Yansya diceraikan istrinya karena dia miskin. Setelah menjadi agent khusus, akankah hidupnya berubah menjadi lebih baik? atau menjadi semakin buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fakta Seorang Lisa
Fabian, yang merasa yakin dirinya berhasil mengakali setiap jebakan, tidak menyadari bahwa setiap langkahnya sudah terbaca. Ketika ia tiba di sebuah gudang kosong yang terpencil, yang selama ini menjadi titik koordinasi rahasianya, sebuah suara dingin menyambutnya dari kegelapan, "Selamat datang kembali, Fabian."
Lampu mendadak menyala, menyoroti Yansya yang berdiri santai di tengah ruangan, dikelilingi sepenuhnya oleh Tim Predator yang sudah siap siaga. Masing-masing anggota tim memiliki tatapan tajam dan senjata teracung.
Ekspresi Fabian berubah pucat. Ia tahu bahwa kali ini tidak ada jalan keluar, karena jaring yang dipersiapkan Yansya lebih rapi dari perkiraannya.
Ia mencoba mencari celah untuk melarikan diri, pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Namun, setiap sudut telah dipenuhi oleh anggota Tim Predator yang siap bergerak kapan saja. Fabian menyadari bahwa semua jalur pelarian yang pernah ia pikirkan telah ditutup rapat.
Ia pun menghela napas pasrah, tahu bahwa pertarungan terakhirnya tidak akan berlangsung lama.
Sebuah senyum tipis terukir di bibir Yansya, seolah membaca pikiran Fabian. Lantas ia melangkah maju dengan tenang, mengeluarkan sebuah borgol dari balik jaketnya.
"Giliranmu sekarang, Fabian," ucap Yansya, suaranya mengandung nada kepuasan yang tidak bisa disembunyikan, menandakan akhir dari pelarian panjang sang buronan.
Fabian tidak lagi bisa berkutik, hanya berdiri terpaku dengan tatapan kosong saat Yansya mendekat. Borgol itu terpasang erat di pergelangan tangannya, mengakhiri semua usaha pelariannya. Ia tahu bahwa nasibnya kini ada di tangan Tim Predator.
Setelah Fabian berhasil diborgol, Reno segera melangkah maju, memeriksa kondisi ruangan, memastikan tidak ada jebakan lain atau jalur tersembunyi yang mungkin terlewat.
Sementara itu, Clara dengan sigap mengamankan area sekitar, memastikan tidak ada lagi mata-mata Maria yang berani muncul. David dan Maya mulai mengumpulkan semua data dan bukti yang ada di gudang. Karena setiap informasi, sekecil apa pun, akan sangat penting untuk melacak jejak Maria yang licin.
Yansya menatap Fabian yang kini terdiam, terpasung oleh kekalahan. Meskipun ada kepuasan di matanya, Yansya tidak merasa jumawa, karena ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari pertempuran yang lebih besar.
Ada Maria yang masih bebas berkeliaran, sebuah ancaman yang jauh lebih besar dan terorganisir. Yansya sadar bahwa penangkapan Fabian hanyalah kunci pembuka menuju misi selanjutnya.
"Bawa dia," perintah Yansya kepada Alex yang sudah siap siaga di samping Fabian, "dan pastikan dia tidak bisa bicara dengan siapa pun sampai kita mendapatkan semua informasi yang kita butuhkan."
Nada suaranya dingin dan penuh otoritas, menandakan bahwa Yansya tidak akan main-main dengan setiap langkah yang diambilnya. Ia akan memastikan Fabian membongkar semua rahasia yang ia sembunyikan, termasuk keberadaan dan rencana Maria.
Sementara Yansya dan timnya sedang memproses Fabian, di tempat lain, Maria menerima kabar penangkapan kaki tangannya dengan tenang. Ia duduk di kursi kulit mewah, menyesap teh herbal, seolah kabar buruk itu hanyalah angin lalu.
Namun, di balik ketenangannya, ada perhitungan baru yang terlintas di benaknya, karena ia tahu bahwa Fabian adalah bagian dari rencana besar, dan ia tidak akan membiarkan rencana itu berantakan hanya karena satu agen telah tertangkap.
Di sisi lain kota, Herman, suami baru Sarah, gelisah di apartemen mewahnya. Ponselnya berdering terus-menerus, menampilkan nomor yang tidak dikenal. Ia tahu itu adalah tagihan dari Maria.
Utang-utang judi yang menumpuk telah menyeretnya masuk ke dalam jaringan kejahatan yang mematikan. Herman sadar bahwa cepat atau lambat, Maria akan datang menagih semua yang menjadi haknya, bahkan jika itu berarti mengorbankan Herman dan semua yang ia miliki.
Sarah sama sekali tidak tahu tentang Herman. Baginya, Herman hanyalah suami barunya, tanpa sedikit pun ia menyadari bahwa Herman sedang dalam cengkeraman utang yang mematikan, terlalu sibuk menikmati kemapanan yang selama ini ia idamkan.
Karena itu, Sarah hanya melihat Herman sebagai pria yang mampu memberinya kehidupan nyaman, bukan sebagai celah yang bisa menghubungkannya dengan dunia gelap Maria yang selama ini ia kira hanya ada di film.
