Rasa bersalah karena sang adik membuat seorang pria kehilangan penglihatan, Airi rela menikahi pria buta tersebut dan menjadi mata untuknya. Menjalani hari yang tidak mudah karena pernikahan tersebut tak didasari oleh cinta.
Jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti istri, karena bagiku, kau hanya mata pengganti disaat aku buta - White.
Andai saja bisa, aku rela memberikan mataku untukmu - Airi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Saat pagutan bibir itu terlepas, keduanya sama-sama terlihat salah tingkah. Airi bisa melihat wajah White yang bersemu merah. Dia merasa beruntung karena saat ini, White tak bisa tahu seperti apa pipinya, yang pasti sudah mirip kepiting rebus.
"Ma-maaf," White merasa bersalah. Meski Airi adalah istrinya, tak seharusnya dia malakukan hal seperti tadi. Karena pernikahan ini tak terjadi semata-mata kerana kemauan keduanya. Tapi keadaan dan takdir yang membuat mereka ada dalam hubungan ini, pernikahan.
"Ti-tidak apa-apa, lupakan saja."
White merasa tubuhnya panas, dia beranjak dari sofa dan hendak menuju dapur untuk mengambil air dikulkas. 4 bulan tinggal dirumah ini membuat dia sudah hafal jalan menuju dapur. Tapi saat ini, baru berjalan beberapa langkah, mendadak pikirannya blank, dia jadi bingung mau melangkah kemana. Sial, kenapa pula dia lupa membawa tongkat saat berjalan tadi. Memanggil Airi untuk mengambilkan tongkat, itu sangat memalukan.
Tanpa tongkat, dia jadi tak tahu apa yang ada didepannya. Dan sekarang, dia hanya bisa mengandalkan tangan untuk meraba kedepan, berharap dia tak sampai menabrak.
White terkejut saat Airi menyentuh lengannya. "Tongkat Abang ketinggalan." Airi membuka telapak tangan White lalu meletakkan tongkat disana. "Abang mau kemana?"
"Da-dapur," White bisa mendengar jika saat ini, Airi tengah tertawa lirih.
"Abang salah arah. Ini arah menuju kamar." Airi memutar badan White kearah dapur. Jantung White berdetak dengan cepat. Ada apa dengan dirinya, kenapa jadi seperti ini hanya gara-gara ciuman tadi. Dia bukan pemula disini, ciuman adalah hal yang sangat biasa dia lakukan dengan Raya. Tapi yang tadi rasanya berbeda, mungkinkah karena dia tak bisa melihat?
Saat meraba wajah Airi tadi, setiap bagian wajah yang terasa sempurna itu, membuat White membayangkan sosok yang sangat cantik. Sampai-sampai, dia kebablasan menciumnya.
"Mau ambil minum?" tebak Airi.
"Darimana kamu tahu?" Lagi-lagi White mendengar kekehan pelan Airi.
"Abang keringetan, pasti haus."
Darah White seketika berdesir saat Airi menyeka keringat didahi dan lehernya menggunkan telapak tangan. White mengumpat dirinya sendiri dalam hati, bisa bisanya dia sampai keringetan seperti ini hanya kerena kegugupan setelah berciuman. Dia pasti terlihat sangat memalukan dimata Airi. Astaga, lagi-lagi White mengumpati dirinya sendiri. Sejak kapan dia mulai memikirkan pandangan Airi terhadapnya?
Airi menuntun lengan White menuju kursi makan lalu membantunya duduk.
"Biar Ai saja yang ambilin minum." Airi berjalan menuju meja pantry lalu mengambilkan segelas air untuk suaminya. Tapi sebelum itu, dia lebih dulu minum, karena sesungguhnya, diapun marasa panas setelah ciuman tadi.
Airi duduk dikursi depan White sambil memperhatikannya yang sedang minum. Dia menatap bibir merah White yang saat ini basah setelah menghabiskan segelas air. Tanpa sadar, dia menyentuh bibirnya sendiri seraya mengingat ingat ciuman tadi.
"Jam berapa sekarang?" Airi yang masih sibuk melamun sambil mengenang ciuman tadi, sampai tak sadar saat White bertanya. "Ai," White kembali memanggil karena tak medapat sahutan. Apakah Airi sudah pergi? Kalau iya, kenapa dia tak mendengar suara langkahnya? Terakhir kali yang dia dengar, Airi menarik kursi. "Ai, kamu dimana?"
"A, aku disini Bang. Duduk didepan Abang," sahut Airi yang baru tersadar.
White tergelak, Airi berada sangat dekat dengannya, tapi kenapa dari tadi tak menyahut saat dia bertanya? Dia pasti sedang melamun? Apa dia sedang memikirkan ciuman tadi, batin White.
"Kamu melamun tadi?"
"Melamun? Ti-tidak," jawab Airi gugup karena White bisa tahu meski tak melihat. "Aku hanya... hanya...hanya lagi mikirin gitar Abang yang rusak. Iya, iya itu, mikirin gitar yang rusak. Maaf ya Bang, gitar Abang rusak gara-gara Ai." Untung White tak bisa melihat seperti apa ekspresinya saat ini, kalau saja bisa, dia pasti tahu jika Airi sedang berbohong.
"Gitar itu sudah lama. Mungkin memang sudah waktunya ganti senar atau ganti yang baru."
Tiba-tiba Airi punya ide. "Emm...gimana kalau nanti sore, kita ketoko gitar, benerin gitar Abang? Atau kalau Abang mau, bisa beli yang baru."
"Toko gitar?"
"Hem," Airi mengangguk meski White tak bisa melihat. "Di mall dekat sini, ada toko gitar. Gimana kalau nanti sore, kita kesana?"
Mall? Mendengar tempat itu, White jadi ragu. Dulu mall jadi tempat yang sangat sering dia kunjungi, entah bersama teman, atau Raya. Tapi 4 bulan terakhir setelah kecelakaan, belum pernah sekalipun dia menginjakkan kaki kembali di tempat itu.
Melihat kegelisahan diwajah White, Airi berjalan mendekatinya lalu menggenggam tangannya. "Jangan takut, ada Ai. Bukankah Abang sudah biasa jalan-jalan ke taman? Ke mall, kurang lebih sama saja. Mau ya Bang?" bujuknya. "Sekalian ada barang yang pengen Airi beli."
"Apa?"
"Ada deh."
"Daleman?"
"Gi-gimana bisa tahu?" Airi sampai melongo.
Wajah White seketika memerah, dia tak menyangka jika tebakannya sangat tepat. Tapi dia malah merasa malu, karena mungkin saat ini, Airi menilainya sebagai pria mesum, yang diotaknya hanya memikirkan hal-hal semacam itu saja.
/Whimper//Whimper/
ai semoga selalu di beru kuatan
semangat ai