"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Kedatangan Justin
Jessy baru saja mandi setelah berberes-beres. Kondisi tempat kos yang ia tinggalkan hampir satu bulan cukup kotor. Terpaksa ia bersihkan semuanya termasuk mengganti sprei ranjangnya.
Tiga minggu yang ia lalui di London masih terasa seperti mimpi. Ketika ia kembali, ia seperti baru terbangun dari tidurnya. Menghadapi hari-hari yang biasa ia lewati.
Jessy menatap jemarinya. Sebuah cincin masih tersemat di sana. Cincin yang mengingatkannya bahwa kebersamaannya dengan Mark adalah sesuatu yang nyata.
Jessy melepaskan cincin itu dari jarinya. Cincin semahal itu terlalu bagus untuk mahasiswa miskin biasa sepertinya. Orang akan curiga jika ia mengenakan barang-barang yang mewah. Disimpannya cincin itu pada wajah yang ia letakkan di dalam laci.
Drrt ... Drrt ....
Ponsel di atas nakas bergetar. Buru-buru Jessy menghampiri ponselnya. Panggilan video dari Mark. Sejenak ia ragu untuk mengangkatnya. Namun, melihat beberapa panggilan tak terjawab yang masuk, ia akhirnya mau mengangkatnya. Ia berjalan ke atas ranjang dan berbaring di sana.
Mark yang selalu tampan itu muncul di layar ponselnya. "Halo, Baby ...," sapanya girang.
Jessy mengulaskan senyuman. "Hai, Daddy ...."
"Aku sampai khawatir belum menerima kabar darimu. Apa kamu sudah sampai?"
Jessy mengangguk. "Maaf, Daddy. Tadi aku bersih-bersih kamar dan baru selesai mandi," katanya.
"Kamu baru selesai mandi? Pasti wangi sekali," katanya.
"Daddy sedang apa?" tanya Jessy.
"Sedang merindukanmu," katanya.
Jessy merasa berdebar dengan gombalan yang Mark lontarkan. Suka tidak suka ia harus mengakui bahwa ada rasa lain terhadap lelaki itu. Entah perasaan seperti apa ia juga tidak bisa menjelaskannya.
"Aku mau melihat benda yang ada di balik handukmu. Bisa kamu lepaskan sebentar?"
Wajah Jessy langsung berubah memerah. Ia lupa jika dirinya belum sempat mengenakan pakaian.
"Apa perlu aku terbang ke sana hanya untuk melepaskan handukmu?"
"Daddy ...." rengek Jessy. Mark begitu ceplas-ceplos mengungkapkan kemauannya tanpa beban dan rasa malu. Justru Jessy yang sangat malu mendengarnya.
"Kenapa? Kita kan sudah biasa saling melihat satu sama lain."
"Aku tidak mau ...," jawab Jessy dengan nada manjanya.
"Apa perlu aku melepaskan pakaian dulu? Kamu juga mau lihat kan?"
Jessy membulatkan mata. "Daddy sudah gila, ya? Daddy kan masih ada di kantor! Hentikan!" pinta Jessy saat melihat Mark hampir melepaskan dasinya.
"Sepertinya aku memang sudah gila, Baby. Semalam aku tidak bisa tidur karena tidak ada yang aku peluk."
"Daddy tidak ... Memanggil wanita lain?" tanya Jessy agak sungkan. Seharusnya mudah untuk mencari pengganti dirinya bagi Mark.
"Bagaimana bisa aku tertarik dengan wanita lain setelah tidur denganmu, Jessy? Kamu harus bertanggung jawab!" kata Mark.
"Apa Daddy akan menyusulku kemari?"
"Tentu saja, Baby. Setelah urusanku selesai, aku pasti akan menemuimu. Kamu harus bersiap-siap kapanpun itu. Aku tidak akan memberitahukannya. Kamu berencana kabur?" tanya Mark.
"Tidak. Aku tidak akan kabur." Jessy tahu dirinya tidak akan bisa lari dari Mark.
