Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Bertemu lagi
Livia melepas satu sisi earphone-nya, menatap Narendra sejenak dengan ekspresi campur aduk antara kaget dan canggung.
“Pagi,” jawabnya singkat, lalu melirik sekeliling stadion seakan memastikan ia tidak salah lihat. “Nggak nyangka ketemu Pak Narendra di sini.”
Narendra tersenyum tipis. “Saya juga. Biasanya kamu lari pagi?”
Livia mengangkat bahu. “Nggak selalu sih, kalau lagi bisa bangun pagi aja Pak.” Nada itu ringan, tapi matanya mengatakan sebaliknya.
Mereka berdiri dengan jarak aman, cukup dekat untuk saling menyadari napas, cukup jauh untuk menjaga batas. Angin pagi berembus pelan, membawa aroma rumput basah dan suara langkah para pelari lain yang lalu-lalang.
Narendra menunjuk lintasan. “Mau lanjut? Atau istirahat sebentar?”
“Istirahat bentar,” jawab Livia sambil meneguk air dari botolnya. Pergelangan tangannya terangkat, sekilas tato baru itu tampak, masih kemerahan. Ia cepat-cepat menurunkan tangannya, seolah lupa Narendra memperhatikan.
Narendra menahan diri untuk tidak bertanya. “Kalau begitu… saya temani sebentar.”
Livia mengangguk, lalu duduk di bangku kayu. Ia membuka earphone sepenuhnya. “Pak Narendra sering ke sini?”
“Sesekali, Kalau butuh menyusun pikiran,” jawabnya jujur.
Livia tersenyum kecil, senyum singkat, lalu menghilang. “Berarti kita sama.”
Hening sejenak. Bukan hening yang canggung, lebih seperti jeda yang memberi ruang bernapas. Matahari mulai naik, menyinari wajah Livia dari samping. Narendra menyadari betapa tenangnya gadis itu saat diam, berbeda dari kesan keras yang sering ia lihat.
“Livia,” ujar Narendra akhirnya, pelan. “Kamu… baik-baik saja?”
Livia menoleh. Ada jeda sebelum ia menjawab. “Hari ini? Lumayan.”
Jawaban yang jujur tanpa berlebihan. Narendra mengangguk, menghormati batas itu.
“Kalau mau,” lanjutnya, “kita lari satu putaran lagi. Pelan-pelan saja.”
Livia berdiri, memasang earphone-nya kembali tapi menunda musiknya. “Oke. Satu putaran.”
Mereka mulai melangkah berdampingan, kecepatan disesuaikan. Tidak ada sentuhan, tidak ada janji, hanya dua orang yang berlari di pagi yang cerah, mencoba menenangkan pikiran masing-masing.
Dan entah kenapa, untuk beberapa menit itu, beban di dada Narendra terasa sedikit lebih ringan.
Setelah satu putaran yang terasa lebih panjang dari biasanya, keduanya melambat lalu berhenti. Napas Livia teratur, keringat membasahi pelipisnya. Narendra meraih botol air, meneguknya, lalu menoleh.
“Ada warung sarapan di depan stadion,” ujarnya santai. “Bubur atau roti panggang. Mau?”
Livia refleks menggeleng. “Nggak usah, Pak. Saya—”
Kalimat itu terhenti. Ia menunduk sebentar, ingatannya melompat ke kemarin, ketika tubuhnya menggigil, kepala berat, dan Narendra yang diam-diam datang, mengantarkan obat, memastikan ia minum, menunggunya sampai ia tertidur. Tidak banyak kata, tapi cukup memberi kesan.
Ia menghela napas kecil.
“…Sebenarnya saya mau langsung pulang,” lanjut Livia pelan. “Tapi—” ia mengangkat pandangannya, bertemu mata Narendra, “—terima kasih untuk yang bapak lakukan kemarin. Kalau cuma sarapan sebentar… nggak apa-apa.”
Narendra tersenyum tipis, lega namun tak berlebihan. “Sebentar saja.”
Mereka berjalan berdampingan menuju luar stadion. Matahari sudah naik, jalanan mulai hidup. Di warung sederhana itu, mereka duduk berhadapan, tanpa jarak yang berlebihan, tanpa keharusan bicara banyak.
“Bubur ayam?” tanya Narendra.
“Boleh,” jawab Livia. “Tambah teh tawar hangat.”
Saat pesanan datang, Livia menatap uap tipis yang naik dari mangkuknya. “Untuk kemarin… terima kasih ya Pak,” katanya lagi, lebih jelas.
Narendra mengangguk. “Sama-sama. Kamu istirahat yang cukup, jangan sampai demam lagi. Jangan nekat pulang sampai hujan-hujanan begitu.”
