Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemuning Sakit dan Tetangga tidak Ada Yang Mau Membantu
Sesampainya di rumah, Melati melihat si mbok menunggu di depan dengan raut wajah amat khawatir.
Melati pun mengucapkan terima kasih pada Arman yang sudah mengantarnya pulang dengan selamat.
"Sama-sama," jawab Arman dan Melati segera menghampiri si mbok.
"Ada apa, Mbok? Apa mbok mengkhawatirkannya ku?" tanyanya, Melati berjalan melewati wanita tua itu.
"Bagaimana mungkin mbok nggak mengkhawatirkan, Non. Juga pria tadi, dia siapa, Non? Mbok khawatir kalau dia bukan pemuda baik-baik," sahut si mbok yang mengikuti Melati dari belakang.
"Dia bukan siapa-siapa . Anak baru di desa, lagi liburan katanya." Melati menjelaskan, gadis pincang itu berjalan mendekati kamar.
"Muning sudah makan, Mbok?" tanya Melati, dia membuka pintu kamar itu dan saat itu, dia melihat adiknya sedang berbaring di ranjang.
"Muning, bangun, Dek!" kata Melati yang sekarang duduk di tepi ranjang adiknya.
Teringat hanya dialah satu-satunya yang dimiliki di dunia ini membuat Melati sedikit menyesal sudah bersikap terlalu keras.
"Ini semua salah kamu, Mbok!" ketus Melati.
Si mbok yang berdiri di pintu itu mengangkat kepala, tak mengerti maksud Melati kenapa menyalahkannya.
"Maksud Non Melati, apa?" tanyanya dengan menahan sedih.
"Kenapa kemarin rumah dukung cuma ngurung perempuan itu? Harusnya semua yang mengganggu mbok singkirkan juga, termasuk Seno," jawab Melati, dia menatap sebal pada si mbok.
"Mbok mengerti, tapi mbok rasa, Non Melati nggak perlu marah-marah di dekat Non Muning, dia masih terlalu kecil buat mendengar obrolan seperti ini," tutur si mbok, dia pun pamit undur diri pada Melati dan wanita cantik yang selalu murung itu hanya terdiam.
Si mbok yang menghentikan langkah di tengah pintu berpesan, "Mbok nunggu di luar, kalau ada yang mau dibicarakan silahkan."
Melati hanya memperhatikan. "Kamu kan yang ingin jadi ibu kami, dan ini sikap aku kalau kamu gagal jadi ibuku!" batin Melati.
Sekarang, Melati kembali fokus pada adiknya yang tidak merespon, dia pun mengusap pucuk kepala sang adik dan saat itulah Melati merasakan kalau Kemuning demam tinggi.
"Dek!" panggil Melati, dia mulai panik, berpikir apakah ini salahnya sudah mengurung sang adik dari siang sampai malam?
"Muning!" panggilnya lagi saat sang adik tak merespon. Melati merangkum wajah Kemuning yang terlihat memucat, keringat dingin membasahi keningnya dan Melati masih mencoba membangunkannya.
Perlahan, Kemuning membuka mata, dia bergumam. "Sakit, Mbak."
"Mananya yang sakit, Dek?" tanya Melati, dia berpikir kalau luka di kakinya lah yang sakit.
"Biar mbak obati, mananya yang sakit?"
"Badan Muning, Mbak. Dingin, Muning mau ibu," rintihnya dengan mata terpejam, apa yang Kemuning rintihkan membuat Melati takut, dia takut kalau adiknya akan menyusul ibunya.
Melati tak mau sendiri di dunia ini. Dia pun berteriak memanggil si mbok. "Mbok!"
Tak lama, yang dipanggil itu datang. "Iya, Non. Ada apa?"
"Bawa Muning ke rumah sakit, Mbok. Dia demam tinggi!" jawab Melati dengan nada yang meninggi, panik.
"Ke rumah sakit?" tanya si mbok. Bukannya tadi baru saja dari klinik untuk berobat, apa mungkin obatnya tidak cocok?
Tak banyak bertanya lagi, si mbok segera membantu Kemuning untuk bangun, tapi tiba-tiba dia terdiam.
"Mbok, ada apa? Kenapa diam?" Sergah Melati.
"Mbok harus cari kendaraan dulu, Non. Kita lupa kalau kita nggak punya mobil lagi, nggak mungkin Non Muning kita ajak jalan kaki, jauh," sahut si mbok.
"Ya udah, kalau gitu cepetan!" jawab Melati yang tak ingin si mbok berlama-lama lagi.
Si mbok pergi keluar, dia mencari-cari kendaraan yang mau disewa dan sama sekali tetangga tidak ada yang menyewakan mobil atau mau membantunya, takut ketiban sial katanya.
