Di dunia yang diatur oleh kekuatan enam Dewa elemen: air, angin, api, tanah, es, dan petir, manusia terpilih tertentu yang dikenal sebagai Host dipercaya berfungsi sebagai wadah bagi para Dewa untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan ilahi dan kesejahteraan Bumi. Dengan ajaran baru dan lebih tercerahkan telah muncul: para Dewa sekarang meminjamkan kekuatan mereka melalui kristal, artefak suci yang jatuh dari langit.
Caela, seorang perempuan muda yang tak pernah ingat akan asal-usulnya, memilih untuk menjadi Host setelah merasakan adanya panggilan ilahi. Namun semakin dalam ia menyelami peran sebagai Host, ia mulai mempertanyakan ajaran ‘tercerahkan’ ini. Terjebak antara keyakinan dan keraguan, Caela harus menghadapi kebenaran identitasnya dan beban kekuatan yang tidak pernah ia minta.
Ini cerita tentang petualangan, kekuatan ilahi, sihir, pengetahuan, kepercayaan, juga cinta.
**
Halo, ini karya pertamaku, mohon dukungannya ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kirlsahoshii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kristal
Langit menjadi abu-abu baja saat Caela dan Fae tiba di Moriad. Berbeda dengan nada-nada hangat dan bersahaja di tengah atau keheningan sakral dari reruntuhan, Moriad berdiri tegak dan cemerlang, sebuah kota besar menara yang menjulang tinggi, panel yang bersinar, dan garis energi bersenandung yang membentang seperti pembuluh darah melintasi permukaan kota. Semuanya berkilauan dalam nuansa putih, perak, berkedip bayangan di tanah yang dipoles di bawah mereka.
“Jadi ini… Moriad…” Caela bergumam.
Fae mengangguk tapi tidak tersenyum. "Selamat datang di jantung kemajuan," katanya dengan nada kering.
Mereka lalu berjalan melalui gerbang kota di mana drone yang ramping dan tertulis rune memindai mereka secara diam-diam sebelum membiarkan jalan. Udara renyah dan sedikit buatan, seperti disaring terlalu berkali-kali. Mata Fae mengalir dengan hati-hati ke arah menara pengawal di atas mereka, di mana penjaga berjubah bergerak dalam sinkronisasi yang sempurna. Fae menuntun ke arah kastil dan juga Kuil Dewa Angin, Shuen yang dekat dari situ—kastil dan kuil yang tidak terasa seperti tempat suci. Mereka berjalan perlahan dan Fae mengangkat alisnya, dia melihat Alana berlari ke arahnya.
“Lord Fae, kau sudah tiba…” kata Alana wajahnya bersinar gembira, lalu dia melihat ke arah Caela dan memberi hormat, “selamat datang Lady Caela di Moriad, kota kelahiranku dan Kuil Dewa Shuen, semoga Dewa memberkatimu,” katanya.
Caela mengangguk dengan sopan ke arah Alana, Fae tak merespon lalu bertanya, “Di mana Ibuku?”
“Ada di laboratorium kristal, ayo aku antar,” kata Alana lalu memandu Caela dan Fae untuk berjalan masuk. Mereka berjalan masuk ke dalam kastil penonton, di mana Shala, ibu Fae, menanti mereka. Sesampainya di depan laboratorium, mereka semua masuk, Caela melihat koridor panjang lengkungan kristal, dan udara berkilau samar dengan resonansi ilahi. Jejak Caela bergema keras secara tidak wajar di lantai murni. Fae, di sisi lain, berjalan dengan percaya diri, tapi terasa nyata bahwa dia tidak nyaman berada di sini.
Caela sudah melihat sosok Shala dengan jubah hitamnya berdiri di depan kristal besar yang seukuran manusia berwarna hitam berkilauan dan alat yang mengelilinginya.
“Kalian sudah tiba, Fae, Lady Caela,” Shala menyapa dengan senyum tipisnya.
Caela mengangguk lalu melihat ke arah kristal. Jadi ini proses pembuatan kristal itu, Caela berpikir. Lalu Shala melihat ke arah Caela, dan kembali melihat kristal itu. “Ayo kita pindah tempat untuk berdiskusi, Lady Alana, bisa kau tuntun kami?”
“Baik, Yang Mulia,” kata Alana lalu menuntun mereka semua ke arah keluar dari laboratorium dan menuju ke balkon kastil tertinggi, di luar mereka semua duduk melingkari meja sambil bisa melihat pemandangan Moriad secara jelas.
Fae dan Calea melaporkan hasil observasi dari Forgotten Ruins, mereka juga melaporkan bahwa ada serangan dari mayat hidup terkutuk dan jumlahnya sangat banyak Shala dan Alana menyimak mereka sedikit terkejut dengan cerita tersebut, Shala pun memberikan gestur penyembahan.
“Sungguh berkah para Dewa kalian selamat dari serangan kelompok terkutuk itu,” Shala berkata, Alana pun mengikuti gestur penyembahannya. Caela terdiam hanyut lagi dalam pikiran tentang keberadaan Dewa Petir, Fae melihat ke arah Caela lalu melihat lagi ke arah Shala.
