NovelToon NovelToon
Jadi Istri Om Duda!

Jadi Istri Om Duda!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Galuh Dwi Fatimah

"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku mau jadi istri, Om!

Malam itu kantor sudah mulai sepi. Satu per satu karyawan pamit pulang, menyisakan lampu redup dari beberapa ruangan. Di divisi humas, hanya tersisa Riri yang masih fokus mengetik proposal acara akhir tahun.

“Riri, kenapa kamu belum pulang?”

Suara berat dan familiar terdengar dari belakang. Riri menoleh ke arah Bastian yang berdiri bersandar di sisi pintu, ia menggulung lengan kemejanya sampai siku. Penampilannya terlihat santai tapi tetap karismatik.

“Belum, Pak. Ini deadline proposal acara akhir tahun. Kalau nggak beres malam ini, besok pagi saya bisa keteteran,” jawab Riri sambil tetap mengetik.

Bastian masuk ke ruangan dan duduk di kursi sebelahnya. “Kamu lembur sendirian? Nggak takut?”

“Takut kenapa? Kan masih ada satpam,” jawab Riri dengan tawa kecil.

“Tetap aja. Suasana kantor malam-malam begini itu sepi, Ri. Persis kayak film horor. ” kata Bastian, mencoba menakuti.

Bukannya takut, Riri justru tertawa. “Pak Bastian ternyata suka nonton film horor juga?”

“Dulu sering… sekarang sudah enggak. Film horor jaman sekarang terlalu mengerikan.” balasnya santai.

Setelah percakapan diantara keduanya, Suasana kembali menjadi tenang. Riri terus fokus dengan laptopnya, sementara Bastian memperhatikan dari samping. Sesekali ia memberikan masukan kecil.

“Kalimat ini agak kaku, Ri. Coba kamu ubah jadi lebih ringan,” katanya sambil menunjuk layar.

“Oh iya… gimana kalau begini?”

“Nah, itu baru lebih baik. Seperti kamu biasanya.” puji Bastian.

Pujian itu membuat pipi Riri memanas. Ia berpura-pura merapikan kertas untuk menutupi senyum kecilnya.

 

Waktu terus berjalan. Jam sudah menunjukkan pukul 22.15. Di luar terdengar rintik hujan mulai turun.

“Yah, hujan…” gumam Riri pelan sambil melirik jendela.

“Kayaknya makin deras,” sahut Bastian, berdiri dan mendekati jendela. Dari posisinya, siluet Bastian terlihat samar oleh lampu luar gedung—dan pemandangan itu entah kenapa membuat dada Riri terasa hangat.

“Ri, kamu bawa mobil?”

“Nggak, Om. Tadi cuacanya cerah, saya naik ojek online karena takut macet, nggak nyangka bakal hujan gini.” jawabnya sambil menghela napas.

Bastian menatap jam tangannya, lalu kembali ke arah meja Riri. “Kalau gitu, nanti pulangnya bareng saya aja. Saya bawa mobil.”

“Lho, Om nggak pulang duluan?”

“Saya nggak tega ninggalin kamu lembur sendirian,” jawabnya sambil tersenyum kecil.

Menjelang tengah malam, proposal akhirnya selesai. Riri bersorak kecil sambil meregangkan badan.

“Hah akhirnya! Selesai juga!”

Bastian ikut tertawa. “Kerja bagus, Riri.”

Mereka pun membereskan meja dan berjalan beriringan ke parkiran. Hujan di luar makin deras, membuat mereka harus berlari kecil. Saat Riri hampir terpeleset karena jalanan licin, Bastian dengan refleks meraih lengannya.

“Hati-hati!” katanya sambil memegang bahu Riri erat.

Jarak mereka sangat dekat, hingga Riri bisa mendengar degup jantungnya sendiri. Tatapan mereka bertemu sepersekian detik—hening, tapi penuh makna.

Riri buru-buru mengalihkan pandangan. “Maaf, Om… saya nggak lihat jalan,” katanya gugup.

“Nggak apa-apa. Yang penting kamu nggak jatuh,” jawab Bastian lembut.

 

Di dalam mobil, suasana terasa berbeda. Hujan deras dan suara wiper seperti membuat ruang kecil itu menjadi dunia milik mereka berdua.

“Riri,” panggil Bastian pelan.

“Hmm?”

“Kamu… nggak keberatan kerja lembur bareng saya lagi kan lain kali?”

