Menurut Kalian apa itu Cinta? apakah kasih sayang antara manusia? atau suatu perasaan yang sangat besar sehingga tidak bisa di ucapkan dengan kata-kata?.
Tapi menurut "Dia" Cinta itu suatu perasaan yang berjalan searah dengan Logika, karena tidak semua cinta harus di tunjukan dengan kata-kata, tetapi dengan Menatap teduh Matanya, Memegang tangannya dan bertindak sesuai dengan makna cinta sesungguh nya yang berjalan ke arah yang benar dan Realistis, karena menurutnya Jika kamu mencinta kekasih mu maka "jagalah dia seperti harta berharga, lindungi dia bukan merusaknya".
maka di Novel akan menceritakan bagaimana "Dia" akan membuktikan apa itu cinta versi dirinya, yang di kemas dalam diam penuh plot twist.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNFLWR17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fakta apa lagi ini?
Setelah kejadian memalukan yang dirasakan oleh Jevan, kini ia duduk di kursi samping ranjang rumah sakit sambil menemani Alena yang sedang makan.
"Sayang, biar aku suapi kamu saja. Kamu memegang sendok sampai gemetar begitu," bujuk Jevan yang melihat Alena makan dengan tangan gemetar akibat pergelangan tangannya terluka.
"Aku bisa sendiri, Ay. Tenang saja, kok." Alena berusaha menyakinkan Jevan yang kekeh ingin menyuapinya.
"Oke deh. Kalau sudah merasa tidak bisa, nanti bilang, ya."
Alena hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.
"Jevan, kamu juga harus makan. Dari tadi kamu belum makan, kan?" ujar Mama Jeni dari sofa sambil menata makanan yang dibawakan oleh ART.
"Sana, Ay. Kamu juga harus makan," perintah Alena sambil menunjuk pakai dagunya ke arah Mama Jeni.
Jevan hanya menghembuskan napas pelan dan berjalan menuju sofa.
"Pa, enggak kerja? Menganggur atau bangkrut?" tanya Jevan yang duduk dekat mamanya.
"Kalau papa bangkrut, memang kamu mau apa?" ucap Papa Hendrik sambil membaca koran, yang entah dia dapat dari mana.
"Dih, amit-amit! Kalau gitu, nanti aku enggak bisa jajanin Alena, dong?"
Jevan langsung merinding mendengar perkataan papanya.
"Dih, dasar beban orang tua! Len, jangan mau nikah sama Jevan, yang ada kamu hanya dikasih makan hati terus." Jevan yang mendengar itu ingin sekali melemparkan vas bunga di atas meja ke arah papanya.
"Hei, Pak Tua! Anakmu cuma aku seorang. Yang ada, hartamu ini pasti bakal jadi milikku, ya kan, Ma?" ujar Jevan percaya diri.
"Memang siapa bilang kalau harta papa buat kamu? Yang ada, papa kasih buat Alena, soalnya kamu itu beban; cuma tahu makan doang." Percayalah, walaupun terlihat kasar, tapi ini candaan biasa dari papanya, Hendrik.
Jevan sudah memegang vas bunga dan berancang-ancang untuk melempar ke papanya, tapi sudah ditahan oleh mamanya.
"Pa, Jevan, hentikan! Jangan sampai rambut kalian berdua mama botakkin!" ujar Mama Jeni yang sedang memegang gunting dan menatap sengit ke suami dan anaknya.
Sebenarnya Mama Jeni jengah mendengar perdebatan antara mereka berdua.
Mama Jeni yang lagi menggunting plastik camilan.
Sedangkan Alena yang sudah selesai makan hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah keluarga di depannya ini, walaupun ada setitik rasa iri melihat keakraban pacar dan orang tuanya.
Di dalam hati Alena, "Bisakah keluargaku bisa begini?" Tapi saat mengingat lagi kondisi keluarganya, akan terlihat mustahil.
Ayah yang lebih mementingkan kerjaan dan ego.
Ibunya yang sibuk ke sana kemari.
Dan abangnya masih di dalam tahanan atau penjara. Sampai sekarang Alena masih tidak tahu apa yang terjadi dengan abangnya ini.
"Ay?" panggil Alena.
Jevan yang mendengar panggilan dari Alena langsung berdiri dan menuju ke Alena.
"Kenapa?" tanya Jevan yang sudah di samping Alena.
"Mau peluk, boleh?" Alena melihat Jevan dengan mata yang sudah berembun, dan Jevan sadar bahwa Alena dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Boleh dong, tapi sebentar ya, aku bereskan ini dulu," jawab Jevan sambil merapikan alat makan Alena dan ditaruh ke meja samping ranjang.
