NovelToon NovelToon
Rumah Untuk Doa Yang Terjawab

Rumah Untuk Doa Yang Terjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Anak Genius / Mengubah Takdir / Kebangkitan pecundang / Keluarga
Popularitas:357
Nilai: 5
Nama Author: Pchela

“Sudahlah, jangan banyak alasan kalau miskin ya miskin jangan hidup nyusahin orang lain.” Ucap istri dari saudara suamiku dengan sombong.

“Pak…Bu…Rafa dan Rara akan berusaha agar keluarga kita tidak diinjak lagi. Alhamdulillah Rafa ada kerjaan jadi editor dan Rara juga berkerja sebagai Penulis. Jadi, keluarga kita tidak akan kekurangan lagi Bu… Pak, pelan-pelan kita bisa Renovasi rumah juga.” Ucap sang anak sulung, menenangkan hati orang tuanya, yang sudah mulai keriput.

“Pah? Kenapa mereka bisa beli makanan enak mulu? Sama hidupnya makin makmur. Padahal nggak kerja, istrinya juga berhenti jadi buruh cuci di rumah kita. Pasti mereka pakai ilmu hitam tu pah, biar kaya.” Ucap istri dari saudara suaminya, yang mulai kelihatan panas, melihat keluarga Rafa mulai maju.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pchela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bu Sri hilang

Adi menjelaskan tentang berita bahwa Herman sudah punya anak di kota bersama Ratna. Kabar itu membuat Bu Sri langsung berbinar, dia segera duduk di pinggir kasurnya.

“Apa Adi? Alhamdulillah…cucu ku sudah lahir. Di Ibu pengen melihat cucu Ibu, kamu Kota sana Adi, suruh Herman pulang. Biar, Ibu yang merawat anaknya…biar Ibu yang menjaga cucu Ibu.” Ucap Bu Sri.

Adi yang berdiri di depan ibunya langsung mengeleng cepat. “Jangan Bu, ibu lagi sakit, gimana mau rawat anaknya Herman. Kalau, aku ke kota pun Herman belum tentu mau pulang lagi Bu. Dia sudah punya kehidupan baru di kota.” Ucap Adi.

Bu Sri tetap kekeh, dia mau bertemu dengan cucunya. “Tidak! Ibu tidak sakit, ibu kuat jika harus merawat anaknya Herman. Cepat kamu kekota sana. Coba tanya pada Herman, dan bilang jika ibu yang akan merawat cucu Ibu itu. Herman itu adikmu, dan anaknya adalah keponakan kamu. Dia sudah berubah.” Ujar sang ibu sembari terbatuk-batuk.

Adi menatap ibunya tidak percaya, ada perasaan tidak adil baginya. Namun, dia berusaha untuk menyembunyikan itu, tanpa Adi sadari sang istri juga tengah menimang anaknya di depan kamar ibunya dan mendengar semua itu.

“Rasanya sesak mendengar Ibu bilang begitu, Ibu bahkan tidak pernah mau mengajak rafa, kalau aku mandi pun harus cepat-cepat karena ibu selalu berteriak dan bilang Rafa rewel, padahal anakku anteng. Dan sekarang, tengah sakit begini Ibu mau menjaga anaknya Herman. Padahal, Herman sama sekali tidak menjenguk ibu saat Ibu sakit.” Gumamnya dalam hati.

Lastri mengintip raut wajah ibu mertuanya dari pintu yang sedikit terbuka. “Wajah Ibu beneran khawatir sama anaknya Herman.”

Ada perasaan tidak adil yang dirasakan oleh Lastri sama seperti mas Adi. “Aku yang tiap hari ada disini, yang merawat ibu, malah nggak di anggap? Sementara Ratna dan Herman bahkan tidak mengundang ibu saat pernikahan mereka.” Gumamnya lagi, Lastri segera pergi ke arah pintu depan bersama Rafa yang masih bayi.

Keesokan paginya, mbak Wati datang dengan tergesa-gesa. Adi dan Lastri dan anaknya tengah berada di ruang tengah, lantas mendengar suara langkah kaki yang tergesa- gesa masuk naik ke atas teras rumahnya.

“Assalamualaikum…mas Adi! Mbak lastri!!” Teriak mbak Wati, dengan wajah pucatnya, Lastri dan suaminya lantas menoleh lalu berjalan menuju arah depan mereka ikut terbawa panik karena suara mbak Wati.

“Waalaikumsalam mbak… ada apa mbak?” Tanya Adi dengan panik. “Mas Adi, itu ibunya mas, bu Sri barusan saya lihat jalan sendiri ke arah jalan raya. Pas saya tanyain, katanya mau ke kota jemput anaknya Herman, Bu Sri juga bawa tas besar.” Jelas mbak Wati.

“Astaghfirullah…Ibu…” ucap mereka berdua, yang sangat kaget.

“Mbak Wati tidak salah lihat kan mbak?” Tanya Adi tidak percaya. Mbak Wati mengangguk serius, “nggak di, saya ngak salah lihat.” Sahut mbak Wati.