Kejadian ini membuat si mbok teringat dengan kejadian di masa lalu, dimana Kin mengulurkan tangannya meminta pertolongan warga dan saat itu Juragannya melarang semua orang untuk menolongnya, menakut-nakuti mereka yang hendak menolong Kin.
Si mbok pulang dengan tangan kosong, dia menggigit ujung jarinya kanannya, kali ini pasti Melati kembali menyalahkan dirinya lagi.
"Mbok, ayo cepat, Muning menggigil hebat!" Melati menyusul keluar dan melihat si mbok seperti itu membuatnya geram.
"Kita kasih obat dulu, Non. Obat yang tadi dari klinik," jawab si mbok yang kemudian mengambilkan sedikit nasi juga obat-obatan Kemuning.
"Non Muning, sebelum minum obat, Non harus makan dulu, walau sedikit nggak papa, nggak boleh minum obat dalam keadaan perut kosong!" tutur si mbok dan Muning hanya diam, dia sama sekali tak selera makan.
Walau begitu, sedikit demi sedikit si mbok menyuapi Kemuning dengan telaten.Setelah masuk beberapa suap, sekarang si mbok mulai menuangkan sirup penurun panas dan obat-obat yang lain juga.
Melati membantu Kemuning untuk duduk, dia juga meminta sang adik untuk membuka mulut. Kemuning mencoba menurut, tapi rasa obat itu terlalu pahit sehingga membuatnya menyemburkan obat itu.
"Dek! Ko dibuang, sih?" protes Melati dengan nada yang menyedihkan.
"Pait, Mbak!" jawab Kemuning, masih dengan merintih.
"Ya udah, kalau gitu obat penurun demamnya aja, Mbok. Biasanya obat itu manis, yang penting demam Muning turun dulu!" kata Melati, dia masih panik, khawatir.
Si mbok menurut dan Kemuning pun meminum obatnya.
Sekarang, Melati sedikit merasa lega, berharap obat itu segera menyembuhkan adiknya. Lalu, matanya beralih ke piring yang ada di nakas, hanya putih tanpa lauk.
Melati meneteskan air mata, dulu hidupnya bergelimang harta, semua makanan kesukaannya tersaji di meja makan, sekarang untuk makan harus bersyukur masih ada nasi.
"Mbok, apa nggak ada tukang becak lagi?" tanya Melati.
"Nggak ada, sudah malam, mereka udah pada pulang, juga kita nggak punya biaya buat bawa Non Muning ke rumah sakit, Non," jawab si Mbok dengan lesu.
Seraya menunggu Kemuning, Melati juga menjelaskan keadaan sawahnya yang gagal panen.
"Kenapa, ya, mbok? Padahal sawah orang lain padinya bagus-bagus, cuma punya kita aja yang gagal panen," desah Melati, dia menarin nafas dalam, beban yang dititipkan oleh ayahnya terlalu berat untuk dipikul.
Si mbok merasa bersalah karena belum bisa menceritakan awal mula kutukan itu terucap dari bibir Kin. Dia terdiam seribu bahasa.
Melati menarik nafasnya dalam, dia sendiri sampai melupakan makan siang dan malamnya.
"Sebaiknya Non Melati makan dulu, mbok nggak mau non sakit juga."
"Melati nggak laper, Mbok. Udah kenyang makan hinaan dari kakung."
"Dari kakung? Non dari desa sebelah?"
Melati menjawab dengan mengangguk. Dia sedikit berpikir karena masih memiliki si mbok yang tak pernah meninggalkannya. Tapi, lagi-lagi prasangka buruknya datang membuat Melati kembali membenci si mbok.
Melati kembali menyentuh kening Muning dan demam itu tak juga turun membuat Melati hendak menggendong adiknya.
"Non, mau dibawa kemana?" tanya si Mbok yang reflek membantu.
"Ke rumah sakit, Muning harus dirawat, mbok!" jawab Melati.
Si mbok menitikkan air matanya, dadanya kian sesak, uang dari mana untuk rawat inap Muning? Sementara kemarin dia membawa uang terakhirnya ke mbah Prapto dan sekarang belum ada pemasukan lagi.
"Mbok, ayo! Kenapa diam!"
"Kalau bingung soal biaya Melati nggak keberatan harus melepas semua, jual sawah, jual emas peninggalan ibu! Yang penting Muning sehat lagi!"
Si mbok mengangguk. Tapi sekarang bagaimana caranya membawa Kemuning ke rumah sakit dengan jarak yang cukup jauh tanpa kendaraan?
Bersambung dulu, ya.