Setelah semuanya selesai, Jevan langsung mendekat ke arah Alena. Alena yang melihat Jevan mendekat langsung merentangkan tangan meminta pelukan dengan ekspresi seperti anak kecil.
Dan Jevan menyambutnya dengan sayang, sambil mendudukkan tubuhnya di pinggiran kasur ranjang agar menyamakan tinggi dirinya dan Alena yang sedang duduk di atas ranjang.
Seperti biasa, Jevan mengelus lembut kepala Alena, kadang menepuk pelan punggung Alena.
Sedangkan Alena hanya menghirup aroma tubuh Jevan yang sudah tercampur parfum maskulin dan sampo yang tercium dari bahu, leher, maupun rambut Jevan.
Aroma yang begitu membuat Alena tenang, seakan di dunia ini hanya Jevan satu-satunya alasan yang membuat dia bertahan.
Ketika mereka larut dalam pelukan, tiba-tiba suara Nadia mengagetkan mereka berdua.
"Eheemmm, iya si paling bucin, orang lain masuk enggak tahu," ujar Nadia yang sudah berada dalam ruangan.
Alena langsung melepaskan pelukan mereka berdua, sedangkan Jevan merasa tidak rela jika pelukan dilepas tiba-tiba.
Jevan langsung menatap sengit Nadia yang sedang berdiri dengan kantong plastik entah apa isinya itu.
"Eeh Nadia, duduk dulu sama Tante. Enggak usah urusin si manusia Aneh kayak Jevan," ucap Mama Jeni, yang sedang makan sambil menyuapi suaminya.
Nadia yang mendengar perkataan tantenya itu, hanya memutar matanya malas. "Emang tidak sadar diri orang tua satu ini," batinnya.
Alena yang melihat kedatangan Nadia secara tiba-tiba, merasa bingung atas kedekatan Nadia dan orang tua Jevan.
Jevan yang menangkap raut wajah kebingungan Alena langsung menjelaskan sebuah fakta yang bikin Alena kaget.
"Kamu bingung? Tenang aja, Nadia sepupu dekat aku, sayang. Papanya itu adik kandung mama aku." Alena yang mendengar fakta itu tidak berkata apa-apa.
"Bukankah Nadia waktu itu dia bilang suka sama kamu, Ay?" ujar Alena yang masih belum terima sama fakta bahwa Nadia dan Jevan sepupuan.
"Oh, itu cuma akal-akal dia aja buat lihat reaksi kamu gimana," jelas Jevan, sambil menggenggam tangan Alena.
Sedangkan Nadia sudah duduk santai di sofa, lagi makan camilan yang dibawa Mama Jeni.
"Oh, Hai, Bestie! Eeh, Ipar, maksudnya," ujar Nadia dengan nada menggoda Alena.
"Jevan, makan dulu." Mama Jeni menyentuh pundak Jevan, dan Jevan langsung melepaskan tautan tangannya dengan Alena.
Sekarang Jevan sudah mulai makan, yang sebenarnya Mama Jeni mau suapi anak lanangnya ini, tapi kata Jevan, malu sama Alena nanti.
Sedangkan Nadia yang bergantian pergi ke ranjang rumah sakit menemui Alena.
"Pasti sakit, ya? Gue yang lihat aja ngeri banget, apalagi lo yang rasain!" ujar Nadia yang melihat ngeri bekas kebiruan di leher dan tangan Alena.
"Iya, sakit banget, tapi sekarang sudah enggak apa-apa." Alena tersenyum menatap Nadia.
"Btw, tadi Ando si ketua kelas, menginformasikan kalau sekolah kita kedatangan murid baru."
Ucap Nadia serius, sedangkan Alena hanya mengerutkan alisnya.
"Di kelas kita?" tanya Alena.
"Enggak, kakak kelas kita. Katanya ganteng banget makanya heboh."
"Iyakah?"
"Iya, soalnya pindahan dari luar negeri. Tapi kan aneh, ya, sudah kelas 12 tapi masih bisa pindah?"
"Ohw, iya. Bisa gitu, ya?"
"Tapi it's okay, semoga jomblo biar gue pepet."
"Terserah lo aja, sih, Nad."
"Ohw iya, di grup kelas juga membahas kalau mukanya selain ganteng, tapi wajahnya familier kayak mirip seseorang."
"Haa, jadi kepo deh, siapa dia."
"Sama, gue juga."
Alena dan Nadia yang sedang asik mengobrol, Jevan datang ke kedua gadis itu. Sambil membawa sepiring buah-buahan yang sudah dipotong kecil.
"Nih, makan buahnya dulu, sayang," ujar Jevan sambil menyodorkan piring buah, tapi sebelum Alena mengambilnya, Jevan berubah pikiran, dia menarik lagi piringnya.