Livia hanya mengangguk sekilas, dan terdiam seolah kehabisan kata-kata untuk membalas perhatian Narendra.
Saat pesanan bubur sudah tiba, Mereka makan perlahan. Tidak ada pembahasan berat. Hanya desiran angin pagi, sarapan sederhana, dan rasa canggung yang pelan-pelan mencair, seperti langkah lari yang akhirnya menemukan ritmenya.
Beberapa saat kemudian, Mangkok bubur di hadapan mereka sudah kosong. Livia merapikan sendok dan tisu bekas ia gunakan, lalu berdiri lebih dulu. “Saya pulang duluan, ya Pak.” katanya ringan.
Narendra ikut berdiri, namun langkahnya terasa tertahan. Ada jeda aneh di dadanya, seperti ada kalimat yang ingin keluar tapi tertelan. Ia menatap Livia, mencari alasan yang masuk akal untuk menunda perpisahan yang terlalu cepat itu.
“Oh—” Narendra berdehem pelan. “Kamu… Mau pulang langsung?”
“Iya,” jawab Livia. “Mau mandi, terus tidur lagi. Badan saya masih capek.”
Narendra mengangguk, meski di dalam dirinya ada keberatan yang tak bisa ia jelaskan. Pagi ini terasa hangat, sederhana dan ia ingin menahannya lebih lama. Ingin duduk bersamanya sedikit lama lagi. Ingin mendengar Livia bercerita tentang hal remeh. Ingin berjalan tanpa tujuan.
“Terima kasih sarapannya, Pak” lanjut Livia sembari tersenyum. “Dan… terima kasih juga buat kemarin.”
Narendra membalas senyum itu, lebih lama dari yang ia niatkan. “Hati-hati di jalan ya...”
Mereka berjalan berdampingan menuju area parkir. Di sana, langkah Livia melambat, seakan merasakan hal yang sama, perpisahan yang terlalu cepat.
“Kalau… minggu depan,” ucap Narendra akhirnya, ragu namun jujur, “mau lari pagi lagi? Di sini.”
Livia menatapnya sejenak. Ada senyum tipis, ragu yang manis. “Boleh, kalau nggak hujan.”
Narendra tersenyum lega. “Oke, kabari saya ya...”
Livia mengangguk, lalu melangkah pergi. Narendra berdiri, menatap punggungnya yang menjauh, menyadari betapa berat rasanya melepas momen singkat itu.
Pagi berakhir.
Tapi keinginan untuk bersama—belum.
Keesokan harinya, kantor kembali dipenuhi ritme yang sama, bunyi keyboard, langkah tergesa di lorong, dan sapaan formal yang berulang.
Livia datang tepat waktu, mengenakan blus kerja rapi dan rok selutut. Rambutnya diikat sederhana, riasannya tipis. Wajahnya tenang, profesional, versi Livia yang dikenal semua orang.
Ia duduk di kubikelnya, menyalakan komputer, membuka file laporan, lalu mulai bekerja tanpa banyak bicara. Tidak ada sisa tawa pagi kemarin di stadion. Tidak ada cerita sambil sarapan bubur. Tidak ada jeda yang canggung.
Seolah-olah itu semua tidak pernah terjadi.
Narendra melihatnya dari balik kaca ruangannya. Sekilas saja. Livia tidak menoleh. Ia fokus pada layar komputernya, sesekali mencatat, sesekali berdiri menyerahkan dokumen, semuanya tepat, efisien, dan berjarak.
Saat Livia mengantar berkas ke ruangannya, gadis itu mengetuk pintu dua kali.
“Pak, ini laporan yang Bapak minta.”
Narendra mengangguk, menerima map itu. “Terima kasih, Livia.”
“Sama-sama, Pak.” Nada suaranya datar, sopan, tanpa jejak keakraban.
Tidak ada senyum tambahan.
Tidak ada kalimat kecil.
Tidak ada kalimat lain yang tak terucap.
Livia berbalik dan pergi.
Narendra menatap punggungnya sesaat lebih lama dari yang seharusnya, lalu menunduk pada berkas di tangannya. Ia menghela napas pelan, perasaan yang kemarin terasa dekat kini kembali dipagari tembok tebal bernama kantor.
Di meja kerjanya, Livia mengetik dengan ritme stabil. Ia tahu caranya menjaga jarak.
Ia tahu caranya menyimpan hal-hal pribadi di tempat yang aman.
Dan pagi itu, di antara tumpukan pekerjaan dan sapaan formal,
keduanya sepakat, tanpa kata, tanpa tatapan berlebihan.
untuk berpura-pura bahwa yang terjadi di luar kantor
Tidak pernah ada.
...🥂...
...🥂...
...🥂...
...Bersambung......
lanjut dong🙏🙏🙏