Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Beberapa hari setelah pameran…
Nama Kala Kita kembali harum di media. Video rekayasa yang sempat mencoreng nama mereka berhasil dibuktikan sebagai fitnah. Banyak pihak meminta maaf, bahkan investor baru berdatangan.
Namun di balik senyuman dan pencapaian itu, ada seseorang yang masih menyimpan dendam.
Seseorang yang tidak bisa menerima bahwa Dewi Ayu Ningrat tetap berdiri… bahkan lebih tinggi dari sebelumnya.
---
Pagi itu, Dewa berangkat lebih awal dari rumah Naya. Ia hendak menghadiri rapat mendadak dengan calon mitra dari Singapura. Dewi yang semula hendak menyusul, memutuskan untuk mampir sebentar ke kios langganannya membeli bunga segar—kebiasaan kecil yang ia jaga setiap Jumat.
Namun itulah titik di mana semuanya berubah.
Saat hendak masuk kembali ke mobil online yang ia pesan, sebuah mobil hitam berhenti tiba-tiba di pinggir jalan.
Dua pria keluar cepat-cepat. Salah satunya menodongkan sesuatu ke arah sopir, yang segera dibekuk dan dibuang ke trotoar. Sementara pria kedua menarik Dewi masuk dengan kasar ke dalam mobil.
Dewi meronta.
“Hei! Lepaskan aku! Kalian—!”
Teriakannya dibungkam dengan kain. Mobil melaju cepat, menembus padatnya jalan pagi.
---
Pukul 11.20.
Dewa sedang duduk di meja rapat ketika ponselnya bergetar. Naya menelepon.
“Ikutkan di loudspeaker,” bisik Dewa pada asistennya. Ia mengangkat.
“Dewa... Dewi belum sampai kantor,” suara Naya terdengar cemas. “Dia pamit sebentar, tapi dari tadi nggak aktif HP-nya. Dan... sopir ojek online-nya ditemukan pingsan di jalan.”
Dewa sontak berdiri. Jantungnya seakan berhenti berdetak.
“Di mana terakhir lokasinya?”
“Dekat toko bunga jalan Amarta. CCTV setempat menunjukkan mobil hitam... nomor platnya tidak jelas.”
Dewa tidak menjawab. Ia segera keluar ruangan, langkah cepat dan napas tertahan.
---
Beberapa jam berlalu.
Tim keamanan pribadi Dewa turun ke lapangan. Polisi sudah dilibatkan. Tapi belum ada jejak.
Dewa duduk diam di ruang kerjanya. Map laporan terbuka, tangannya mengepal.
Naya masuk dengan mata bengkak.
“Kamu harus makan...”
“Aku janji akan jaga dia, Naya.” Suara Dewa pecah. “Tapi sekarang... aku bahkan tidak tahu apakah dia masih hidup.”
---
Di tempat lain…
Dewi terbangun dalam ruang kosong, tangan terikat, kepala nyeri. Seseorang duduk di depannya, menatapnya dalam gelap.
“Saya kira kamu akan lebih takut,” kata orang itu—suara wanita.
Dewi menyipitkan mata. “Nadine...?”
Nadine tersenyum miring. “Kau tahu, Dewi... awalnya aku hanya ingin reputasimu hancur. Tapi sekarang... aku ingin kamu lenyap.”
“Kenapa? Karena Dewa mencintaiku?”
“Karena kamu menghancurkan segalanya tanpa menyadarinya! Semua yang harusnya milikku... direnggut begitu saja oleh perempuan biasa macam kamu!”
Dewi menahan sakit, tapi masih bisa tersenyum tipis. “Kamu keliru. Cinta tidak bisa direbut. Kalau bisa... maka sejak awal, itu bukan cinta.”
---
Malam mulai turun.
Lokasi Dewi akhirnya terlacak oleh sistem pelacakan ponsel yang sempat menyala beberapa detik sebelum baterainya habis.
Gudang tua di pinggiran kota.
Dewa meluncur sendiri, bersama dua petugas keamanan.
Saat mereka tiba, Nadine sudah melarikan diri. Tapi Dewi ditemukan di dalam... pingsan, dengan luka di pelipis dan pergelangan tangan memar karena ikatan.
---
Rumah sakit.
Dewa duduk di samping tempat tidur Dewi. Jarum infus menempel di tangan istrinya. Monitor berdetak stabil. Tapi Dewi belum membuka mata.
Air mata jatuh dari mata Dewa.
Tangannya menggenggam tangan Dewi.
“Aku tidak tahu apa yang kulakukan kalau kamu nggak kembali,” bisiknya. “Kamu bilang aku tenang. Tapi tanpamu... aku cuma sunyi yang kesepian.”
“Jangan tinggalkan aku, Dewi…”
---
Pagi harinya…
Dewi mengerjap pelan.
“Dewa…?” suaranya serak.
Dewa langsung mendekat, menggenggam tangannya kuat-kuat. “Aku di sini.”
Dewi tersenyum samar, meski matanya masih berat. “Kalau aku mati... tabunganku di dompet merah, jangan dipakai buat beli kursi mahal, ya…”
Dewa tertawa lirih, lalu mencium keningnya.
“Kalau kamu mati, aku ikut. Jadi simpan dompetmu baik-baik.”
lalu tiba tiba Dewi memejamkan matanya lagi dan itu membuat dewa panik.
...----------------...
Rumah sakit sudah seperti rumah kedua bagi Dewa.
Setiap hari, setiap malam, selama tiga puluh hari.