Lastri buru-buru masuk ke kamar ibu mertuanya, dia juga masih tidak percaya, karena baru tadi dia membawa bubur ke kamar Ibu Mertunya. Dan saat itu, Bu Sri lagi terbaring. “Astaghfirullah… mas, benar mas, lemari ibu bajunya sudah kosong semua.” Teriak Lasri.

Sontak hal itu membuat Adi semakin panik, dia langsung bergegas pergi tanpa menunggu lama ke arah yang di tunjuk mbak Wati.

“Ya Allah, ibu…segitunya, ibu sampai-sampai rela ke kota sendiri, demi anaknya Herman. Sementara cucu di rumah sendiri, tidak pernah di sentuh. Kalaupun, aku suruh jaga sebentar ibu pasti ngeluh… tapi, demi anaknya Herman, ibu rela jalan kaki sejauh itu tanpa ngeluh.” Ucap Lastri sendiri, dia berdiri memeluk anaknya.

Bu Sri berjalan dengan langkah tertatih-tatih sambil membawa tas besar. Orang-orang yang mau pergi kesawah dan sebagian duduk di depan warung, menatap ke arah Bu Sri.

“Bu Sri, mau kemana Ibu sendirian?” Tanya salah seorang warga, dia mendekat ke arah Bu Sri. Wajah Bu Sri di penuhi peluh, warga itu menawarkan Bu Sri untuk singgah di warungnya.

“Saya mau kekota, mau lihat cucu saya dari Herman… saya mau kesana.” Ucap Bu Sri dengan suara parau. “Bu Sri mau kekota? Kenapa jalan sendirian? Mas Adi sama mbak Lastri kemana bu?” Tanya seorang warga yang sudah duduk di warung membeli kopi.

Bu sri pun terdiam lalu menatap ke arah jauh dengan tatapan kosong. Nafasnya naik turun, karena perjalanan jauh. “Bu Sri, saya ambilkan minum ya, gratis buat bu Sri,” ucap pedagang itu, lalu Bu Sri segera mengangguk.

Bu Sri duduk bersama tiga orang bapak-bapak yang tengah beli kopi. Dan, dua orang ibu-ibu yang tengah menunggu orang, untuk pergi ke ladang. Pedagang itu memberikan air minum pada Bu Sri, lalu Bu Sri meminumnya hingga tandas, orang-orang disana menatap kasihan pada Bu Sri.

“Bu Sri lapar? Saya belikan makanan ya bu?” Tanya salah seorang bapak-bapak, “Iya, saya lapar…” sahut Bu Sri dengan suara pelan, wajahnya pucat dan tangannya gemetar. Bu Sri benar-benar kelaparan.

Penjual pun membawakan Bu Sri makanan, sesuai yang di pesan oleh bapak-bapak itu. “Makan ya bu, habiskan.” Ujarnya, lalu Bu Sri mengangguk dengan wajah yang seakan memohon belas kasihan.

“Ibu mau ke kota sendiri? Memang mas Adi dan mbak Lastri kemana Bu? Dia tidak bisa mengantar Ibu ya? Ibu mau ngapain ke kota?” Tanya warga lagi, saat makanan Bu Sri sudah tandas.

“Saya mau tinggal di kota saja, saya tidak mau tinggal bersama Lastri dan Adi. Setelah adi bangrut, dia tidak ngasih saya makan, katanya saya disuruh menghemat, katanya saya hanya beban buat Adi dan Lastri.” Ucap Bu Sri berbohong, dia berpura-pura menangis agar si kasihani.

“Mbak Adi, dan mbak Lastri ternyata setega itu ya? Duh, wajahnya saja polos, tapi kelakuannya kayak gitu.” Sahut ibu-ibu, yang mendengar cerita dari mulut Bu Sri itu.

“Itu, di luarnya saja dia begitu, aslinya Lastri menantu yang malas. Saya di suruh jaga anaknya, sementara saya lagi sakit. Saya, juga nggak dikasih makan sama dia, kalau ada tetangga yang datang, Lastri baru pura-pura kasih saya makan.” Fitnah Bu Sri.

“Astaghfirullah…dulu, saya lihat ibu Sri dan mbak Lastri itu akur-akur lho Bu, saya sampai iri melihat Bu Sri beruntung punya menantu yang baik kayak mbak Lastri. Toh!! Ternyata, waktu itu dia pakai topeng toh…” ucap seorang warga sembari geleng-geleng.

“Iya. Saya sudah tidak kuat tinggal di sana. Jadi saya pergi ke rumah Herman dengan Ratna, mereka menantu yang baik, Herman sering kirim uang ke saya. Saya, lebih baik tinggal disana daripada hidup tersiksa di rumah.” Ucap Bu Sri lagi, para warga disana langsung percaya dengan ucapan Bu Sri, mereka mulai menuduh Adi dan Lastri dengan fitnahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!