Malam itu, Tim Predator membawa Fabian ke fasilitas interogasi rahasia. Yansya, didampingi Reno dan David, langsung memulai sesi interogasi yang intens. Karena ia tahu waktu adalah kunci untuk mengungkap jaringan Maria yang rumit, dan setiap detik sangat berharga untuk mencegah kejahatan lain yang mungkin akan terjadi.
Namun, Fabian tetap bungkam, menatap dingin tanpa ekspresi, karena ia sudah terbiasa menghadapi tekanan seperti ini. Ia tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda akan bekerja sama, bahkan setelah berjam-jam diinterogasi dengan berbagai teknik. Sehingga Yansya memutuskan untuk menyerahkan interogasi itu kepada Kepala Direktur Bram.
Setelah tugas menginterogasi Fabian beralih tangan, Yansya segera meraih ponselnya. Ia mendapati beberapa pesan dari Lisa yang menanyakan perkembangan misi dan juga mengingatkan tentang janji makan malam mereka.
Senyum tipis terukir di wajah Yansya, karena ia menyadari bahwa di tengah hiruk pikuk perburuan penjahat, ada sesosok wanita yang selalu menantikannya, dan itu memberikan energi baru baginya untuk menghadapi tantangan apa pun.
"Fabian sudah di tangan Kepala Direktur, Nona," balas Yansya, mengetik cepat, "dan sepertinya malam ini kita bisa merayakan keberhasilan Tim Predator."
Ia sengaja menambahkan sedikit nada menggoda di akhir pesannya, karena ia tahu Lisa pasti akan membalas dengan candaan yang sama, dan itu membuat suasana hatinya semakin membaik, siap untuk menghabiskan waktu berdua dengan Lisa.
Tak lama setelah pesan terkirim, balasan dari Lisa datang, "Aku sudah tidak sabar untuk perayaan itu, Tuan Ketua Tim. Oh, ya, satu lagi, aku butuh saran untuk nama tim baru kami, karena Tim Lisa sepertinya sudah tidak relevan lagi."
Yansya tersenyum lebar, mengetuk-ngetuk dagunya sejenak. "Bagaimana dengan 'Rose'?" balas Yansya, "Karena bunga itu indah, tapi durinya bisa sangat mematikan."
Sesaat kemudian, pesan lain dari Lisa muncul di layar ponsel Yansya, "Ide yang menarik, aku akan mempertimbangkannya. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau besok kita adakan latihan tanding antara Tim Rose dan Tim Predator? Ini akan jadi kesempatan bagus untuk menguji kemampuan tim kita."
Yansya terkekeh pelan. "Latihan tanding itu ide bagus, Nona, tapi bisakah kita bahas setelah makan malam kita? Karena aku merindukanmu, Nona Lisa."
Lisa membaca pesan terakhir Yansya, pipinya sedikit merona, karena pengakuan itu sukses membuatnya salah tingkah. Sebuah senyum malu-malu tersungging di bibirnya, dan ia hanya membalas dengan stiker hati, karena tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat itu, hanya degup jantung yang kian tak terkendali menantikan makan malam mereka.
Beberapa jam kemudian, di restoran yang sudah mereka pesan, Lisa menyambut Yansya dengan senyum lebar, matanya berbinar-binar. "Selamat, Ketua Tim Predator," ucap Lisa sambil tersenyum, "sekarang posisi kita sudah sejajar. Dan selamat juga karena sudah berhasil menyelesaikan misi pertamamu sebagai ketua tim dengan sangat baik."
Suaranya terdengar tulus, tanpa ada sedikit pun jejak persaingan yang biasa mereka tunjukkan.
Yansya membalas senyum Lisa, merasakan kehangatan yang menjalar di hatinya. "Terima kasih, Nona Lisa," katanya dengan nada lembut, "semua ini tidak akan mungkin terjadi tanpa dukunganmu."
Ia meraih tangan Lisa, menggenggamnya erat, menikmati momen kebersamaan yang terasa begitu berharga di tengah hiruk pikuk pekerjaan mereka.
Suasana makan malam itu dipenuhi canda tawa dan obrolan ringan, jauh dari ketegangan misi atau intrik dunia kejahatan. Yansya dan Lisa menikmati setiap hidangan, sesekali bertukar pandang yang penuh arti, seolah ingin menyampaikan perasaan yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.
Malam itu, bagi mereka, adalah jeda yang sempurna sebelum kembali menghadapi tantangan yang lebih besar di kemudian hari.
Dalam perjalanan pulang, setelah mengantar Lisa sampai ke depan apartemennya, Yansya tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, "Ngomong-ngomong, Nona Lisa, Kepala Direktur Bram sepertinya sangat peduli padamu. Aku belum pernah melihatnya sekhawatir itu pada agen lain."
Lisa tersenyum lembut, tatapannya menerawang ke kejauhan. "Ya, memang begitu," balasnya pelan, "karena dia ayahku."
Mendengar pengakuan itu, Yansya terdiam, sedikit terkejut, karena selama ini ia hanya mengenal Kepala Direktur Bram sebagai atasan yang berwibawa.
Kini, ia melihat sosok ayah yang protektif di balik aura tegas itu, sebuah sisi Lisa yang baru terungkap padanya. Hal ini membuat Yansya menyadari bahwa hubungan mereka tidak hanya sebatas rekan kerja, tetapi juga melibatkan ikatan keluarga yang mendalam, dan itu menambah dimensi baru dalam perasaannya terhadap Lisa.