"Aku suapin aja deh." Jevan lalu duduk di atas ranjang dengan posisi menyamping.
Alena sih mau-mau saja, dan Jevan langsung menyuapi potongan buah apel.
"Iya deh, dunia milik berdua," ujar Nadia yang masih duduk di kursi samping ranjang.
Jevan yang mendengar perkataan Nadia, langsung mendorong sedikit kuat kursi yang dibawa perawat tadi atas perintah mamanya, menggunakan kakinya.
Sehingga akibat dorongan yang dibuat Jevan, kursi yang diduduki Nadia terdorong ke belakang, dan membuat Nadia kaget.
"Ohw iya, Ay. Kapan aku pulang?" tanya Alena yang selesai mengunyah buah.
"Besok kamu sudah bisa pulang," jawab Jevan.
"Oh, oke, tapi aku pulang ke rumah aku dulu, ya," ujar Alena.
"Iya, kalau ada apa-apa nanti hubungi aku."
Alena hanya mengangguk kecil sambil tersenyum manis.
"Oh My God, sayang, jangan senyum gitu! Aku belum siap," ucap Jevan sambil menutup mulutnya menggunakan tangannya dengan raut terkejut.
"Apaan, sih, Ay."
"Tuh kan, Tante, kayaknya Jevan dibawa ke psikolog dulu, soalnya sudah ada tanda-tanda kambuh," bukan Alena, tapi Nadia yang geli melihat sifat alay sepupunya ini.
Sedangkan Jevan hanya melirik sinis Nadia.
Waktu pun berjalan, yang di mana sudah tengah malam. Hanya Nadia, Mama Jeni yang menemani Alena. Sedangkan Jevan sudah ditarik pulang paksa oleh Papa Hendrik.
Soalnya Jevan memiliki janji yang sudah disepakati, bahwa Jevan harus merapikan ruang kerjanya di rumah.
Jika kalian pikir papanya suruh kerjakan dokumen-dokumen kantornya, kalian salah. Karena menurut Papa Hendrik, Jevan belum siap, makanya dia tunggu kesiapan anaknya itu dulu, agar dia belajar pelan-pelan.
Jadi tadi menjelang malam, Papa Hendrik sudah menarik pulang putranya untuk membereskan kekacauan yang dia buat di ruang kerjanya. Ya, hanya menyusun dokumen saja, sih, yang dia buang ke lantai tadi, sambil perkenalkan tipis-tipis cara menyelesaikan dokumen itu.
Sedangkan para perempuan berada di rumah sakit, yang di mana Mama Jeni dan Nadia tidur di sofa tidur lipat (sliding sofa cum bed).
"Memang kualitas VVIP memang wow," kata Alena.
Apalagi sebelum tidur, mereka berdua sangat sibuk untuk memindahkan barang-barang seperti meja di depan sofa tidur lipat. Agar mereka bisa tidur dengan nyaman. Belum lagi sebelum tidur, Mama Jeni merengek ingin peluk suaminya.
"Huaa Nadia, Tante enggak bisa tidur kalau enggak peluk suami Tante."
"Astaga Tante, ribet amat! Peluk Nadia aja."
"Ya mana bisa? Yang ada Tante mimpi buruk kalau peluk kamu."
"Tante, tidur enggak? Kalau enggak tidur, lebih baik Tante pergi aja sana di ruangan Tante. Tante kan Direktur Utama (DIRUT), pasti punya ruang pribadi di sini."
"Lahh, enggak bisa! Mantu Tante kan ada di sini. Kalau Tante tidur di ruangan Tante, terus anak mantu Tante diculik gimana?"
"Yaa, enggak mungkin lah! Tuh bodigard di depan sampai 4 orang. Mana bisa orang masuk."
"Pasti bisa, Nadia. Di film-film Tante tonton, ada orang yang nyamar perawat, terus bisa masuk lalu nyuntik cairan berbahaya ke selang infus pasien lalu mati (dead)."
"Huff, Tante, tidur enggak? Kalau enggak, aku bisa-bisa seret Tante keluar dari ruangan ini."
"Wahh, ponakan kurang ajar kamu! Besok Tante bakal ngadu ke Papa kamu biar kamu dipulangkan lagi ke luar kota."
"Tau ah! Males aku dengerin celotehan Tante. Aku mau tidur! BYE..!"
Begitulah drama singkat yang ditonton Alena sebelum mereka berdua tidur nyenyak. Dan lihatlah, Mama Jeni sudah memeluk Nadia seperti guling, sedangkan Nadia berusaha melepaskan pelukan tantenya itu.
Alena hanya tersenyum mengingat perdebatan sengit mereka berdua, yang membuat suasana di ruangan ini tidak monoton atau sepi.
Dan Alena menutup mata dan terbawa ke alam mimpinya.