NovelToon NovelToon
Istri Bayangan

Istri Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.

Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.

Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Nindya menoleh sekilas, wajahnya tetap dingin.

“Tentang apa, Pak? Kalau soal pekerjaan, sebaiknya lewat email saja.”

Andrew mendekat, suaranya merendah. “Tolong jangan seperti ini, aku tahu kamu marah aku salah tapi jangan hukum aku dengan diam. Setidaknya izinkan aku menjelaskan.”

Nindya menutup laptopnya dengan tegas. Tatapannya menusuk.

“Tidak ada yang perlu di jelaskan Andrew semua sudah jelas.” Pungkas Nindya.

Kalimat itu menusuk dada Andrew. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan semuanya, tapi ada janji, ada rahasia yang masih ia pertahankan.

Nindya berdiri, meraih tasnya, lalu berjalan menuju pintu.

“Maaf saya harus pergi, selamat sore.”

Andrew hanya bisa berdiri terpaku, menatap kepergian Nindya. Rasa bersalah makin menghantam, tapi sekaligus ia merasa tak mampu memilih.

Dan di luar pintu, Nindya menghela napas panjang, berusaha meneguhkan hati. Semakin ia menjauh, semakin jelas baginya bahwa mencintai Andrew adalah jalan berliku yang penuh risiko.

Perang dingin itu berjalan seperti jadwal yang tak pernah berubah sapaan singkat di pagi hari, jarak yang terjaga di rapat, dan keheningan yang tebal saat pulang kantor.

Rekan kerja mulai melihat pola itu—beberapa menebak, beberapa memilih acuh—tetapi yang paling terasa hanyalah Nindya dan Andrew, masing-masing membawa beban sendiri dalam bentuk sunyi.

Nindya sengaja membuat dirinya sibuk. Ia menumpuk laporan, meminta tambahan tugas, memberi alasan agar lebih sering berada di ruang kerja tim.

Bekerja terasa aman di antara angka dan format di sana ia bisa menunda keputusan hati.

Setiap kali ponsel bergetar, setiap kali nama Andrew muncul, ia menghela napas dan mengalihkannya ke lembaran lembaran laporan Itu strategi—bertahan.

Andrew berbeda. Ia tidak bisa berpura-pura sibuk selamanya. Setiap kali melihat Nindya melewati meja, ada tarikan di dadanya—bukan hanya karena rasa bersalah, tetapi juga karena ketakutan kehilangan.

Ia mencoba menempatkan jarak, namun perhatian yang tumbuh tidak mudah dimatikan. Malam di kafe terus menempel pada kepalanya, telepon Michelle kadang muncul tanpa diundang semuanya menjadi lapisan-lapisan yang ia belum berani buka sepenuhnya.

Hari itu, suasana kantor terasa lebih berat. Angin dari jendela membawa aroma pheticor, membuat lantai terlihat licin.

Nindya bekerja sampai sore lembur, menuntaskan revisi laporan ekspor yang harus dikirim hari berikut.

Ia menahan diri untuk tidak membuka aplikasi chat . Jiwanya lelah, bukan karena pekerjaan, tapi karena pertahanan yang harus terus dijaga.

Ketika jam hampir menunjukkan pukul enam, beberapa orang sudah berkemas. Pantry—tempat jeda kopi dan obrolan kecil—biasanya ramai di jam pulang.

Kali ini hanya sisa beberapa pegawai. Nindya berdiri mengambil air minum, menggengam botol di tangannya, dan hendak melangkah keluar untuk menunggu taksi.

Dari pojok pantry, Andrew melihatnya. Ada sesuatu dalam gerak Nindya yang membuatnya tahu hari ini juga ia akan pergi menutup pintu komunikasi jika tidak ada intervensi.

Andrew menelan ludah, lalu berdiri. Ia menata kemeja, berusaha agar langkahnya tidak terkesan gegabah. Namun ketika ia berjalan, setiap detik terasa berat — seperti menahan sesuatu yang sudah lama menekan dada.

Nindya mengisi botol, menoleh sekilas ketika Andrew masuk. Tatapannya datar, sengaja menjaga bentuk profesional.

Tidak ada sapaan. Andrew mengangguk kecil, tapi Nindya tidak bergeming, ia tidak membalas . Nindya terlihat ingin berlalu dari sana.

Andrew yang tidak ingin kehilangan kesempatan berbicara segera mendekat, Jaraknya tidak dekat, namun cukup untuk membuat langkah Nindya tertahan tanpa banyak basa-basi, ia menyapukan pandang, lalu menahan napas.

“Nindya,” suaranya pelan tapi tegas.

Nindya menoleh, menutup botol air.

“Ya ada apa Pak?” katanya, nada yang sama dinginnya seperti es.

“Boleh kita bicara sebentar? di sini saja.” Andrew menunjuk meja kecil di pojok pantry; ia tidak ingin membuat adegan di depan banyak orang.

Ada amarah samar di raut wajah Nindya. “Kalau soal pekerjaan?” Ia menata kalimat itu seperti pagar tebal.

“Bukan soal pekerjaan,” jawab Andrew, cepat. Nada suaranya sekarang bergetar sedikit—bukan karena marah, melainkan karena keharusan.

“Aku tahu kamu marah, tapi diam seperti ini itu bukan solusi.”

