Rasanya sangat menyakitkan, menjadi saksi dari insiden tragis yang mencabut nyawa dari orang terkasih. Menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana api itu melahap sosok yang begitu ia cintai. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma selama bertahun-tahun. Trauma itu kemudian memunculkan alter ego yang memiliki sifat berkebalikan. Kirana, gadis yang mencoba melawan traumanya, dan Chandra—bukan hanya alter ego biasa—dia adalah jiwa dari dimensi lain yang terjebak di tubuh Kirana karena insiden berdarah yang terjadi di dunia aslinya. Mereka saling Dalam satu raga, mereka saling menguatkan. Hingga takdir membawa mereka pada kebenaran sejati—alasan di balik kondisi mereka saat ini. Takdir itu memang telah lama mengincar mereka
Swastamita
Sore hari yang tenang, sinar matahari berwarna cerah memeluk langit, memberikan sentuhan hangat di taman yang rindang. Di bawah pohon beringin yang besar, dedaunan hijau bergoyang perlahan tertiup angin, menciptakan suasana damai dan menenangkan. Kirana duduk bersila di sana, tenggelam dalam halaman-halaman buku tebal yang mengajaknya menyelami pengetahuan tentang dunia baru yang dia tinggali ini. Dia begitu larut dalam kekhusyukannya seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang.
Suara burung berkicau dan gemerisik daun menjadi latar belakang sore yang damai itu. Sesekali, Kirana merapikan rambut hitam panjangnya yang tergerai, menyibakkannya ke belakang telinga agar tidak mengganggu pandangan. Senyum tipis terukir di bibirnya setiap kali menemukan fakta menarik atau informasi baru. Matanya berbinar-binar dengan semangat keingintahuan yang tinggi, menggambarkan kecintaannya pada ilmu pengetahuan.
Tiba-tiba, muncul seorang gadis berambut merah menyala dengan mata merah yang berkilauan entah dari mana. Kehadirannya yang begitu tiba-tiba itu berhasil membuat Kirana terkejut. Dia mengangkat wajahnya dari buku dan memandang gadis itu dengan penuh rasa ingin tahu. Gadis itu mendekat, senyum hangat menghiasi wajahnya yang cantik.
"Halo," sapanya dengan ramah. "Namaku Swastamita, kamu bisa memanggilku Mita. Empu Agung telah memberiku tugas untuk membimbing dan menjaga kamu dalam melakukan ritual sembahyang. Kita akan menempuh perjalanan jauh ke lereng gunung Sembara."
Kirana terdiam sejenak, matanya membelalak. Perasaan bingung berkecamuk dalam hati. "Apa maksudmu? Aku belum mendengar apa pun dari Empu Agung."
Mita mendekat dan sedikit membungkukkan badan. Dia mengulurkan tangan di hadapan Kirana.
"Jangan khawatir. Lebih baik kamu ikut aku sekarang. Kita bisa bertemu Empu Agung dan memastikan semuanya. Bagaimana?"
Kirana memandang uluran tangan Mita. Meski masih diliputi kebingungan, Kirana bisa merasakan ketulusan yang Mita tunjukkan dari sikapnya. Akhirnya, Kirana menerima uluran tangan gadis itu, dan mereka bersama pergi ke kediaman Empu Agung.
Sesampainya di bangunan tua yang dihormati sebagai tempat tinggal Empu Agung, kedatangan Kirana dan Mita disambut ramah oleh Empu Agung dengan aura kebijaksanaan yang memancar dari sorot matanya. Empu Agung tersenyum lembut kepada dua orang tamu yang berkunjung sore itu.
"Kau sudah tiba rupanya, Mita," sapa Empu Agung.
"Aku berusaha sebisaku untuk tiba lebih cepat, Empu. Karena Empu sendiri yang memintaku untuk pulang," balas Mita dengan penuh semangat.
"Apakah kalian sudah saling mengenal?" Empu Agung memandang Kirana dan Mita secara bergantian. Empu Agung senang melihat mereka datang bersamaan dan sudah terlihat akrab satu sama lain.
"Tentu saja, Empu. Betul 'kan, Kirana?" Mita merangkul lengan Kirana tanpa canggung, seperti seorang teman lama.
Berbanding dengan Mita, Kirana sebenarnya masih merasa kikuk. Namun, dia sebisa mungkin tidak terlalu menunjukkannya. "Iya, Empu. Saya sudah berkenalan dengan Kak Mita beberapa saat yang lalu."
