orang yang bukan sembarangan.”
Di tempat lain, Rama dan Ayu sudah tiba di daerah villa Andara. Mereka turun dari taksi perlahan, suasana sore itu tenang, tapi mendadak…
Seseorang keluar dari salah satu villa.
Sandra.
Rambutnya dikuncir kuda, wajahnya segar, dan meski cuma pakai kaus putih sama jeans biru, pesonanya tetap memikat.
Begitu matanya menangkap sosok Rama, sorotnya langsung cerah penuh senyum.
Tapi saat dia melihat wanita di sebelah Rama… senyumnya sempat menegang sedikit. Wow... cantik banget, pikir Sandra dalam hati.
Di sisi lain, Ayu juga otomatis menilai balik. Dan dalam hati… dia mengakui kalau perempuan ini juga luar biasa memikat.
Keduanya hanya saling pandang sekilas, lalu sama-sama mengangguk singkat. Tanda salam antar wanita yang waspada.
Namun, Ayu dalam hati mulai sedikit waswas.
“Eh, Rama? Wah, kebetulan banget ketemu di sini,” sapa Sandra, ramah tapi dengan nada yang... sedikit manis.
Rama langsung merasa keringat dingin mengalir. Duh, ini bisa runyam kalau salah paham.
“Sandra... kamu mau ke mana?” jawab Rama agak kaku.
“Aku lagi keluar beli bahan makanan,” jawab Sandra sambil tersenyum manis. Lalu matanya beralih ke Ayu. “Oh iya… adik cantik ini, istrimu ya?”
Rama mengangguk cepat. “Iya, dia istriku.”
Sandra tersenyum makin lebar. “Cantik banget. Nggak heran kamu sempat diremehkan orang-orang.”
Dia lalu mengedipkan mata pelan ke arah Rama. “Kalau kamu sempat, mampir ke rumahku ya. Kita bisa makan malam bareng.” Setelah itu, dia melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan aroma parfum lembut yang sempat tertinggal di udara.
Rama berdiri terpaku, menatap punggung Sandra yang makin menjauh. Aduh… ini jebakan hidup-hidup namanya, batinnya panik. Sementara itu, dari arah samping…
Tatapan Ayu tajam banget, seperti sedang menimbang-nimbang cara tercepat buat membunuh suaminya tanpa jejak.
“Masih kurang cari masalah?” kata Ayu dengan suara dingin. “Kenapa nggak kamu susul sekalian? Dia belum jauh tuh. Masih sempat kok buat makan malam romantis.”
Rama cepat-cepat cengengesan. “Istriku sayang, jangan salah paham dong. Aku sama dia nggak ada apa-apa. Yuk pulang.”
“Bener nggak ada apa-apa?” tanya Ayu, menatap tajam, seperti laser pemindai kebenaran.
Rama angkat tangan seperti orang bersumpah. “Sumpah demi mie instan favoritku. Nggak ada apa-apa!”
“Hmph. Aku percaya kamu nggak tertarik padanya. Tapi yang jelas, dia tuh ada niat nggak baik. Jadi mulai sekarang, jaga jarak. Dengar nggak?”
“Denger… Denger banget,” jawab Rama cepat.
“Ayo pulang,” kata Ayu ketus, lalu mulai berjalan duluan dengan wajah masih cemberut.
Rama mempercepat langkah, lalu seperti biasa berusaha merangkul pinggang ramping istrinya.
Tapi baru disentuh sedikit, tangan Rama langsung ditepis.
“Eh, jangan peluk-peluk,” kata Ayu datar.
“Loh, kenapa?”
“Kalau berani, peluk tuh cewek tadi aja,” gumam Ayu sambil menggertakkan gigi.
Rama tertawa kecil. “Kalau aku beneran peluk dia, kamu mau apa?”
Ayu menoleh pelan, wajahnya gelap.
“Aku lumpuhin kakimu yang ketiga.”
Rama langsung berhenti tertawa dan menegang.
“…Kakiku yang… oh. Oke. Paham. Sangat paham,” katanya pelan.
Ayu hanya mendengus, tapi sudut bibirnya naik sedikit. Walau cemburu, dia jelas menyayangi Rama.
Cewek pencemburu memang ngeri… tapi manis juga, ya, batin Rama sambil tersenyum geli.