NovelToon NovelToon
Tangisan Di Malam Pertama

Tangisan Di Malam Pertama

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia
Popularitas:8k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.


Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.


Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 15

Di kaca spion, Safar menangkap raut wajah Naia yang panik. “Mbak… wajah njenengan pucat sekali. Ada apa? Siapa yang ada di depan?” tanyanya pelan yang kebingungan melihat tingkah lakunya Naia.

Naia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. Lehernya kaku, matanya tak berani menoleh ke arah gerbang.

Ia tahu, satu tatapan saja bisa membuat dirinya runtuh dan masa lalunya yang kelam akan kembali menyeretnya.

Namun terlambat bayangan itu sudah terpatri jelas di dalam benaknya. Yaitu pria itu adalah asisten pribadi suaminya Atharva Aldric Dirgantara yang bernama Lampard.

Suaminya kemungkinan besarnya juga ada di sekitar lokasi villa. Suami kejam yang masih menjadi mimpi buruk di setiap tidurnya.

Naia mencoba mengatur napasnya, tapi dadanya terasa sesak. Kepalanya menunduk, tangannya meremas ujung jilbab yang terjuntai di dadanya. Pickup itu melambat tanpa ia sadari.

Dari bak belakang, Kadir yang sedari tadi asyik bersiul, sontak mengetuk keras atap mobil.

Tok… tok…

“Mbak! Kenapa berhenti mendadak gitu? Aku hampir jatuh, lho!” serunya dengan nada setengah panik.

Safar yang lebih peka, langsung memperhatikan wajah Naia dari kaca belakang kabin. Ia melihat betapa pucatnya wajah gadis itu, matanya gelisah seperti binatang yang terjebak dalam perangkap.

“Mbak Naia… njenengan nggak apa-apa? Wajahnya pucat sekali loh, ada apa di depan?” tanyanya khawatir.

Naia tidak menjawab. Bibirnya bergetar seolah ingin bicara, namun tak ada suara yang keluar. Tatapannya terpaku lurus ke arah mobil hitam itu, lalu buru-buru ia alihkan ke samping, seakan takut jika bayangan dari kaca bisa menangkap matanya.

Safar saling pandang dengan Kadir. Keduanya bingung, tapi jelas melihat ada sesuatu yang menakutkan di depan matanya.

“Mbak…” suara Safar lebih lembut, “kalau ada sesuatu yang membuat Mbak banyak pikiran bilang ke kami jangan dipendam sendirian. Kalau merasa nggak enak badan Kita bisa balik arah, nggak harus masuk sekarang.”

Naia hanya menggeleng pelan, namun tubuhnya tetap kaku. Kedua tangannya menggenggam erat setir hingga buku-buku jarinya terlihat memutih.

Naia terlihat gelisah dan panik semakin berusaha untuk disembunyikan semakin besar pula ketakutannya.

“Ya Allah… kenapa dia ada di sini? Jangan sampai dia melihatku jangan sampai terjadi.” Batin Naia yang ketakutan.

Mobil pickup itu akhirnya berhenti tepat beberapa meter dari gerbang. Sementara itu, bayangan sosok Lampard masih jelas di balik kaca mobil mewah, membuat sore itu berubah menjadi senja penuh ketakutan.

Naia buru-buru mengaduk-aduk, membongkar semua isinya laci dashboard mobil pickup itu, jemarinya bergetar mencari masker kain dan topi lusuh yang selalu disimpannya untuk keadaan darurat.

Tanpa menoleh sedikitpun ke arah Safar dan Kadir, ia segera menutup wajahnya rapat menyisakan hanya sepasang mata yang sembab menahan kepanikannya.

“Pak Lampard nggak boleh tau kalau aku ada di sini…” batinnya, bergetar seperti suara yang gumaman di dalam kepalanya.

“Kalau sampai Tuan Atharva tahu, aku pasti kembali ditangkap, dikurung dalam sangkar emasnya yang dingin dan menyesakkan itu.”