“Ibu, setelah ini aku akan pergi ke Tevira,” kata Fae kepada Shala.
“Tevira? Untuk apa?” tanya Shala penasaran.
Fae melihat ke arah Caela lalu kembali lagi ke arah ibunya, “Mencari petunjuk tentang Kuil Dewa Petir bersama Caela,” katanya dengan nada berusaha serius, mencoba meyakinkan ibunya.
Alana dan Shala hanya terdiam, lalu Shala menyahut, “Aku rasa itu tidak diperlukan, kalau mau, Caela bisa pergi sendiri,” kata Shala.
“Ayo lah, kita belum eksplor pulau sebelah kan? Bisa jadi Kuil Dewa Petir ada di dekat situ—” suara Fae terpotong tiba-tiba.
“Fae,” Shala memotong kata-katanya.
“Apa lagi?” tanya Fae, suasana menjadi sedikit tegang, Fae memasang wajah membosankan pada semua yang ada di situ.
“Ikut aku sebentar,” kata Shala yang tiba-tiba berdiri dari duduknya lalu beranjak melangkah ke dalam ruangan. Fae pun melihat dan mengikutinya, suasana sedikit terasa tidak enak. Alana tersenyum ketika melihat Shala dan Fae pergi, kini dia dan Caela kini berduaan di depan balkon.
“Sungguh kota yang progresif,” kata Caela melihat pemandangan Moriad.
Alana tersenyum, "Ya, walau kota ini sangat terlihat dengan kemajuan tekonologinya, penduduk kota ini sangat mengaggungkan ajaran Dewa. Mereka menghargai semua berkah Dewa, inovasi, dan kecepatan.” kata Alana.
Caela mengangguk perlahan. Walau begitu, dia tidak merasakan adanya kehangatan juga jiwa magis di kota ini, bahkan Kuil Dewa Angin lebih terasa seperti laboratorium penelitian. Caela jadi mengerti kenapa dia tidak nyaman berada di sini.
“Caela, aku boleh bertanya sebuah hal personal padamu?” tanya Alana.
“Personal? Tentang hal apa?” Caela penasaran.
“Tentang Fae,”
“Fae? Kenapa dengan Fae?” Caela menaikkan alisnya penasaran.
“Apa pendapatmu tentang dirinya?”
Caela tercengang sedikit dengan pertanyaan Alana. Dia mengedipkan matanya dua kali, tak mengerti arah pembicaraan Alana.
**
Sementara itu, Shala dan Fae kembali ke laboratorium kristal. Mereka berdua sedang melakukan perbincangan privat.
“Menikah dengan Alana? Apa maksudmu? Kita tak punya waktu untuk hal-hal seperti ini, bukan? Kita harus mencari keberadaan Kuil Dewa Petir,” kata Fae, suaranya jadi meninggi.
“Aku tahu, tapi ini juga hal penting bagiku, aku butuh kemudahan akses untuk membuat kristal di sini,” kata Shala dengan tegas.
Fae terdiam, dia merasa kesal dan kecewa dengan keputusan Shala, dia tak bisa berkata apa-apa. Seperti tak punya kuasa untuk menentang ini semua.
Shala terdiam sejenak lalu berkata lagi, “Dengarlah Fae, ini demi kesejahteraan semua manusia, dan keseimbangan ajaran para Dewa, berkorban sedikit tentang hal kecil seharusnya bukan masalah bagimu,” katanya nadanya ikut meninggi.
Fae mengangkat alisnya, emosi dan pikirannya berkecamuk, “Kau tahu, kadang aku merasa kau tidak seperti ibuku, selalu memutuskan semua tentangku,” kata Fae, tatapannya dingin dan suaranya datar.
Shala mengangkat alisnya terkejut dengan perkataan Fae, “Fae!” Shala membentak lalu tiba-tiba ada suara seorang pria di dekat kristal tersebut.
“Bisa kah, kalian tidak berisik, aku sedang bekerja,” kata pria misterius berjubah hitam itu, seperti sedang mengamati kristal dan menjalankan mesin-mesin di dalamnya.
Fae dan Shala terkejut melihat ke arah pria itu, Shala meminta maaf lalu Fae memicingkan mata ke arah pria itu dengan tampak curiga dan waspada. “Siapa kau?” tanya Fae.
Pria itu hanya terdiam dan masih fokus dengan pekerjaannya. Shala melihat Fae dengan wajah sedikit pucat, “Fae, sudah lah, dia hanya pekerja di sini,” kata Shala.
“… Aku pernah melihatnya di Stonebridge bersamamu,” kata Fae acuh tak acuh.
Shala melebarkan matanya lalu terdiam, Fae tanpa basa-basi meninggalkan laboratorium itu dengan wajah kesal.
“… Sungguh anak yang tajam dan merepotkan,” kata pria misterius itu masih sambil bekerja.
Shala yang masih berada di dalam ruang laboratorium, melihat Fae pergi begitu saja sambil mencoba menenangkan diri dari kejadian barusan.
***