Ditinggalkan oleh ayah kandungnya sejak masih bayi, dan hanya dibesarkan oleh sang ibu membuat ia menjadi sosok yang mandiri.
Namun di usia yang ke 19 tahun ibunya telah meninggal dan memaksa dirinya hidup sebatangkara, nasip Areta sungguh buruk ia di jual oleh wanita yang baru dikenalnya kepada mafia bengis tanpa ampun.
Ia mencoba kabur namun dengan mudah ia tertangkap kembali, hingga mafia itu mengikat jiwanya dengan menikah dengan Areta agar gadis itu tidak melarikan diri.
Benci, marah dan dendam itulah perasaan Areta Marla kepada Kian Egan.
Apakah akan ada benih-benih cinta diantara mereka?
Inget jangan menilai buku dari judul apalagi cover. Setting luar negeri tapi kota menurut fantasi dari Author jadi kalau ada ****** ****** harap maklum. Novel ini dibuat dengan sangat hati-hati agat tidak meninggalkan kesan fulgar. Buat mami-mami yang tidak berkenan dengan s*ks bebas, diharap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novi wu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#Cemburu?
Mr. Mafia 19
Areta terus meraung saat tubuh Kian telah melemas.
Tidak ... seharusnya ia tidak sesedih ini, tapi mengapa air matanya seolah enggan berhenti. Areta! Kau seharusnya bahagia jika ia mati, kau bisa bebas dari mafia ini! Areta ....
Areta masih tenggelam dalam kesedihannya saat Mark dan anak buah Kian lainnya datang dan mendapati bossnya tengah bersimbah darah.
"Nona tenang! Boss tidak akan kenapa-kenapa!" Laki-laki itu terus menenangkan Areta yang masih meraung meratapi Kian.
"Jangan sampai bocor! Jika Boss sedang sekarat, karena itu bisa mengundang musuh atau bahkan ini semua bisa menjadi sasaran empuk The Rock!" perinta Mark kepada bawahannya.
Mereka semua membawa Kian ke rumah sakit, dan Areta juga mengikutinya dengan baju yang penuh noda darah dan wajah awut-awutan, sesekali ia menyapu air mata dengan satu tangan.
Kian telah di rawat intensif dan para dokter siap melakukan tugasnya mengeluarkan proyektil peluru yang bersemayam di punggung kiri dan perut Kian.
Hal itu tentu saja membuat Areta dan semuanya seolah menahan napas, bagaimana jika ini semua berakibat fatal dan bisa merenggut nyawa Kian. Pria bengis itu.
Areta duduk dengan begitu cemas menanti dokter untuk menyampaikan kabar baik atau buruk, ia terus memasang wajah gusar yang bertolak belakan dengan perasaan bencinya kepada Kian. Mungkinkah ini perasaan atau ungkapan terimakasih karena Kian telah menyelamatkannya atau ini adalah perasaan yang lain. Entahlah, gadis itu tidak bisa mencernanya sama sekali.
"Kopi untuk Anda, Nona. Saya lihat anda begitu gusar dengan keadaan boss Kian." Mark menyodorkan segelas capucinno untuk gadis itu. "Tenanglah, ini bukan kali pertama boss Kian sekarat, dulu ia pernah jatuh dari lantai tujuh semua gedung dan dia juga bisa selamat, ia seperti kucing yang memiliki sembilan nyawa," imbuhnya lagi, berusaha menenangkan Areta.
"Jatuh dari lantai tujuh?" Areta seolah tidak percaya dengan apa yang di ungkapkan oleh Mark.
"Ya ... demi menyelamatkan seorang gadis, tapi sayang, gadis yang ia coba selamatkan harus meregang nyawa karena bersama-sama jatuh dengan boss Kian."
"Siapa dia?"
Seolah enggan menjawab pertanyaan Areta, Mark mengalihkan pembicaraan dengan meminta Areta pulang untuk berganti baju.
"Pulanglah, Nona! Kami yang akan menjaga boss kami, Nona pasti sangat ketakutan dan lelah!" perintah Mark.
"Tapi yang kau panggil boss, dia adalah suamiku," jawab Areta, yang membuat Mark merasa canggung.
"Baiklah Nona, saya tidak akan mencegah Anda, tapi saya akan meminta anak buah saya untuk membelikan baju bersih untuk Anda," kata Mark sembari memindai pakaian Areta yang berlumur dengan darah segar milik Kian.
Areta mengangguk setuju atas saran yang dikatakan oleh Mark. Ia juga tidak bisa terus-terusan memakai pakaian yang penuh noda darah, bukan. Lagi pula hal ini akan mengundang pertanyaan bagi orang-orang yang melihat dirinya.
***
Setelah menunggu sekitar tiga jam, seorang dokter keluar dari sebuah ruangan, menghampiri mereka yang sedang menanti dengan cemas akan kondisi Kian Jhon Fransis Egan.
dokter dengan memakai baju stelan biru membuka masker penutup hidung, seutas senyum menyungging di bibirnya. Dokter itu adalah Shane, dokter yang ikut menangani Kian.