Nindya memandangnya lama.pandangan mata mereka bertemu, lalu ia menatap botol di tangannya, menahan emosi agar tidak tumpah.

“Solusi?..solusi untuk apa?, semua sudah jelas kok solusinya ya kita saling menjauh”

Andrew mengatupkan rahangnya . Ia tahu kata-kata sebelumnya tidak cukup. Ia tahu pula bahwa setiap alasan terdengar seperti upaya menutup lubang yang semakin besar.

Ia maju satu langkah, menurunkan suara, “Kamu berhak marah. tapi aku juga berhak atas kesempatan untuk menjelaskan.”

Nindya menghela napas panjang. Ia tahu memberi waktu berarti membuka celah untuk kekecewaan.

Tapi ada juga sisi yang lelah menahan lelah berperang sendirian, lelah membiarkan perasaan membeku menjadi bukti bahwa hatinya masih hidup. Ia memilih untuk duduk,

"Baik lima menit.”

Andrew menarik napas seperti orang yang akan berenang ke dasar panjang. Ia duduk di seberang, menyilangkan tangan, menata kata.

“Tentang Michelle aku tahu aku salah karena berbohong ,tapi ada alasan mengapa aku berbohong .”

Kata-kata itu terdengar mengalir tanpa di paksakan Ia menatap Nindya, mencari tanda bahwa pengakuannya diterima.

“Aku takut jika kujelaskan semuanya sekarang, kamu akan berpaling.”

Nindya menatapnya jantungnya masih berdetak kencang. Ia tidak merasa tenang.

“Kenapa harus takut jika itu kebenaran."

Andrew menunduk

Hening mengisi sejenak. Di pantry, hanya terdengar bunyi mesin kopi Nindya menarik napas, menimbang setiap kata.

“Aku tidak minta kamu selesaikan semuanya semalam, tapi waktuku juga tidak banyak."

Andrew mengangguk, ingin meraih tangan Nindya, tapi ia menahan diri.

“Aku mengerti . tolong beri aku kesempatan.”

Nada suaranya penuh harap sekaligus putus asa. Di wajah Nindya, ada konflik yang nyata antara kemarahan,cinta Tapi melihat Andrew berdiri di sana, menanggalkan sedikit keangkuhan, sesuatu runtuh di ruang hatinya.

Akhirnya Nindya menarik napas panjang, suaranya lembut namun tegas.

“Baik aku beri kamu kesempatan .”

Mereka keluar dari Pantry tidak ada pelukan dramatis. Hanya dua insan yang lelah, setuju pada perjanjian yang rapuh.

Sejak percakapan di pantry, suasana di antara mereka sedikit berubah. Tidak lagi sesunyi kemarin, meski jauh dari kata pulih sepenuhnya. Andrew mencoba membuktikan ucapannya—ia mulai lebih terbuka.

Email pekerjaan yang biasanya singkat, kini ia sertai catatan kecil agar Nindya tidak merasa diperlakukan sebagai bawahan belaka. Kadang ia sengaja memberi laporan tambahan, hanya agar ada alasan untuk datang ke mejanya.

Nindya menangkap usaha itu, tapi hatinya masih waspada. Ia tidak mau sekali lagi larut dalam kata-kata manis yang ujungnya mengecewakan. Namun di balik kewaspadaan itu, ia juga tidak bisa menyangkal bagian dari dirinya masih ingin percaya.

Suatu sore, Andrew menghampiri Nindya di ruang arsip. Tidak ada orang lain, hanya suara AC yang berdengung. Ia berdiri agak ragu sebelum membuka pembicaraan.

“Aku tahu kata-kata tidak cukup,” ucap Andrew pelan,

“Jadi biar aku mulai dengan bukti. Minggu depan aku harus ke Singapura untuk rapat, dan ada urusan hukum yang harus kuselesaikan juga."

"Aku akan tunjukkan padamu dokumennya, biar kamu tahu situasinya sebenarnya.”

1
Uthie
Andrew niiii belum berterus terang dan Jujur apa adanya soal mualaf nya dia sama Ustadz nya 😤
Uthie
Hmmmm.... tapi bagaimana dengan ujian ke depan dari keluarga, dan juga wanita yg telah di hamilinya untuk kali ke dua itu?!??? 🤨
Uthie
semoga bukan janji dan tipuan sementara untuk Nindya 👍🏻
Uthie: Yaaa... Sad Ending yaa 😢
total 2 replies
partini
ini kisah nyata thor
partini: wow nyesek sekali
total 3 replies
Uthie
harus berani ambil langkah 👍🏻
Uthie
Awal mampir langsung Sukkkaaa Ceritanya 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Uthie
apakah Andrew sudah memiliki Istri?!???
Uthie: 😲😲😦😦😦
total 2 replies
Uthie
Seruuuu sekali ceritanya Thor 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏🙏
total 1 replies
sukensri hardiati
mundur aja Nin...
sukensri hardiati
nindya....tagih dokumennya
Seroja86: terimaksih atas kunjungan dan dukungannyanya ... 😍😍
total 1 replies
sukensri hardiati
baru kepikiran...sehari2 yudith sama siapa yaa....
Seroja86: di titip ceritanaya kk
total 1 replies
sukensri hardiati
masak menyerah hanya karena secangkir kopi tiap pagi...
sukensri hardiati
betul nindya...jangan bodoh
sukensri hardiati
mampir
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!