Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Gue suka Nayna
Di Bina Karya kembali berhembus kabar tak sedap. Beredar sebuah berita yang membuat geger di kelas dan setiap tempat berkumpul siswa siswinya sebelum bel masuk berbunyi.
"Nay, udah tahu belum? Udah cek sosmed?"
Tania langsung memberondong pertanyaan saat matanya mendapati Nayna masuk kelas.
Yang ditanya hanya mengedikkan bahu, langkahnya tetap santai menuju tempat duduk. Sementara Tania berlari mengejar, lalu memperlihatkan layar ponsel ke arah temannya.
Nayna yang awalnya bergeming tak peduli, seketika mengeryitkan kening. Alisnya bertaut, jantung berdegup kencang.
Video masa lalu itu, kembali muncul. Kali ini, diikuti beberapa video lain, termasuk saat dia dan Aksara berada di taman sekolah beberapa waktu lalu. Dia masih ingat betul, tak ada percakapan kala itu, hanya satu kalimat dari Aksara yang memudar di udara tanpa balasan. Namun, yang menjadi pertanyaan, siapa yang merekam dan menyebarkan?
Brak!
Seisi kelas menoleh ke arah pintu, terlihat Melda yang berdiri di sana dengan wajah merah padam.
"Istirahat nanti, gue tunggu lo di belakang sekolah!"
Meski tak menyebutkan nama, tapi semua paham siapa yang dimaksud siswi dari kelas sebelah itu. Tatapan Melda yang tajam, tak lepas dari satu titik, yaitu Nayna. Setelahnya, dia bersiap pergi dengan hentakan kaki yang cukup keras. Namun saat dia berbalik, dirinya justru berpapasan dengan seorang siswa yang baru datang dengan ransel di pundak.
"Eh, Ibu Ondel, ngapain? Nyariin Pak Ondel ya? Dia masih di parkiran noh, baru aja dateng. Gitu ya rasanya punya pacar, hari-hari isinya kangen terus."
Melda melotot dan berlalu tanpa sepatah kata pun, membuat Sandy bergumam, "tumben nggak nyap-nyap, kenapa sih?"
Sandy melangkah masuk kelas dan mendapati Nayna dan Tania yang masih menatap ke arah pintu. Bukannya bertanya pada kedua gadis itu, Sandy memilih menghampiri mejanya lalu duduk dengan tenang. Tangannya merogoh ponsel dan mulai mengetik sesuatu.
Setelah mendapat balasan, dia menoleh ke arah Irwan yang duduk di sampingnya lalu mengangguk kecil.
Jadi si ondel ngajak Nayna ketemuan? Mau apa? Pasti soal video itu. Ckck, dasar ondel-ondel kesurupan uler!
Sandy menahan tawa dan menatap seseorang yang baru saja masuk kelas. Dia kembali membuka ponsel, lalu mengetik sesuatu dengan wajah menyimpan kesal.
Sementara di bangkunya, Aksara merasa getaran dari ponsel di dalam tas. Tangannya merogoh, mencari benda itu, lalu menatap layarnya. Satu pesan masuk di aplikasi hijau. Siapa? Batinnya sembari membuka pesan tersebut.
Heh, Pak Ondel. Bini lu noh, mau ngelabrak Nayna, ntar jam istirahat di belakang sekolah. Jelas ini soal video itu. Makanya, punya bini dibimbing ke jalan yang benar, biar lu dapet pahala jariyah. Tu cewek juga nggak ngereog mulu nyari ribut sana-sini.
Aksara menoleh ke belakang, menatap tajam pada wajah yang tersenyum lebar ke arahnya. Sandy juga melambaikan tangan yang membuat Aksara semakin ... muak.
Awas aja lo, San!
Aksara mengepalkan tangannya kuat, hingga buku-buku jari terlihat menonjol, sementara garis rahangnya juga semakin terlihat. Dia menarik napas lalu menghembuskan perlahan, lalu melirik ke arah Nayna yang sibuk bercakap dengan Tania.
*
Waktu yang dinanti akhirnya datang juga. Bel istirahat bergema di seantero Bina Karya. Para murid berbondong-bondong keluar kelas, lalu berpisah dengan tujuan berbeda.
Berbeda dengan kelas XI AK-3, di mana mereka masih diam di tempat, menatap Nayna dan Tania yang belum beranjak.
"Kalian kenapa sih?" Tania bertanya pada teman-temannya, namun mereka tetap diam dan ikut bangkit saat Nayna melangkah ke arah pintu. Gadis itu menghentikan langkah, balik badan lalu berkata pelan.
"Kalian mau apa? Ikutin aku? Nggak usah, nanti malah ribut. Di sini aja. Biar itu jadi urusanku tanpa membawa kalian semua."
Dia berlalu dengan sebelah tangan menarik Tania.
"Wah, rame nih."
"Pasti perang, secara si Melda kan tukang bully."
"Gimana ntar kalau Nayna di apa-apain sama tu cewek?"
Suara-suara itu membuat Aksara dan Sandy bangkit, saling mendahului. Keduanya melempar lirikan maut, saat lengan mereka bersinggungan di ambang pintu. Tanpa suara, tanpa kode lain, keduanya berlalu pergi ke arah yang sama.
