NovelToon NovelToon
Iparku

Iparku

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Beda Usia / Keluarga / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Khozi Khozi

"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.

apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 15 keberangkatan lita

.Hari itu akhirnya tiba. Hari keberangkatan Lita. Sejak pagi, rumahnya sudah ramai oleh teman-teman yang ingin melepas kepergiannya. Di antara mereka ada Arya—sosok yang diam-diam paling berat melepaskan Lita.

“Ndok, sudah lengkap semua? Jangan sampai ada yang ketinggalan, ya,” suara Bu Yana bergetar, matanya berkaca-kaca. Ia berusaha tersenyum, tapi wajahnya tak bisa menutupi kesedihan yang dalam. Hatinya teriris: anak semata wayangnya akan pergi, meninggalkan rumah yang selama ini riuh oleh canda tawa Lita.

“Sudah, Buk,” jawab Lita pelan. Ia menyeret koper besar ke depan rumah, Arya segera sigap membantu.

“Kalau sudah sampai di sana, kabari Ibu, ya.” Air mata Bu Yana hampir jatuh, tapi ia buru-buru menghapusnya.

“Iya, Buk. Jaga kesehatan. Selama Lita nggak ada di rumah, Ibu harus baik-baik.” Lita langsung memeluk ibunya erat, seakan tak ingin melepaskan.

“Iya, Nak… kamu harus serius belajar di sana. Ingat pesan Ibu.”

Satu per satu teman-temannya ikut menyalami. Amel, sahabat dekatnya, sudah tak bisa menahan tangis. “Kamu jangan lupain aku di sini, Lit,” ucapnya sambil terisak, memeluk Lita erat.

Lita mencoba tersenyum. “Mana mungkin aku lupa sama kamu, orang yang paling cerewet dan paling suka godain aku.”

Rian ikut menyalami, matanya agak merah. “Hati-hati di sana, Lit. Semoga ketemu orang baik. Jaga kesehatan, ya.”

“Iya, aman kok. Pulang nanti gue tunggu kabar baik, jangan lupa kalian berdua jadi pasangan, ya.” Lita sengaja menggoda.

“Apaan sih! Gue nggak mungkin pacaran sama ni anak,” celetuk Amel, setengah malu. Tapi Rian malah menatap serius, “Kenapa nggak bisa?” Pertanyaan itu membuat Amel terdiam, wajahnya menegang.

Lita tersenyum kecil, lalu menoleh ke Arya. Hanya sebentar, tapi tatapan mereka penuh arti. Saat semua orang sibuk, Lita mendekat, berbisik lirih di pelukan Arya, “Aku berangkat dulu, Sayang…”

Arya membalas pelukan itu dengan genggaman erat, suaranya rendah dan berat, “Jangan dekat-dekat sama lawan jenis di sana. Aku tahu pasti banyak yang bakal suka sama kamu… kulit kamu putih, wajah kamu cantik. Aku takut kehilanganmu.”

“Aku cuma suka sama kamu, Arya,” balas Lita, menahan haru. Mereka buru-buru melepas pelukan agar tidak menimbulkan curiga. Hubungan mereka memang dirahasiakan—aturan keluarga melarang pacaran sebelum kuliah.

Lita masuk ke mobil bersama Meli dan Roni. Dari jendela, ia melambaikan tangan. Saat mobil mulai menjauh, Lita berbisik pelan, “Aku mencintaimu…” Meskipun samar, Arya bisa membaca gerak bibir itu. Ia membalas dengan gerakan bibir: “Aku sangat mencintaimu.” Mobil melaju, hingga wajah Lita tak lagi terlihat.

Beberapa jam perjalanan, mobil akhirnya berhenti di sebuah rumah besar. Roni turun lebih dulu, mengambil koper Lita.

“Capek, ya? Istirahat dulu di kamar. Kalau lapar, tinggal turun,” ucap Meli penuh perhatian.

“Iya, Mbak. Makasih.” Lita menaiki tangga, menuju kamar barunya.

Di dalam, ia membuka lemari. Beberapa baju sudah tersusun. Lita mengambil kaus oversize dan celana selutut—pilihan sederhana tapi sengaja ia kenakan agar tubuhnya tak terlalu terlihat, apalagi ada Roni di rumah itu. Ia menggerai rambut, menutupi lehernya. Tapi justru membuatnya terlihat lebih manis, polos, dan cantik. Ia merebahkan diri, melepaskan lelah.

Sejam kemudian, saat hendak turun mengambil minum, ia berpapasan dengan Roni yang membawa kopernya.

“Tadi mas mau taruh di kamar kamu, tapi kayaknya kamu tidur. Jadi nggak jadi,” ucap Roni.

“Iya, Mas. Nggak apa-apa.” Lita menunduk, menjawab singkat tanpa menatap wajahnya. Ia buru-buru turun.

Roni terdiam. Ada rasa jengkel yang menumpuk. Kenapa dia selalu menjauh? pikirnya. Perlahan, kesabarannya habis.

Sore tiba. Meli yang memasak sendiri hari itu, memanggil Lita.

“Lit, ayo turun. Mbak sudah masak.”

“Iya, Mbak.” Lita menuruni tangga. Di meja makan, Roni sudah duduk menunggu.