Empu Agung mengangguk paham.
"Kirana, Mita adalah salah satu murid Empu yang telah lama tinggal di Langgar Suci. Dia adalah seseorang yang luar biasa. Empu yakin, Mita adalah kandidat yang paling mampu untuk menjaga dan membimbingmu selama kalian melakukan perjalanan jauh nanti," jelasnya.
Mita tersipu malu, pipinya sedikit memerah. Dia tidak terbiasa dengan yang namanya pujian. "Empu, biarkan aku yang bercerita tentang diriku sendiri pada Kirana. Tidak nyaman rasanya, mendengar orang lain membicarakan tentangku."
"Baiklah, Empu mengerti. Apakah ada hal yang ingin kalian sampaikan?" Suasana berubah menjadi serius setelah Empu mengajukan pertanyaan.
"Saya ingin bertanya perihal ritual sembahyang yang Empu bicarakan tempo hari. Mita sudah mengatakannya pada saya, bahwa dia akan mengantar saya ke lereng gunung. Bagaimana maksudnya, Empu? Apakah saya harus melakukan perjalanan jauh untuk ritual sembahyang ini?"
Empu Agung mengangguk, kemudian menjawab, "Iya, Kirana. Di sana, sembahyangmu akan lebih khusyuk dibandingkan di Langgar Suci ini. Kamu tidak perlu khawatir, karena selama perjalanan Mita akan melindungi dan juga membimbingmu."
"Jika menurut Empu hal itu adalah baik, saya percaya pada keputusan Empu Agung." Kirana pasrah pada keputusan yang telah ditetapkan oleh Empu Agung. Dia harus percaya bahwa keputusan Empu Agung adalah yang terbaik untuknya saat ini.
"Apakah ada lagi yang ingin kalian sampaikan?"
"Kapan saya akan mulai berangkat, Empu?"
"Secepatnya. Persiapkan diri dan mentalmu Kirana, karena perjalanan yang akan kau tempuh tidaklah mudah."
"Saya akan berusaha sebisa mungkin, Empu."
"Syukurlah, aku senang mendengarnya."
Mereka tidak terlalu lama berada di kediaman Empu Agung. Setelah mendapatkan jawaban untuk rencana ritual sembahyang yang akan Kirana lakukan dalam waktu dekat, kedua gadis itu akhirnya berpamitan undur diri pada sang Empu.
Empu Agung mengizinkannya. Setelah itu, dia kembali larut dalam aktivitas spritualnya kembali.
***
Langgar Suci menjelang sore hari memiliki suasana yang begitu khas dan menenangkan. Matahari yang perlahan turun ke cakrawala memberikan warna oranye dan merah muda yang hangat pada langit, menciptakan bayang-bayang panjang di antara pohon-pohon besar yang mengelilingi bangunan tersebut. Angin semilir bertiup lembut, membawa aroma bunga-bunga dari taman yang tertata rapi di sekitar Langgar. Burung-burung berkicau riang, berpindah dari satu dahan ke dahan lain, seolah-olah ikut menikmati ketenangan sore itu.
Di tengah suasana damai ini, Mita dan Kirana melangkah bersama menuju kamar Kirana. Mita dengan mata yang berbinar dan senyum yang tak pernah luntur, mulai bercerita tentang perasaannya.
"Aku selalu merasa senang berada di Langgar Suci," curhat Mita dengan nada yang penuh kehangatan. "Setiap kali aku kembali ke sini, rasanya seperti pulang ke rumah. Suasana di sini selalu memberikan kedamaian dan ketenangan yang sulit ditemukan di tempat lain."
Kirana mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan kehangatan yang terpancar dari kata-kata Mita. Mereka melangkah menyusuri koridor panjang dengan dinding berhiaskan ornamen kuno dan lentera-lentera yang mulai dinyalakan satu per satu.
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di kamar Kirana. Kamar itu sederhana namun nyaman, dengan jendela besar yang menghadap ke taman, memungkinkan cahaya matahari sore masuk dan mengisi ruangan dengan nuansa keemasan. Di sudut kamar terdapat meja kecil dengan beberapa buku berserakan dan sebuah vas bunga segar yang menghiasi ruangan.
"Jadi di sini kamarmu, ya. Aku bisa mengatakan bahwa kamarmu begitu nyaman," puji Mita sambil tersenyum, matanya mengamati sekeliling kamar dan tanpa ragu dia merebahkan tubuh di atas ranjang.
"Terima kasih, Kak Mita," kata Kirana sambil berjalan menuju ke dekat meja. Dia mengambil teko berisi minuman dingin dan dua cangkir, lalu menuangkannya dengan hati-hati. "Ini, minumlah dulu. Kakak pasti lelah setelah perjalanan jauh."
Mita menerima cangkir itu dengan senang hati, menyesap minuman dingin yang menyegarkan. "Terima kasih, Kirana. Kamu sangat baik."
"Jadi, ceritakan padaku tentang diri Kakak dan petualangan Kakak selama berada di luar Langgar," pinta Kirana dengan penuh rasa ingin tahu.
"Aku hampir lupa soal itu." Mita langsung bangkit dari tidurnya, kemudian menaruh cangkir dan mulai bercerita. "Aku dulu hanya seorang gelandangan yang mencoba untuk bertahan hidup, Kirana. Semuanya berawal saat aku ketahuan mencuri. Saat itu, penduduk menghakimiku, dan hampir membunuhku. Empu Agung datang dan menyelamatkanku, membawaku ke sini dan merawatku dengan penuh baik. Aku tidak tahu kalau tidak ada Empu saat itu, mungkin kita tidak akan pernah bertemu seperti ini."
Kirana turut prihatin mendengar kisah hidup Mita yang ternyata tidak mudah. Sorot matanya fokus seolah sedang membayangkan kejadian yang dialami Mita saat itu.
"Lalu, Empu Agung membawa Kakak kemari? Berapa usia Kakak saat itu?"
"Kalau kuingat-ingat, usiaku saat itu sekitar sepuluh tahun. Entahlah, kejadiannya sudah terlalu lama, aku jadi lupa tepatnya. Tapi, sejak hari itu, Sang Hyang seakan memberikan berkah bertubi-tubi padaku. Aku sangat senang dan bersyukur bisa bertemu dengan Empu Agung dan bisa menjalani hidup menjadi bagian dari Langgar suci ini."
"Ya, aku sudah mendengar beragam kisah orang-orang yang tinggal di sini. Aku juga bersyukur bisa ditemukan oleh Empu Agung."
"Memangnya, apa yang terjadi padamu, sampai Empu Agung membawamu kemari?"
"Ceritanya panjang, tapi yang pasti, saat itu aku terluka parah dan dibuang ke danau. Aku beruntung, Empu Agung menyelamatkanku."
Mita terbelalak mendengar cerita Kirana. Kisah gadis yang sedang duduk di hadapannya saat ini, ternyata jauh lebih mengerikan dan tragis dari kisahnya sendiri.
"Tapi sekarang, kamu sudah tidak apa-apa 'kan, Kirana?" tanya Mita terlihat panik.
Kirana tersenyum dan menjawab, "Sekarang aku baik-baik saja. Empu Agung sudah mengobatiku."
Tidak ingin larut dan hanyut dalam cerita masa lalu, Kirana lantas mengalihkan topik pembicaraan. "Oh, ya. Jadi, apa saja yang Kakak lakukan selama di luar Langgar Suci?"
"Aku hanya berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain, aku belajar ilmu bela diri dan meningkatkan kemampuanku selama perjalanan."
"Kamu sangat menyukai ilmu bela diri, ya?"
"Sangat. Walaupun, aku sudah membuat Empu kecewa karena aku lebih tertarik belajar bela diri."
"Kenapa bisa begitu?"
"Jadi dulu itu, Empu Agung mengajariku ilmu filsafat, spiritual dan hikmah. Tapi, aku sulit sekali belajar. Sampai akhirnya, aku melihat salah satu murid Empu Agung yang mengajari ilmu bela diri di Langgar suci ini. Saat itu, aku merasa langsung jatuh cinta, dan aku memberanikan diri untuk meminta izin pada Empu Agung belajar ilmu bela diri, dan beliau mengizinkannya. Tapi kamu tenang saja, kalau soal sembahyang, aku masih mampu membimbingmu."
"Aku senang mendengarnya," kata Kirana, sambil menaruh kembali cangkirnya yang telah kosong di meja. "Aku harap aku bisa belajar banyak darimu, Kak."
Mita tersenyum hangat. "Tentu saja, Kirana. Kita akan belajar dan tumbuh bersama. Karena sekarang kita adalah keluarga."
Bersambung
Selasa, 30 Agustus 2025