Anya tidak menyangka bahwa hidupnya suatu saat akan menghadapi masa-masa sulit. Dikhianati oleh tunangannya di saat ia membutuhkan pertolongan. Karena keadaan yang mendesak ia menyetujui nikah kontrak dengan seorang pria asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Japraris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 20
Mobil Arga berhenti mendesis di depan rumah sakit tempat Andre, sahabatnya, bertugas. Arga melangkah masuk, langsung menuju ruang pribadi Andre. Andre menyambutnya dengan wajah bingung. Sebelumnya, Arga telah menelepon, memerintahkan Andre untuk menghentikan semua aktivitas selama dua jam dan menunggunya di ruangannya. Sebuah permintaan yang memaksa Andre harus menunda jadwal operasi dan menunggu Arga.
"Arga, kau sudah membuatku menunggu setengah jam dan menunda pekerjaanku!" keluh Andre, nada suaranya sedikit kesal, namun masih tertahan.
Arga menatapnya datar, "Kau mengeluh padaku?" Suaranya dingin, tanpa emosi.
Andre menghela napas, "Tidak. Ada apa? Apa itu di tanganmu?" Ia menunjuk sebuah bungkusan kecil di tangan Arga.
"Ambil darahku," perintah Arga singkat, tanpa basa-basi.
"Apa?" Andre terkejut, matanya membulat.
"Aku bilang, ambil darahku. Aku ingin kau tes DNA-nya dengan darah ini," kata Arga, meletakkan sebuah vial berisi sampel darah di atas meja Andre.
Andre tercengang, tatapannya beralih antara vial darah dan Arga. Ekspresinya campuran rasa penasaran dan keheranan.
"Apakah wanita yang pernah kau tiduri sedang mengandung anakmu? Tidak tidak, wanita itu telah melahirkan anakmu dan meminta pertanggungjawaban tapi kamu tidak yakin itu anakmu?" tebak Andre, suaranya penuh selidikan.
"Lakukan saja tugasmu," jawab Arga dingin, menunjukkan ketidaksukaannya pada pertanyaan itu.
Andre terdiam sejenak, mencerna situasi. Ia mengambil alat-alat medis, kemudian mengambil sampel darah Arga.
"Aku ingin hasilnya dalam satu jam," desak Arga.
"Baik," jawab Andre singkat, mulai bekerja.
"Aku tunggu di sini. Cepatlah," pinta Arga, suaranya terdengar sedikit mendesak.
"Baik," jawab Andre lagi, kali ini dengan nada lebih serius.
Andre bergegas ke lab. Ia bekerja dengan sangat teliti, memastikan tak ada kesalahan. Ia merasakan beban berat dalam permintaan Arga kali ini, rasa penasaran dan ketegangan memenuhi pikirannya.
Satu jam berlalu dengan penuh kecemasan bagi Arga. Ia mondar-mandir tak tenang, sesekali melirik jam tangannya dengan gelisah.
Andre kembali, membawa amplop putih yang tersegel rapi. Ia menyerahkannya pada Arga tanpa sepatah kata pun. Arga menerimanya dengan tangan gemetar, membuka amplop itu dengan hati-hati, matanya terpaku pada kertas di dalamnya.
Hening. Hanya detak jantung Arga yang terdengar di ruangan itu. Ia membaca hasil tes DNA berulang kali, memastikan ia tak salah baca.
Setelah beberapa saat, Arga mengangkat wajah, tatapannya kosong, hampa. Ia terdiam, mencoba mencerna informasi baru itu. Kebenaran telah terungkap. Kinan adalah anaknya, anaknya dengan Anya.
Andre memperhatikan Arga dengan penuh perhatian, mengerti bahwa hasil tes ini akan sangat memengaruhi sahabatnya.
"Jadi...?" tanya Andre pelan, setelah beberapa saat terdiam, suaranya penuh empati.
Arga menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Kinan… Kinan anakku," jawabnya, suaranya parau, terdengar lega namun juga berat. Lega karena kebenaran telah terungkap, berat karena keputusan sulit yang harus diambil.
Andre mencoba bertanya lagi, "Jadi… Kinan itu siapa? Anakmu dengan wanita yang mana? Aku tidak yakin Anya akan kembali padamu jika dia tahu kau punya anak dengan wanita lain." Suaranya lembut, penuh kekhawatiran.
Namun, Arga mengabaikan pertanyaan Andre. Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Andre yang masih diliputi penasaran dan kebingungan.
"Hei, Arga! Setidaknya jawab aku sebagai rasa terima kasihmu!" seru Andre, namun hanya disambut pintu ruangan yang terbanting tertutup.
"Hah, kamu bosnya?" gumam Andre, alisnya terangkat satu, ekspresi wajahnya campuran tak percaya dan sedikit sinis.
Di luar rumah sakit, Arga masuk ke mobilnya. Ia menyalakan mesin dan melaju kencang. Pikirannya dipenuhi bayangan Kinan dan Anya. Ia harus segera menemui Anya, meminta penjelasan, memperkenalkan dirinya dengan anaknya, dan menentukan langkah selanjutnya.
Mobil Arga melaju cepat menuju rumah sakit, jantungnya berdebar tak karuan. Ia harus menemui Anya dan melihat Kinan, anaknya yang selama ini tak pernah ia kenal. Bayangan wajah mungil Kinan menghantui pikirannya. Ia membayangkan sebuah pertemuan yang penuh haru dan bahagia, sebuah rekonsiliasi antara dirinya, Anya, dan Kinan.
Namun, kenyataan berkata lain. Sesampainya di ruangan rawat Kinan, ruangan itu kosong. Tak ada Anya, tak ada David, dan yang terpenting, tak ada Kinan. Rasa panik langsung menerjangnya. Ia merasakan sesak di dadanya, seakan-akan dunia runtuh di hadapannya.
Dengan langkah tergesa-gesa, ia mencari suster yang kebetulan lewat. "Sus, di mana pasien di kamar ini?" tanyanya, suaranya terdengar panik.
Suster itu menatapnya, lalu menjawab, "Oh, Nona Kinan? Nona Kinan sudah keluar dari rumah sakit satu jam yang lalu."
Kalimat itu bagai petir di siang bolong. Arga merasa dunia berputar. Kinan sudah pergi. Ia merasa kehilangan kesempatan untuk bertemu anaknya. Kecemasan dan kekecewaan bercampur aduk.
Dengan terburu-buru, ia berlari menuju mobilnya. Ia hampir tersandung, tapi rasa panik mengalahkan semua rasa sakit. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah Anya.
Harapannya hanya satu: ia masih bisa bertemu Anya, bertemu Kinan. Perjalanan menuju rumah Anya terasa amat panjang, setiap detik terasa seperti tahun. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Kinan dan Anya yang kabur, dan ketakutan akan kehilangan Anya dan Kinan selamanya.
Sesampainya di rumah Anya, Arga menemukan rumah itu kosong. Sunyi senyap. Keheningan yang mencekam itu bagai pukulan telak bagi hatinya yang sudah terluka. Ia mencoba membuka pintu, berharap menemukan Anya di dalam, namun pintunya terkunci. Sebuah firasat buruk mulai menggelayutinya.
Dengan langkah gontai, ia mendekati rumah tetangga Anya. Ia mengetuk pintu, dan seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Dengan suara bergetar, ia bertanya, "Bu, permisi… Apakah Ibu tahu ke mana Anya pergi?"
Wanita itu menatap Arga dengan ekspresi yang sulit diartikan—campuran rasa iba dan sedikit keheranan. Setelah berpikir sejenak, ia menjawab, "Oh, Tuan Arga ya? Keluarga Nona Anya… mereka sudah pergi. Saya melihat mereka tadi bersama Tuan David. Mereka membawa koper-koper besar, sepertinya mereka pergi dan gak kembali."
"Ke mana mereka pergi, Bu?" tanya Arga lagi, suaranya hampir tak terdengar. Ia merasakan sesak yang amat sangat di dadanya.
Wanita itu menggeleng, "Saya tidak tahu, Tuan. Mereka tidak bilang mau ke mana. Hanya terlihat buru-buru."
Jawaban itu bagai tamparan keras. Arga merasa seluruh dunianya runtuh. Anya pergi. Kinan pergi. Meninggalkannya. Ia terduduk lemas di depan rumah Anya, merasakan keputusasaan yang begitu dalam. Kehilangan Anya tiga tahun lalu sangat menyakitkan. Dan sekarang dia harus kehilangan Anya dan Kinan untuk kedua kalinya. Semua yang ia perjuangkan, semua yang ia coba bangun, hancur berantakan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa sendirian, terasing, dan kehilangan arah. Hanya kesunyian dan penyesalan yang tersisa. Ia merasa telah kehilangan semuanya.
seneng jika menemukan cerita yg suka alur cerita nya 👍🤗🤗
koq knapa gak dijelaskan sihhhh... 😒
Jangan menyia-nyiakan ketulusan seorang laki2 baik yg ada didepan mata dan terbukti sekian tahun penantian nya👍😁
Masa lalu jika menyakitkan, harus di hempaskan jauhh 👍😄
Gak kaya cerita lain, ada yg di ceritakan dulu awal yg bertele-tele.. malah malas nyimak nya 😁😁