“Makan yang banyak, ya,” ucap Meli sambil menyodorkan piring.

“Iya, Mbak. Ini semua Mbak masak sendiri?” tanya Lita, terkesan dengan hidangan yang banyak.

“Iya, Mbak sendiri.”

“Kenapa nggak panggil aku bantuin? Kan bisa bareng-bareng.”

Meli tersenyum tipis. “Nggak usah, kamu sudah capek. Makan aja yang banyak.”

Lita pun menurut. Suasana hangat terasa di meja makan, tapi di sisi lain, tatapan Roni tak pernah lepas darinya. Ada sesuatu di balik tatapan itu—perasaan yang bergejolak.

Setelah makan selesai, mereka bertiga berkumpul di ruang keluarga. . Meli duduk santai di sofa, sementara Roni duduk agak menyender, matanya sesekali melirik ke arah Lita tanpa ia sadari.

Lita sendiri lebih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lincah mengetik, wajahnya sedikit tersenyum. Ia baru saja mengirim pesan ke seseorang yang paling ia rindukan.

“Aku udah sampai rumah Mbak Meli.” Pesan itu terkirim ke Arya.

Tidak butuh waktu lama, notifikasi masuk. Arya membalas cepat:

“Iya, Sayang. Kamu sekarang lagi ngapain?”

Lita tersenyum kecil, melirik sekilas ke arah Meli dan Roni sebelum kembali mengetik:

“Aku sama Mbak Meli. Ada Mas Roni juga, lagi nonton TV.”

Beberapa detik kemudian, balasan Arya muncul. Kata-katanya singkat, tapi terasa menusuk:

“Mas Roni juga ada di sana?”

Alis Lita sedikit mengernyit. Ia mengetik cepat:

“Iya, memangnya kenapa?”

Balasan Arya muncul lagi, agak lama kali ini:

“Nggak apa-apa… Kamu duduknya jauhan, kan?”

Lita tersenyum tipis, berusaha menenangkan kekasihnya.

“Iya, aku duduk di sebelah Mbak Meli. Tenang aja.”

“Yaudah, Sayang. Aku lega.”

Lita terdiam sejenak, menatap layar ponselnya. Rasa kangen mendadak menyesak. Ia mengangkat ponselnya, membidik wajahnya sendiri. Rambutnya tergerai menutupi sebagian leher, wajahnya polos tanpa banyak riasan, tapi tetap memancarkan kecantikan alami. Ia menekan tombol kamera, lalu mengirim foto itu pada Arya.

Balasan datang cepat, hanya dua kata tapi begitu dalam:

“Cantik banget…”

Pipi Lita merona, senyum kecil muncul tanpa bisa ia tahan. Di sisi lain, tanpa ia sadari, Roni memperhatikan tingkahnya dari sudut mata. Tatapan itu penuh tanda tanya—dan sedikit gelap.

Roni tiba-tiba bangkit dari sofa. Tanpa sepatah kata pun, ia berjalan ke arah tangga lalu menghilang ke dalam kamarnya. Lita sempat melirik sekilas, hatinya sedikit lega. Untung Mas Roni udah masuk kamar… batinnya, menekan napas panjang.

Ia meletakkan ponselnya di meja, lalu menoleh ke Meli yang masih fokus pada tayangan TV. Wajah Lita terlihat lebih serius dari biasanya. “Mbak Meli… aku mau ngomong sesuatu.”

Meli langsung menoleh, sedikit bingung dengan nada serius adiknya. “Ada apa, Dek?” tanyanya lembut, belum menyadari raut gelisah di wajah Lita.

Lita menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan kata-kata yang sudah sejak tadi berputar di kepalanya. “Aku… kalau aku ngontrak aja gimana, Mbak?” suaranya pelan, . Bayangan-bayangan mbaknya marah akan keputusannya.

Meli sontak menatap lekat ke arah Lita, kaget. “Kenapa? Kamu nggak nyaman tinggal di sini?”

Lita buru-buru menggeleng, matanya menunduk. “Bukan gitu, Mbak. Aku seneng bisa tinggal bareng Mbak. Rasanya kayak punya rumah kedua. Tapi aku pikir… mungkin aku harus belajar lebih mandiri. Kalau aku ngontrak, nggak jauh dari sini, lebih terbiasa hidup sendiri juga.”

Meli terdiam sejenak. Tatapannya lembut, ada rasa bangga terselip di sana. Perlahan, ia mengangguk. “Kalau itu memang keinginanmu, Mbak dukung. Tapi ingat… kalau kamu merasa nggak betah, kalau ada apa-apa, rumah ini tetap rumahmu. Kamu bisa kapan pun pulang ke sini.”

Lita menahan haru. Tak menyangka kakaknya begitu pengertian. “Makasih, Mbak. Aku kira tadi Mbak bakal marah.”

Meli menggeleng sambil tersenyum tulus. “Mbak nggak mungkin marah sama kamu. Selama itu baik buat kamu, Mbak akan selalu dukung.”

Tanpa bisa menahan diri, Lita langsung memeluk Meli erat. Hatinya dipenuhi rasa hangat dan syukur. Beruntung sekali aku punya Mbak seperti dia, batinnya, merasa ada sosok yang selalu siap menjadi tempat pulang

l

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!