Dengan cepat ia merapikan hijabnya, menurunkan topi hingga menutupi sebagian wajah, lalu menarik masker ke atas hidung.

Meski begitu, tubuhnya tetap gemetar halus, membuat setir mobil bergetar seirama dengan ketakutannya.

Tok…

Tok…

“Mbak Naia, kenapa diam saja? Kenapa nggak langsung jalan? Pintu gerbangnya sudah dibuka, lho!” teriak Safar sambil mengetuk-ngetuk kap mobil, suaranya meninggi karena panik melihat Naia tak bereaksi.

Naia menutup matanya sejenak, menarik napas panjang meski dada terasa sesak. Dalam hati, ia berulang kali beristighfar, seakan hanya dengan itu kegelisahannya bisa reda.

“Insha Allah… Pak Lampard nggak akan mengenaliku. Baru beberapa hari aku menolak lamaran Pak Hadi, si duda genit itu sekarang aku harus kembali sembunyi dari penglihatan tangan kanan Tuan Muda Atharva Aldric Dirgantara…” cicitnya lirih, nyaris tak terdengar, sambil perlahan menginjak pedal gas.

Pickup itu pun merayap masuk ke area villa, mengantarkan beberapa jerigen susu segar.

Safar dan Kadir segera turun, mengangkat satu per satu jerigen dengan tergesa-gesa, mencoba menyelesaikan pekerjaan mereka secepat mungkin.

Dari kejauhan, Lampard yang baru saja turun dari mobil mewahnya menghentikan langkah.

Pandangannya terpaku pada sosok perempuan di balik kemudi mobil pickup itu.

Ia menolehkan kepalanya sedikit, matanya menyipit tajam, seakan berusaha menerobos topi dan masker yang menutupi wajah Naia.

“Kenapa aku merasa mengenal perempuan itu?” batinnya hingga terlihat keningnya sampai berkerut dalam keraguan.

“Tapi… di mana aku pernah melihatnya?”

Lampard tetap berdiri di sana, dua puluh meter jauhnya, dengan tatapan penuh selidik.

Sementara Naia menggenggam setir makin erat, berusaha menahan dirinya agar tak menoleh, tak goyah meski di balik masker, bibirnya sudah bergetar hebat menahan takut dan paniknya yang datang bersamaan.

Genggaman Naia pada setir semakin erat. Meskipun matanya tertuju ke depan, pikirannya yang berkelana jauh ke masa lalu yang masih membekas seperti luka yang tak kunjung kering.

Bayangan itu datang tanpa permisi malam pertama pernikahannya dengan Tuan Atharva.

Malam yang seharusnya penuh restu dan bahagia, justru menjadi mimpi buruk yang mengikatnya pada belenggu emas.

Di benaknya terngiang jelas wajah Aryasatya Wijaya, suami pertamanya. Lelaki yang dengan mudah mengucapkan ijab kabul, lalu dengan dingin menyerahkan dirinya pada tangan orang lain.

“Kamu adalah tambang emasku,” Begitu katanya kala itu, sebelum menandatangani perceraian yang usia pernikahan pernikahannya hanya bertahan berusia 24 jam saja.

Seakan dirinya bukan istri, bukan manusia yang punya hati melainkan sekadar barang dagangan.

Hari itu juga, tanpa jeda untuk bernapas, ia dijadikan milik Atharva Aldric Dirgantara. Seorang duda berusia 37 tahun, terpandang, berkuasa, tapi menyisakan ruang kosong tanpa anak maupun kasih sayang.

Malam itu, ia ingat jelas bagaimana tangannya gemetar saat pintu kamar terkunci.

Atharva berdiri dengan sorot mata tajam, tatapan yang bercampur antara rasa memiliki dan amarah yang tak pernah ia pahami.

Naia, seorang gadis yang belum genap pulih dari luka pengkhianatan, dipaksa menerima kenyataan kalau ia bukan lagi dirinya sendiri, melainkan “istri” dari seorang pria yang bahkan tak ia kenal sebelumnya.