Di sisi lain sekolah, Nayna sudah berhadapan dengan Melda. Sementara Tania berdiri di belakangnya berseberangan dengan 'anak buah' Melda yang menatap sinis.
"Gue peringatin sekali lagi, lo jangan deket-deket cowok gue. Lo budek ya! Berapa kali gue ngomong gini ke lo. Jadi, diem-diem kalian sering ketemuan, hah? Emang cewek kampung, sok kecakepan. Lo dateng ke sini cuma mau dapetin masa lalu lo itu? Haha, mimpi lo ketinggian! Udah bener tempat lo di kampung yang udik, jauh dari peradaban dunia."
Melda menatap Nayna dengan kobaran api di kedua bola matanya. Tangan terkepal, napas memburu, membuat tubuhnya sedikit bergetar menahan rasa yang bergejolak di dada.
Nayna masih tenang, tak sedikit pun terpengaruh emosi dari Melda. Dia hanya melipat lengan di dada, lalu tersenyum.
"Udah? Jadi kamu ngajak aku ketemu di sini buat itu aja? Kenapa nggak sekalian tadi pagi? Oh ya, kamu bilang aku deket-deket cowokmu? Nggak kebalik? Makanya, apa-apa tanya dulu ke orangnya. Kamu tanya pacarmu sana, ngapain ngejar cewek kampung ini. Iya, emang bener, dulu aku yang kecintaan sama dia, tapi sekarang? Haha, makasih. Aku cewek waras dan satu lagi, aku punya prinsip dan tentunya 'harga diri'."
Nayna menekankan dua kata terakhir dan bersiap pergi, namun suara Melda membuatnya kembali memutar tubuh, kembali menghadap cewek dengan rambut panjang berhiaskan bandana pink.
Melda tertawa dengan tangan berkacak pinggang.
"Lo pikir, Aksara suka sama lo? Haha mimpi!"
Nayna diam, namun sebuah suara lain memecah keheningan.
"Kenapa kalo gue suka Nayna?"
Baik Melda maupun Nayna sama-sama terkejut melihat Aksara yang berjalan ke arah mereka. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
"Ta-tapi, lo kan pacar gue, kita udah jadian. Papa juga udah setuju sama hubungan kita," ucap Melda dengan suara bergetar. Matanya tak lepas dari wajah tampan yang senantiasa dia mimpikan.
"Kapan? Gue nggak pernah jadian sama siapa pun, lo yang ngancem gue, dan sekarang? Semua udah tahu soal itu. Satu lagi, gue nggak pernah suka sama lo, cewek nggak tahu malu, cewek yang bisanya ngehina orang tanpa pernah introspeksi diri!"
Suara Aksara pelan, namun penuh tekanan. Cukup membuat Melda dan semua terdiam. Nayna tak percaya, laki-laki itu akan berkata demikian. Sementara Melda, menatap Aksara dengan mata berkaca.
Tak ingin berlarut, Nayna memilih pergi bersama Tania. Dia meninggalkan Aksara yang masih berdiri di tempatnya, sedangkan Melda juga bergeming dengan mata basah.
Di sudut koridor yang tersembunyi, sepasang mata menatap pertunjukan di belakang sekolah dengan senyum misterius.
'Cukup menarik'
Dia berlalu pergi dengan kedua lengan masih terlipat di dada.
Tu orang ngapain? Senyum-senyum sendiri kayak orang bener. Hm, gue kudu cari tahu, ada urusan apa dia sama ini semua.
Sandy berlalu pergi dengan ekor mata terus mengawasi sosok yang kini masuk ke salah satu kelas.
**
Seperti biasa, sepulang sekolah, Nayna dijemput ayahnya dengan motor tua yang masih setia menemani.
Rahmat tersenyum kala menatap wajah putrinya yang masam dan banyak diam. Dia tak banyak tanya, terus melajukan motornya ke tempat paling nyaman.
Sesampai di rumah, Nayna turun lebih dulu tanpa menunggu sang ayah yang masih melepas helmnya.
Gadis itu menjabat tangan ibunya yang berdiri di ambang pintu dan berlalu masuk kamar tanpa obrolan apa pun. Bahkan, dia tak menjawab saat Siti menanyakan tentang sekolahnya.
"Kenapa, Yah? Minta jajan nggak diturutin?" Siti cepat menahan lengan suaminya sebelum laki-laki itu masuk.
Rahmat hanya mengedikkan bahu, lalu menggeleng pelan dan melangkah masuk.
Setelah beberapa saat, Rahmat dan Siti mengetuk pintu kamar anaknya. "Ayah aja yang nanya ya, Ibu mau ke rumah Bu RT dulu. Nanya arisan, sekarang apa besok. Ibu nggak ada paketan, jadi nggak bisa buka grup." Siti berlalu sesaat sebelum pintu terbuka.
"Ada apa, Yah?" Nayna muncul dengan wajah sembab.
"Boleh Ayah masuk?"
Nayna membuka pintu, mempersilakan ayahnya masuk.
Di dalam, Rahmat mulai mengobrol dari hati ke hati, dia tahu putrinya tengah mengalami hari yang berat. Nayna juga merasa menemukan tempat yang tepat, untuknya mengatakan semua isi hati yang membuat penat.
***