Dewi belum membuka matanya lagi sejak sadar sesaat dari penculikan itu. Dokter menyebutnya koma ringan akibat trauma kepala dan syok sistemik. Dewa tidak peduli istilahnya. Yang ia tahu, kekasihnya wanita yang ia cintai belum kembali padanya. Dan dunia... terasa kosong.
---
Di dalam ruang rawat intensif, Dewa duduk di kursi dekat ranjang. Jemarinya menggenggam tangan Dewi yang dingin. Ia menatap wajah Dewi lama sekali.
“Sayang,” bisiknya pelan. “Aku tahu kamu bisa dengar aku.”
“Jadi dengar baik-baik... Aku gak akan biarkan mereka tenang.”
Malam-malam berikutnya…
Dewa tetap hadir. Tapi di luar ruangan itu, dunia melihat sisi baru dari pria bernama Dewa Satria Wicaksono.
---
Siang hari
“Pak Dewa… Anda yakin mau lanjut laporkan Nadine ke Kejaksaan?” tanya pengacara pribadinya
Dewa menatap tajam. “Kamu pikir aku akan membiarkan orang yang nyaris membunuh orang yang kucintai hidup tenang?”
“Tapi... Nadine itu sepupu jauh dari pihak tante. Nama keluarga—”
“Sudah cukup. Jangan bawa-bawa keluarga padaku,” potong Dewa dingin. “Mulai hari ini, semua yang terlibat... akan mendapat balasannya.”
“Baik, Pak.”
---
[Beberapa jam kemudian — Apartemen Nadine]
Nadine membuka pintu dengan wajah kusut. Di luar sana berdiri dua polisi dan dua pengacara.
“Ada apa ini?”
“Kami punya surat penahanan. Anda diduga terlibat dalam penculikan dan percobaan pembunuhan atas nama Dewi Ayu Ningrat.”
“APA?! Siapa yang melapor?!”
Dewa muncul dari samping, mengenakan jas hitam. “Aku.”
Mata Nadine membelalak. “Dewa... kamu... kamu percaya aku bisa lakukan itu?”
Dewa tersenyum tipis. “Aku tidak percaya. Tapi bukti percaya padaku.”
---
[Malam ke-17 — Rumah sakit]
Dewa kembali ke ruangan. Ia membawa selimut kecil. Duduk di samping Dewi, dan mulai bicara seperti biasa.
“Hari ini aku menang lagi, Dew. Nadine ditahan. Dan besok aku akan datangi satu-satu yang pernah senyum saat kamu terluka.”
Ia menarik napas, lalu suaranya merendah.
“Tapi kamu tahu, aku benci begini. Aku benci harus jadi dingin dan kejam... Tapi kalau ini satu-satunya cara melindungimu, aku rela jadi iblis.”
Ia menunduk. “Tapi kembalilah. Karena cuma kamu yang bisa buat aku jadi manusia lagi.”
---
[Hari ke-21 — Ruang rapat keluarga besar Wicaksono]
“Dewa, kamu gila!” teriak salah satu paman. “Menyeret urusan ini ke publik? Nama keluarga kita—”
Dewa berdiri dari kursinya. Matanya membara.
“Kalian menyebut diri keluarga... Tapi diam saat calon istri ku nyaris mati!”
“Aku sudah diam cukup lama. Dan aku janji... siapa pun yang ikut andil dalam kekacauan ini, darah keluarga atau bukan, akan kuhancurkan satu per satu.”
Salah satu bibi mencoba menengahi. “Tapi kita satu darah, Nak—”
“Aku hanya setia pada satu orang sekarang,” Dewa menatap mereka satu per satu. “Dan dia... sedang berjuang untuk hidupnya di ruang ICU.” lalu dewa pergi dari perusahaan neraka itu
---
[Malam ke-25]
Dewa duduk di samping Dewi. Wajahnya tampak lelah. Rambutnya sedikit acak-acakan.
Ia berbicara dengan suara serak.
“Dewi… aku sudah mulai takut…”
Ia mengusap tangan Dewi dengan lembut. “Takut kalau kamu nggak balik... Aku sudah menang banyak, tapi tetap terasa kalah...”
Air matanya jatuh. Untuk pertama kalinya di hadapan siapa pun, Dewa Satria Wicaksono menangis.
“Jangan hukum aku dengan tidur terlalu lama. Aku sudah berubah. Tapi bukan karena dunia. Karena kamu...”
---
[Hari ke-30 — Tengah malam]
Dewa tertidur di sisi ranjang. Tangannya masih menggenggam tangan Dewi.
Tiba-tiba, jemari itu bergerak perlahan.
Dewa tersentak.
“Dewi?”
Kepala Dewi sedikit bergeser. Matanya mengerjap... pelan... lalu terbuka.
“Dewa…?”
Dewa berdiri cepat. Matanya merah karena air mata menggenang.
“Ya... ya, aku di sini. Kamu dengar aku?”
Dewi tersenyum lemah. “Aku... mimpi... kamu jadi jahat.”
Dewa tertawa kecil sambil menangis. “Aku memang jahat sekarang... Tapi hanya buat mereka yang nyakitin kamu.”
Dewi mengerjap pelan. “Aku... lapar…”
Dewa tersenyum lebar. “Tunggu, aku panggil dokter! Tapi… aku janji, setelah ini, kamu gak akan pernah sendiri lagi. Bahkan saat tidur sekalipun.”
---
Malam itu, Dewa menatap langit-langit ruang rawat sambil menggenggam tangan Dewi yang sadar kembali.
"Aku bukan pria baik. Tapi untukmu... aku akan jadi apa pun yang dibutuhkan. Termasuk jadi neraka bagi mereka yang coba merenggutmu dariku."
Bersambung