Tok tok tok
Percakapan telepon Jessy terhenti saat terdengar suara ketukan dari arah luar pintu. "Em, Daddy, aku harus menutup teleponnya. Sepertinya ada tetangga kamar di luar pintu," kata Jessy.
"Apa aku bukan lagi jadi prioritas untukmu? Aku jadi sedih," kata Mark.
"Daddy, bukan begitu ...."
"Hahaha ... Aku hanya bercanda. Tutuplah teleponnya dan temui temanmu. Nikmati harimu dengan bahagia, Baby."
Tok tok tok
"Iya! Sebentar!" seru Jessy.
Segera ia tutup telepon dan berlari ke arah lemari. Secepat kilat ia memilih pakaian seadanya untuk menutupi tubuh. Setelah itu, ia kembali berlari ke arah pintu kamarnya.
"Justin?"
Jessy tertegun di depan pintu saat melihat Justin tepat berada di hadapannya.
Justin mendorong tubuh Jessy ke dalam lalu menutup kembali pintu itu. Tanpa berkata-kata, Justin melabuhkan ciuman pada bibir Jessy dengan begitu agresif. Jessy hampir kewalahan mengimbanginya.
"Aku merindukanmu, Jessy," kata Justin seraya memeluk wanitanya.
Jessy hanya bisa membalas pelukan yang Justin berikan. Jessy masih sangat mencintai Justin. Hanya saja, ia tak bisa memungkiri bahwa Mark juga telah ikut mengisi kehidupannya.
"Kamu tidak pakai B H, ya?" tanya Justin.
"Justin!" kesal Jessy.
"Hahaha ... Soalnya seperti lebih empuk," godanya.
"Berani bicara begitu lagi aku usir dari sini!" Jessy memukul keras punggung Justin sampai lelaki itu mengaduh.
"Aku kan hanya berkata jujur, Sayang. Tapi jangan khawatir, aku juga tidak akan nakal padamu," katanya sembari mengusap puncak kepala Jessy.
Jessy menunduk. Selama berpacaran mereka belum pernah melakukan hal yang kelewat batas. Justin lelaki yang bisa menahan diri. Tidak adil rasanya membohongi lelaki sebaik itu. Justin berhak mendapatkan yang lebih baik darinya.
"Kamar kost ini lumayan nyaman juga. Apa aku harus pindah ke sebelah supaya bisa bertemu denganmu setiap hari?" tanya Justin.
Jessy tengah menyeduhkan segelas teh di dapur kecil dalam kamarnya. "Apartemenmu untuk apa kalau kamu pindah ke sini?"
"Tentu saja aku kontrakkan! Uang pembayarannya nanti aku gunakan untuk menyewa kamar sebelah. Jenius sekali kan, pikiranku?"
"Tidak semua orang bisa hidup di tempat sederhana seperti ini. Aku rasa kamu juga tidak akan betah."
"Selama ada kamu, aku akan baik-baik saja, Sayang."
Ucapan Justin barusan semakin membebani Jessy. Ia semakin bingung mencari alasan untuk putus.
"Minumlah!"
Jessy menyajikan minuman yang baru dibuatnya kepada Justin.
"Bagaimana liburanmu di London? Apa menyenangkan?" tanya Justin.
"Tentu. Aku dan Fika sangat bersenang-senang. Yah, meskipun ponselku juga sempat hilang," kata Jessy.
"Ah, iya! Aku sampai lupa." Justin mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Ini untukmu!" Justin menyodorkan sebuah kotak ponsel baru yang masih tersegel. "Pakailah untuk mengganti ponselmu yang hilang."
"Justin, aku tidak bisa menerimanya ...." Jessy sedikit terkejut dengan kejutan dari Justin. Ponsel yang Justin berikan harganya puluhan juta.
"Aku menggunakan uang hadiah turnamen basket yang aku kumpulkan untuk membelinya. Bukan dengan uang orang tua. Kamu tidak perlu khawatir," kata Justin.
Mark juga telah memberikan ponsel dengan jenis yang sama. Ia jadi merasa bersalah Justin menghabiskan uangnya hanya untuk membeli ponsel untuknya.
realistis dunk