Sejak malam itulah, setiap langkahnya seakan dibayangi jeruji sangkar emas. Setiap senyumnya terasa palsu.

Dan kini, ketika bayangan Lampard tangan kanan Atharva muncul di hadapannya, semua ingatan itu menyeruak kembali.

Tubuhnya makin bergetar. Di balik masker, ia menggigit bibirnya sendiri, berusaha menahan sesak yang menyesakkan dada.

“Ya Allah… jangan biarkan aku kembali ke pelukan neraka itu,” batinnya pilu.

Begitu jerigen terakhir diturunkan dan pembayaran diselesaikan oleh pengurus villa, Naia buru-buru menyalakan mesin pickup.

Matanya menatap lurus ke jalan keluar, seakan setiap detik yang dilewatinya adalah tarikan napas terakhir sebelum kebebasan.

Roda pickup berderit pelan meninggalkan pekarangan villa. Naia baru berani menghela napas panjang setelah gerbang besar itu tertutup rapat di belakang mereka.

Ada kelegaan yang nyaris membuat tubuhnya lunglai. Seakan ia baru saja lolos dari perangkap yang siap menelannya hidup-hidup.

“Alhamdulillah…” lirihnya sambil menepuk dadanya sendiri, meski jantungnya masih berdegup kencang.

Kadir yang duduk di sampingnya langsung menoleh dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Mbak, tolong jelasin… tadi kenapa kayak orang ketakutan gitu? Wajahnya pucat, tangan gemetaran. Kami kira Mbak pingsan di balik setir.”

Safar menimpali, nadanya lebih pelan, “Iya, Mbak. Dari tadi aku lihat Mbak seperti orang yang dikejar bayangan. Terus kenapa harus pakai masker sama topi segala? Takut sama siapa, sih?”

Naia terdiam beberapa saat. Pickup melaju di jalanan berkelok, sinar senja menembus celah pepohonan, membuat wajahnya terlihat semakin sendu. Tangannya masih menggenggam setir erat, namun akhirnya ia menghela napas panjang.

“Maaf kalau aku bikin kalian bingung,” ujarnya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mesin. “Orang yang tadi kalian lihat… yang keluar dari mobil mewah itu… dia asisten pribadi seorang lelaki yang pernah… merenggut hidupku.”

Kadir spontan mengernyit. “Maksudnya…?”

Naia menggigit bibir bawahnya, menahan getar suaranya. “Aku… pernah menikah. Tapi bukan pernikahan yang kalian bayangkan. Suamiku waktu itu… menyerahkan aku begitu saja pada lelaki lain. Sejak saat itu, hidupku nggak lagi sama. Lelaki itu—Tuan Atharva Aldric Dirgantara—punya kekuasaan besar, kekayaan yang bikin orang tunduk, tapi… bagiku dia neraka yang hidup.”

Safar menelan ludah. Kata-kata Naia terasa begitu asing di telinganya, tapi ketulusan luka di balik suara itu tak bisa dibantah. “Astaghfirullah… Mbak, jadi selama ini… Mbak sembunyi dari dia?”

Naia mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca meski ia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan.

“Iya. Aku kabur. Dan aku nggak mau kembali. Tadi… aku takut sekali kalau asisten pribadinya mengenaliku. Kalau sampai itu terjadi, habislah aku. Aku bisa kehilangan segalanya… termasuk kalian.”

Hening menyelimuti kabin pickup itu. Kadir yang biasanya suka bercanda, hanya bisa menunduk, merasa dadanya ikut sesak mendengar cerita Naia.

Lalu Safar menepuk bahu Naia dengan hati-hati. “Mbak… jangan takut. Selama ada kami, Mbak nggak sendirian. Kita akan jagain Mbak sebisa kami. InsyaAllah, Allah juga pasti lindungi Mbak.”

Naia menoleh sebentar ke arah Safar, senyum getir terbit di balik masker yang masih menutupi wajahnya. Air matanya hampir jatuh, tapi segera ia tahan.

“Terima kasih kalian berdua lebih dari sekadar teman kerja bagiku. Kalian seperti adik-adikku sendiri.”

Pickup itu terus melaju menembus jalan desa, meninggalkan bayangan villa mewah di belakang.

Namun di hati Naia, ketakutan itu belum benar-benar sirna. Ia tahu ini hanya soal waktu sebelum masa lalunya kembali mengejarnya.

Baru saja perasaan lega menyapa, tiba-tiba kaki Naia menginjak pedal rem ketika melihat tikungan tajam di depan.

Namun..

“Astaghfirullah!” serunya kaget. Pedal rem itu terasa kosong, tak ada daya. Mobil pickup justru meluncur makin kencang menuruni jalan menurun.

“Mbak! Kenapa mobilnya nggak berhenti!?” teriak Safar panik, tubuhnya langsung menempel ke dashboard.

“Remnya blong!” Naia berteriak, suaranya bergetar hebat. Kedua tangannya mencengkeram setir erat-erat, mencoba mengendalikan laju mobil yang mulai oleng.

Dari bak belakang, Kadir ikut berteriak ketakutan. “Ya Allah! Kita bisa masuk jurang kalau begini terus, Mbak!” Suaranya parau, bercampur antara doa dan panik.

Jalanan berkelok tajam, sisi kanan dipenuhi pepohonan rimbun, sementara sisi kiri adalah jurang yang curam.

Angin sore menerpa wajah mereka, membawa teriakan putus asa yang terhempas bersama deru mesin pickup yang tak terkendali.

Naia menutup matanya sepersekian detik, lalu membuka lagi dengan tekad.

“Pegangan yang kuat! Jangan panik!” katanya lantang, meski bibirnya bergetar.

Safar menunduk, membaca doa cepat-cepat. “Ya Allah, selamatkan kami Ya Allah…”

1
Isma Isma
baguss Leni kasih tau niaa biar Ndak timbul masalah baruu 🥰🥰🥰🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: kan bagus kalau banyak fans 🤭🤣
total 1 replies
Hana Ariska
gak sabar nunggu kelanjutan nya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak.. insya Allah besok double update
total 1 replies
Milla
Pasti nyaaa anak buah tuan muda arthava 🤭 semangat up thorrr🙏🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Belum tentu 🤭🤣
total 1 replies
Hijriah ju ju
sangat bagus menghibur
Marlina Taufik
seru ni di tunngu lanjut y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kak 🙏🏻🥰

insha Allah besok lanjut soalnya kalau malam mau jualan dulu cari tambahan penghasilan meski dikit ☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Milla
Lanjutt thorrr💪🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Hijriah ju ju
sungguh miris kisah hidupmu
Rahmi Jo
kenapa nggak dibantu??
Hijriah ju ju
najong loh Arya
Rahmi Jo
kok bisa dahulu bisa jatuh cinta??
Hijriah ju ju
wajar dikasari
Uba Muhammad Al-varo
semoga semua usaha kamu berhasil Naia dan kamu bisa bangkit sementara Artharva menjalani kesembuhan, sebenarnya Artharva orang nya baik tapi caranya salah besar membuat Naia menderita dan kau Arya tunggu detik2 kehancuran mu
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: oh ho siap
total 3 replies
Uba Muhammad Al-varo
sungguh memilukan hidup mu Naia, semoga ditempat baru nanti hidup mu akan bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Uba Muhammad Al-varo
ayo Naia pergi dari kampung mu,cari daerah/tempat untuk menata hidup mu lebih baik lagi dan bikinlah hidup mu dan anakmu kuat,agar bisa membalas semua perbuatannya si Arya
Uba Muhammad Al-varo
kenapa kejadian tragis hanya terjadi pada Artahrva seharusnya terjadi juga pada si Arya keparat
Siti Aminah
ceritanya bagus
AsyifaA.Khan⨀⃝⃟⃞☯🎯™
semoga bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Ana Natsir
setuju
Ana Natsir
semoga nggak gila
Ana Natsir
sedih jdi mewek
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!