Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Sosok yang Berbeda
Esok paginya, rutinitas yang sama tapi tidak pernah ada bosannya bagi Anindya ialah bergumul dengan kegiatan mengurus dan menyusui si kembar sejak pertama kali matanya terbuka.
Kring...Drrt... drrt. Ponselnya berdering terselip di bawah bantal tidurnya.
"Halo, Lin?" sapanya langsung pada seseorang yang menghubunginya.
“Halo, Nin. Gimana, bisa nggak datang bimbingan minggu depan? Kita udah bikin janji sama profesor. Kalau kamu nggak ikut, nanti slot lima anak ini satunya akan diganti buat teman lain yang mau bimbingan juga.”
Anindya yang sedang menyantap roti isi buatannya dengan membawa bayi Chesa dalam gendongan akan semakin repot jika harus terus mengapit ponsel di antara bahu dan telinganya.
Dia yang sedang menyusui bayi Chesa dengan posisi menyandar di bed board, lantas bangkit dan meletakkan ponsel itu di meja. Mengaktifkan fitur loud speaker menjadi alternatif supaya semua kegiatannya dapat berjalan di waktu yang bersamaan.
“Eh, Lin, jangan kamu kasih ke orang lain dulu! Aku belum dapet izin. Tungguin aku dulu,” jawab Anindya yang tidak jelas karena mulutnya terisi penuh dengan makanan.
“Apa, Nin? Tungguin apa?” Alina, di seberang sana dia bertanya dengan nada lantang menyaut suara Anindya yang tidak jelas.
“Iya, tungguin aku dapat izin dulu,” ucap Anindya mengulangi ucapannya saat makanan di dalam mulutnya sudah lumat dan dapat ditelan dengan baik.
“Izin dari siapa, sih? Terus kenapa kamu nggak pernah ke kos? Kita kan di sini ngerjainnya bereng-bareng, Nin,” ucap temannya itu.
Mereka belum tahu jika Anindya sudah bersuami. Juga, mereka tidak pernah tahu jika Anindya pernah hamil bahkan bayinya meninggal setelah dilahirkan. Anindya sangat pandai menyembunyikan masalahnya dari teman-teman terdekatnya.
Yang mereka tahu, cuti semester lalu yang Anindya ajukan saat perutnya sudah terlihat membesar, tidak lantas menimbulkan kecurigaan bagi teman-temannya karena memang beberapa bulan terakhir Anindya terlihat sangat lelah menjalani perkuliahan terlebih saat menyelesaikan masa magang di salah satu institusi sebagai proyek akhir– tugas di semester sebelumnya.
Namun kini, Anindya ingin kembali berkuliah dan mengejar gelar sarjana kedokteran giginya.
“Aku sibuk di rumah. Kamu ‘kan tahu kakakku baru saja meninggal setelah melahirkan dua keponakanku,” ucap Anindya mengingatkan.
“Iya, terus?” Alina menimpali tanpa bersimpati.
“Ya, terus–“ Anindya kebingungan, tidak mungkin dia mengatakan menjadi ibu sambungnya atau akan membuat Alina menuntut penjelasan lebih dan akan panjang ceritanya.
“Kamu jadi ibunya, begitu? Nggak, kan? Sempatkanlah buat menyelesaikan skripsimu itu. Nggak sayang uang semesteranmu?” kata Alina.
Memang benar, di sinilah Alina yang selalu menjadi motivator kala Anindya sudah merasa lelah berkuliah terlebih dengan tugas dan sulitnya berjuang di jurusan kedokteran yang dia geluti. Namun, berkat Alinalah yang mampu mengantarkan Anindya untuk tidak berputus asa dan berada sampai di detik akhir masa studinya.
“Kamu benar, Lin. Kakakku sudah membayar mahal uang UKT semeter ini. Bagaimanapun juga aku harus menyelesaikan studiku di semester ini. Tidak ingin berlama-lama karena setelahnya aku tidak tahu lagi harus membayar dengan apa,” ucap Anindya dalam hatinya.
“Okey, aku ikut!” ucapnya memutuskan dengan mantap.
Dapat izin atau tidak, anggap saja izin sudah dia dapatkan karena setidaknya kemarin Anindya sudah memberitahu suaminya.
“Oh ya, Nin. Aku kemarin lihat ada dokter baru di rumah sakit kampus kita. Ganteng banget, kamu mau lihat?” Seperti sebelum-sebelumnya, Alina yang tahu jika Anindya pernah terobsesi dengan semua pria berparas tampan terutama jika pria itu berprofesi seorang dokter.
“Terserah,” kali ini jawaban Anindya datar. Di gengnya, semua tahu jika Anindya yang selalu terlihat semangat saat melihat para dokter muda yang tampan dan fresh di rumah sakit kampusnya.
Namun seakan berubah haluan, Anindya menjadi tidak tertarik dengan pria tampan mana pun terlebih pada dokter-dokter lainnya karena pengalaman pribadinya yang pernah disakiti oleh laki-laki dari profesi yang sama.
“Okey nanti kau kirim, kemarin sempat selfie,” ucap Alina lagi.
“Sudah ku-send, ya! Coba lihat, menurutmu seberapa tampan dia? Aku juga punya nomornya, dia dokter yang sangat humble,” Alina menambahkan.
Klonteng! Notifikasi pesan masuk berbunyi, pesan gambar dari Alina telah dia terima.
“Nin? Masih dengar?” tanya Alina setelah beberapa saat tidak ada suara yang terdengar dari seberang telepon karena saat ini Anindya sedang sibuk melihat foto yag dikirimkan Alina.
“Nin? Malah turu!” cibir Alina di sana.
“Anin, halo?”
Anindya tengah melihat dengan saksama foto itu dengan memutar rotasi layar supaya foto terlihat lebih lebar dan jelas untuk memastikan apakah benar satu-satunya sosok pria yang berada di antara para gadis itu adalah Arsatya, suaminya atau bukan.
Namun, di dada kanan pria itu terlihat jelas name tag-nya yang menempel dan tertulis serangkaian nama dr. Arsatya Pramana, Sp. PD, KKV.
“Nin, aku tutup teleponnya, ya?” ucap Alina yang tidak juga mendengar suara dari seberang sambungan telepon.
"Auh!" Anindya memekik. Dia baru teralihkan dari fokusnya bukan karena suara Alina, tetapi bayi Chesa yang mencakar pipinya dengan kuku-kuku panjangnya.
"Nin? Lagi ngapain, sih? You oke?" tanya Alina dari seberang panggilan.
“Eee, tunggu! Ini kalian foto kapan, Lin?” keingintahuan Anindya akhirnya terpancing juga.
“Baru banget kemarin sore,” jawab Alina.
Deg.
“Kemarin sore? Kemarin sore dia bisa tersenyum seperti ini, kenapa malamnya yang kulihat dia muram seperti itu?”
“Sudah, ya. Sampai ketemu minggu depan, Anin! Salam buat si kembar, dah!” ucap Alina di penghujung perbincangannya.
Anindya tidak mengindahkan, ia sedang fokus menatap foto itu lebih lama. Membandingkan sosok seorang pria berjas putih dengan senyum pasta giginya yang berada di foto itu dengan rupa asli pria yang sama yang semalam dilihatnya.
Tidak hentinya Anindya berkomentar di dalam hatinya, “Sangat berbeda. Di foto ini dia terlihat seperti seorang raja yang bahagia dikelilingi para selirnya, sedangkan yang di rumah seperti raja hutan saja. Menyebalkan!”
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano