Sekar tak pernah menyangka, pertengkaran di hutan demi meneliti tanaman langka berakhir petaka. Ia terpeleset dan kepala belakangnya terbentur batu, tubuhnya terperosok jatuh ke dalam sumur tua yang gelap dan berlumut. Saat membuka mata, ia bukan lagi berada di zamannya—melainkan di tengah era kolonial Belanda. Namun, nasibnya jauh dari kata baik. Sekar justru terbangun sebagai Nyai—gundik seorang petinggi Belanda kejam—yang memiliki nama sama persis dengan dirinya di dunia nyata. Dalam novel yang pernah ia baca, tokoh ini hanya punya satu takdir: disiksa, dipermalukan, dan akhirnya dibunuh oleh istri sah. Panik dan ketakutan mencekik pikirannya. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kematian. Bagaimana caranya Sekar mengubah alur cerita? Apakah ia akan selamat dari kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16. TAHANAN RUMAH
Sekar mengerutkan dahi di saat matanya menatap lurus ke arah teras rumah, apa yang terjadi padanya membuat batalyon heboh. Apalagi saat ia dibawa kembali ke rumah, orang-orang melirik Sekar dengan tatapan beragam. Namun, siapa yang berani protes dengan pembebasan Sekar. Wanita ini meskipun hanya wanita pribumi biasa, status yang dimiliki saat ini membuat banyak orang hanya mampu berbicara di belakang.
Mereka takut pada Johan—jendral tinggi, apalagi para suami mereka bekerja di bawah kepemimpinan Johan. Status mereka pun berbeda dengan Johan, Sekar hanya dijadikan tahanan rumah selama seminggu. Hari ini adalah hari pembebasannya dari tahanan rumah, Kartika membalikkan tubuh menghadap ke arah pintu masuk.
"Nyai," panggilnya ramah pada Sekar.
Sekar mengulas senyum tipis, melangkah mendekati Kartika.
"Masuklah Nona Kartika. Duduk di ruang tamu," ujar Sekar sopan.
Kartika mengangguk dan melangkah masuk ke dalam rumah, ia duduk di kursi jati keduanya saling berhadapan satu sama lain.
"Aku sudah mendengar masalah yang Nyai Sekar hadapi, ini rasanya kurang adil untuk Nyai." Kartika seketika merubah raut wajahnya, berpura-pura bersedih dengan apa yang terjadi.
Sekar melirik Kartika dengan saksama, ekspresi wajahnya boleh saja terlihat menyayangkan apa yang terjadi. Tetapi tatapan matanya terlihat sebaliknya, seakan ada kepuasan tersendiri melihat Sekar menjadi tahanan rumah. Dahi Sekar berkerut, apakah hanya perasaannya saja yang merasa jika wanita di depannya ini memusuhinya. Walaupun Sekar tahu betul Kartika selalu memandang rendah pada dirinya, hanya karena dia seorang gundik. Wajar ia merasa jika Sekar begitu hina, ia paham akan hal itu. Namun, tak paham dengan alasan kenapa Kartika malah tampak membencinya.
"Tidak apa-apa, ini sudah termasuk hukuman yang ringan Nona Kartika," sahut Sekar tersenyum kembali.
"Jangan memanggilku seformal itu Nyai. Rasanya ada jarak yang begitu jauh di antara kita berdua, panggil saja aku dengan namaku. Itu jauh lebih baik," balas Kartika, berbicara dengan sangat ramah.
'Benarkah? Rasanya kamu akan mual karena jijik jika aku memanggil namamu secara langsung.' Sekar menatap intens wajah Kartika.
Merasa ditatap dengan tatapan mata rumit, Kartika mengerutkan dahinya. "Apakah ada yang salah di wajahku?" tanya Kartika, sebelum kedua telapak tangannya menyentuh kedua sisi wajahnya sendiri.
Sekar menggeleng sekilas, dan menjawab, "Tidak, aku hanya sedang merasa No—ah, Kartika sangat cantik dan berhati baik. Tidak banyak para Nona bangsawan yang membiarkan rakyat biasa sepertiku memanggil hanya dengan namanya saja."
Kartika tersenyum kecil. "Aku bukan orang yang suka mempermasalahkan hal kecil seperti itu. Sekarang sudah bukan zamannya lagi, apalagi saat ini kita semua bukan lagi dalam sistem kerajaan. Gelar bangsawan ini hanyalah gelar kosong sekarang, Nyai sendiri tau siapa yang lebih berkuasa di saat ini. Kami para bangsawan tunduk pada petinggi Belanda, sama halnya seperti rakyat lainnya," tutur Kartika melirik ekspresi wajah Sekar yang tampak tenang.
"Ya, Kartika benar. Kita tidak ada apa-apanya," gumam Sekar pelan.
"Ah, iya. Aku dengar dari Gubernur Jendral kalau Nyai ingin mencari pekerjaan, aku bisa membantu Nyai untuk bekerja. Tetapi, aku tidak tau apa yang bisa Nyai kuasai. Apakah Nyai bisa membaca dan tau berhitung?" Kartika seolah-olah peduli dengan Sekar, dan ingin membantunya.
Sekilas tatapan mata Kartika terlihat meremehkan, wanita desa di depannya ini meskipun cantik dan bisa berpura-pura anggun seperti putri bangsawan. Memaksakan diri agar bisa terlihat seperti wanita terpelajar, ia pasti tak tahu apa-apa selain melayani lelaki. Tidak seperti Kartika dan para putri bangsawan yang asli, mereka memiliki guru khusus yang ditugaskan untuk mengajar. Ada banyak buku yang mereka baca, dan ada banyak mereka pelajari.
"Ah, soal itu. Aku dan beberapa adikku di desa di sekolahkan. Kami bisa membaca, menulis, dan mengenal cara berhitung," jawab Sekar tidak menyombongkan diri ataupun merendahkan dirinya sendiri.
Sudut bibir Sekar terangkat sekilas, hanya sekilas saja. Menertawakan bagaimana angkuhnya Kartika, mungkin ada banyak sekali perempuan di desa-desa terpencil yang tak tahu membaca ataupun menulis. Terutama kaum wanita yang dirasa tak memiliki kewajiban untuk melek huruf dan angka, mereka hanya perlu didik untuk di dapur. Membatu di ladang, dan mengurus anak-anak.
Jika orang-orang di desa memiliki anak, kalaupun mereka kaya memiliki banyak uang. Sudah dapat dipastikan mereka cenderung akan menyekolahkan anak lelaki, bukan anak perempuan. Anak yang perlu sukses itu adalah anak lelaki, apalagi di zaman saat ini derajat para wanita di bawah para pria. Dengan pola pikir patriarki diturunkan secara turun-temurun, hanya saja pola pikir Joyo sedikit berbeda. Pria itu melihat anak perempuan yang memiliki ilmu akan ditawari mahar yang besar, itulah sebabnya ia mendidik para putrinya untuk melek huruf dan angka.
Senyum di bibir Kartika memudar, ia menatap Sekar dengan tatapan tak percaya. "Nyai disekolahkan?" tanyanya tak percaya.
Kepala Sekar mengangguk dua kali, dan tersenyum. "Ya, begitulah."
"Lalu kenapa bisa menikah dengan Jendral?" Kartika masih tak percaya.
Sebagaimana yang Kartika ketahui jika Johan tak akan menikahi wanita berpendidikan, pria itu pasti menikahi Sekar karena parasnya yang ayu. Sangat berbahaya mengambil gundik yang cerdas, bukankah itu alasan kenapa Johan tidak mau melirik para nona bangsawan.
"Entahlah, aku juga tidak tau alasan kenapa Jendral menikahiku," sahut Sekar acuh tak acuh.
Tentu saja ia paham alasan Johan menjadikan Sekar sebagai gundik, bukan hanya karena terpikat pada kecantikan Sekar semata. Tetapi juga karena ia melihat bagaimana Sekar dulunya, gadis desa yang bodoh. Meskipun disekolahkan, Sekar merupakan orang yang malas. Dia lebih suka bersolek, dan bertemu dengan Aji. Informasi yang didapatkan tidak ada yang salah namun, itu sebelum Sekar menepati tubuh dari tokoh Sekar yang asli.
Kartika termenung untuk beberapa menit, seolah-olah tengah berpikir keras. Melihat ekspresi Sekar di depannya, Kartika tidak melihat adanya kebohongan di kedua mata Sekar. Ada banyak spekulasi saat ini di otak Kartika, ia harus menguji Sekar secepatnya. Apakah benar wanita ini terpelajar atau hanya kebohongan semata, Sekar tertawa dalam hati melihat ekspresinya masam Kartika yang tidak dapat wanita di depannya ini tutupi.
Suara deru mesin mobil di depan rumah menyentak lamunan Kartika, ia meneguk kasar air liur di kerongkongannya.
"Sepertinya Jendral telah pulang, kalau begitu aku pamit dulu. Besok pagi aku akan kembali ke sini, aku akan membawamu ke tempat yang sekiranya mungkin bisa membantumu untuk mencari posisi pekerjaan yang pas untuk Nyai," kata Kartika sebelum bangkit dari posisi duduknya, "aku pamit pulang kalau begitu."
"Ya, hati-hati di jalan. Aku akan menunggu kedatangan Kartika besok," balas Sekar ikut bangkit dari posisi dudunya.
Keduanya melangkah keluar dari rumah, bertepatan dengan Johan yang kini turun dari mobil.
Bersambung...