"Tuan Shane, bagaimana?" Areta nampak tidak sabar untuk mendengar kabar dari Kian.
Shane menghela napas panjang, seolah sedang mempersiapkan sebuah kata untuk mereka yang tengah menunggu.
"Syukurlah, Kian telah lepas dari kritisnya, proyektil yang bersarang di perutnya hanya menyerempet di lambung, sedangkan yang ada di punggungnya tidak mengakibatkan hal yang fatal, karena tidak terkena organ intim Kian," jelas Shane, lalu menepuk pundak Areta, yang tampak menghela napas lega. "Tenang saja, suamimu akan baik-baik saja!"
Areta tampak mulai bernapas lega, senyum tergurat dari bibirnya yang berwarna merah bak buah delima itu.
"Sebentar lagi, Kian akan dipindahkan di ruang perawatan biasa," imbuh Shane lagu.
Dari kejauhan sosok yang tidak asing datang dengan kursi roda ditemani oleh seorang wanita yang mendorongnya dari belakang kursi rodanya.
"Shane ... Shane ... bagaimana keadaan Kianku?" ucapnya dengan napas memburu, seolah ia takut dengan keadaan Kian.
"Tenang Irene, Kian telah melewati masa kritisnya, dan Areta juga menunggunya dari tadi di sini. Kau lebih baik pulang! Kesehatanmu belum pulih!" perintah Shane dengan nada penuh penekanan.
"Tidak—" ucapnya, lalu menatap Areta dengan tatapan menyeringai, dan kembali mamandang mata Shane. "Aku tidak mau jika, ketika Kian sadar. Ia tidak melihatku dan dia akan mencariku!" semburnya lagi.
"Tenang saja, Irene! Di sini ada aku, Areta dan Mark yang menjaga Kian," kata Shane mencoba menyuruh Irene pulang.
"Tidak—" jawabnya lagi. "Aku akan tetap di sini menunggu Kianku!"
"Terserah kau saja," gumam Shane lirih, lalu pergi meninggalkan mereka.
***
Tidak butuh waktu yang lama, Kian telah berada di ruang perawatan vvip rumah sakit mewah itu dengan rajang empuk seolah ia bukan sedang di bangsal rumah sakit, namun ia sedang berada di hotel bintang lima.
Kian mulai menunjukan kesadarannya, tangannya mulai menggerakkan tangannya, Irene yang duduk di sebelah tempat tidur langsung memasang wajah sumringah, sementara Areta yang di minta Irene duduk di kursi sofa panjang tidak jauh dari mereka, tak kalah senang, ia bersyukur suami yang menikahinya dua hari lalu telah sadar.
"Irene!" Suara Kian tampak lirih memanggil wanita di sampingnya itu. Dengan cekatan Irene menangkup tangan Kian lalu berkata lembut.
"Aku di sini, sayang," jawabnya.
Areta yang berada di ruangan tersebut mengerutkan kening seraya heran. Ia adalah istri sah dari pria yang terbaring lemah itu, namun mengapa mulutnya megumandangkan nama lain.
Sakit? Ya ... entah mengapa hatinya seolah seperti teriris, ia bagai wanita yang tidak di anggap. Seolah Areta lupa jika Kian hanya menganggapnya sebagai peliharaan dan tidak lebih. Mungkin. Irene lah yang ia cintai selama ini, namun mengapa bukan Irene yang ia nikahi. Tapi kenapa ia memilih dirinya?
Pikiran itu berputar-putar di otak Areta. Hubungan apa yang dimiliki oleh mereka berdua, Irene juga beberapa kali mencoba untuk menyuruh Areta pergi dari rumah itu. Apakah ini cinta terlarang?
Areta bangun dari tempatnya duduk, lalu mendekatkan diri kepada Kian yang masih terbaring lemah. Kian dan Irene menatap Areta yang sedang berjalan ke arah mereka.
"Kau telah sadar, jadi ... rasa bersalahku telah hilang, terimakasih telah menyelamatkanku, aku pulang ...."
Areta berjalan pergi tanpa mempedulikan Kian yang terus menatapnya dengan tatapan sedingin es.
"Apakah sejak tadi peliharaanku di sini?" tanya Kian.
Ti–tidak ... ia baru saja sampai, dan kini ia pergi setelah melihat kau sadar, apakah itu istri yang kau banggakan Kian?" jawab Irene, padahal ia tahu betul jika sejak awal Areta lah yang menunggu Kian hingga ia sadar.
***
"Areta ... mengapa kau sakit hati, bukankah ia sudah sadar dan sebentar lagi sembuh, lalu mengapa kau merasa jiwamu hampa!" Areta terus mengumpat dirinya di dalam hati, seolah ia menolak perasaan aneh yang mulai tertanam di dalam hatinya.
kalau boleh di ganti aja visual nya 🤔
sekali lagi maaf😊😙