Pertanyaan itu terdengar ringan, tapi ada nada hangat tersembunyi di baliknya.

Riri tersenyum samar. “Selama Om nggak bete sama saya, saya nggak keberatan kok.”

Bastian ikut tersenyum, matanya tak lepas dari jalan. “Justru… saya merasa nyaman.”

Riri terdiam, dadanya terasa hangat mendengar kalimat itu. Ia melirik Bastian dari samping, sosok yang dulu hanya ia kagumi diam-diam, kini perlahan mulai membuka hatinya, entah sadar atau tidak.

Suasana dalam mobil malam itu kembali terasa sunyi, hanya suara hujan deras di luar yang menemani mereka. Lampu jalan memantul di kaca depan, menciptakan bayangan samar di wajah mereka berdua. Riri menatap Bastian dengan mata yang bergetar namun penuh keyakinan.

“Om?” panggilnya pelan.

Bastian melirik sekilas sambil tetap fokus menyetir. “Iya, Ri?”

Riri menarik napas dalam-dalam. Jantungnya berdetak kencang. “Aku mau jadi istri Om.”

Bastian sontak menginjak rem sedikit lebih keras dari biasanya. Mobil melambat, lalu berhenti di pinggir jalan yang sepi. Ia menatap Riri dengan mata membesar, jelas tak menyangka.

“Riri… apa yang kamu bilang barusan?” suaranya berat, nyaris tercekat.

“Aku serius, Om.” Tatapan Riri tajam namun basah oleh emosi yang ia tahan selama ini. “Om jangan main-main sama aku. Aku udah berusaha menjauh kayak yang Om mau. Aku berusaha buat jaga jarak, aku tahan perasaan aku… tapi sekarang? Kenapa Om yang malah mendekat lagi?”

“Riri, dengerin dulu—”

“Om pikir aku ini apa? Anak kecil yang gampang baper terus dilupain gitu aja?” potong Riri dengan suara bergetar. “Om salah. Aku ini wanita dewasa, Om. Aku punya perasaan. Dan perasaan itu buat Om.”

Bastian terdiam. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan gejolak di dadanya. Tatapan Riri terlalu jujur, terlalu dalam untuk ia abaikan.

“Riri… kamu nggak tahu apa yang kamu ucapkan barusan,” ucapnya akhirnya dengan suara rendah.

Riri menatapnya tanpa gentar. “Aku tahu, Om. Kalau Om mau tahu seberapa seriusnya aku, yaudah… jadiin aku istri Om. Aku bakal buktiin kalau aku gak pernah main-main.”

Kata-kata itu meluncur tegas. Tidak ada keraguan dalam setiap ucapan Riri. Tidak ada tawa malu-malu seperti biasanya. Hanya kejujuran murni yang datang dari hati seorang perempuan yang benar-benar jatuh cinta.

Bastian terdiam lama. Matanya tak lepas dari wajah Riri yang kini mulai berkaca-kaca. Ada konflik besar dalam dirinya—antara rasa tanggung jawab sebagai sahabat ayah Riri, dan perasaan yang selama ini begitu keras ia kubur dalam-dalam.

“Riri…” suara Bastian akhirnya keluar pelan, nyaris seperti bisikan. “Kamu bikin Om bingung.”

Riri menatapnya dalam, bibirnya bergetar tapi senyumnya samar. “Aku nggak mau bikin Om bingung. Aku cuma mau Om tahu… perasaan aku bukan main-main. Aku bukan anak kecil lagi, Om. Aku udah dewasa. Aku tahu persis perasaan aku buat, Om. Om harus tahu itu.”

Hening merambat di antara mereka. Setelah pengakuan berani Riri tadi, Bastian hanya bisa menatapnya dalam kebisuan. Napas mereka sama-sama terdengar berat di dalam mobil yang masih berhenti di pinggir jalan. Hujan di luar kian deras, seperti mengiringi gejolak yang tak bisa mereka bendung.

Bastian akhirnya menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke depan. “Riri… kita nggak bisa—”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tangan Riri cepat menahan lengan Bastian. “Jangan berpaling lagi dari aku, Om,” ucapnya lirih tapi tegas.

1
Grindelwald1
Wah, mantap!
Galuh Dwi Fatimah: terimakasih!!
total 1 replies
Niki Fujoshi
Capek tapi puas baca cerita ini, thor! Terima kasih sudah membuatku senang.
Galuh Dwi Fatimah: Terimakasih kak, semoga harimu selalu menyenangkan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!