Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gejolak Hati
Vania menutup ponselnya, matanya beberapa kali mengerjap, mencoba meyakinkan diri bahwa yang barusan ia dengar adalah hal yang nyata. Ia melihat Rayhan dari kejauhan, sorot matanya sendu dan penuh harap. Entah apa yang sebenarnya Rayhan harapkan darinya. Apakah Rayhan benar-benar serius tentang kata cemburu, atau dia hanya usil seperti biasanya.
Alih-alih menanggapi, Vania mengalihkan pandangannya dan masuk dalam kamar. Atau lebih tepatnya, ia bersembunyi dari tatapan Rayhan yang sulit untuk dijelaskan. Terkadang, Vania seakan terjebak dalam legam bola matanya yang teduh sekaligus tajam.
Vania menatap ponselnya, ketika Rayhan kembali mengirimnya sebuah pesan.
“Sorry, Van. Pikiran gue sejenak kacau, lo bisa lupain hal tadi,”
Kini alisnya beradu, hingga membuat lekuk tajam di antara keduanya. Apakah ini trik baru Rayhan untuk mengerjainya? Tak lama, Rayhan mengirimi pesan lagi.
“Tapi, soal gue cemburu itu ... Gue serius.”
Kali ini, mulut Vania menganga lebar, bersamaan dengan wajahnya yang menghangat. Vania berjalan perlahan ke arah meja rias, tangannya mengusap pipinya, menatap pantulan wajahnya di cermin yang mulai merah padam.
“Vania, sepertinya ada yang salah sama lo,” gumamnya pada diri sendiri. Sambil menghela napas panjang. Ia kembali mempertanyakan sikap Rayhan, di awal pertemuan ia terkesan bercanda, sementara kini ucapannya tentang cemburu terdengar serius. Entah mana yang benar, Vania sendiri merasa bimbang.
Di sisi lain, Rayhan hanya tersenyum kecut menatap pesannya yang tak terbalas. Ia mengamati langit yang berubah kelabu, seperti suasana hatinya kini. Dari kecemburuan yang baru ia sadari, serta omelan ayahnya yang selalu sama setiap hari. Sungguh hari minggu yang luar biasa!
Tak ingin terlalu larut dalam kegalauan, sebelum perasaan tidak nyaman itu kian menggerogoti, ia ingin segera meminta saran pada sang ahli. Ia mencari nama Pandu dan menghubunginya. Mencoba meminta beberapa saran, yang mungkin bisa sedikit meringankan beban pikirannya.
“Posisi lo di mana sekarang?” tanyanya seketika.
“....”
“Gue ke sana sekarang.”
“?!”
“Urgent.”
“!!”
Okta melipat tangannya, melototi Rayhan yang kini berada di tengah kencannya dengan Pandu. Kini mereka bertiga duduk di tikar dengan beratap pohon rindang, berbagai ornamen estetik sengaja Okta bawa untuk diabadikan dengan kameranya. Langit yang teduh dengan semilir angin mendukung suasana yang damai.
Namun, kedatangan Rayhan membuat kencan romantis yang Okta dambakan kini hancur berantakan.
“Langsung aja intinya, lo mau ngapain ke sini?” tanya Okta tak sabar, ingin segera mengusir Rayhan.
“Gue mau curhat.”
Tangannya yang tadi sibuk membersihkan lensa kameranya seketika berhenti. “Lo jauh-jauh ke sini, Cuma mau curhat ke sahabat lo yang lagi kencan?” ujar Okta menatap Rayhan dengan kesal.
“Iya,” jawab Rayhan enteng. Sambil menyandarkan punggungnya di pohon.
Okta mendengus kasar, tak tahu harus berkomentar apa lagi. Rasanya ia hanya ingin memukul wajah tampan itu supaya ia sadar tempat dan waktu. Sementara Pandu berusaha menenangkan Okta yang sudah mengepalkan tangannya.
“Sudah sayang, kita dengerin dulu, kalau gak penting kita usir.” Ujar Pandu, tersenyum dengan lembut.
Kini giliran Rayhan yang mendengus pelan. “Kalo udah punya pacar, temen dilupain,” ledek Rayhan.
“Makanya cari pacar.” Balas Okta. Tangannya bergelayut manja pada Pandu.
“Ini lagi usaha dapetin.”
“Siapa?”
“Temen lo,”
“Siapa?”
“Vania,”
“Kenapa Vania?”
“Ya karena suka lah.”
Mendengar itu, Okta dan Pandu saling berpandangan dengan takjub.
“Lo serius?” tanya Okta setengah tak percaya.
“Lo beneran suka sama Vania?” tanya Pandu, suaranya dipenuhi rasa heran, baru kali ini ia melihat Rayhan tertarik pada seseorang. Di mana sebelumnya ia hanya tahu tentang belajar dan musik. Bahkan begitu banyak wanita cantik yang mendekatinya, ia hanya menganggap mereka fans saja.
“Gue belum yakin, tapi gue merasa gak suka liat dia berduaan dengan cowok lain.” Jawab Rayhan sembari meremas dadanya dengan dramatis.
Okta melihat Rayhan dengan ekspresi malas, masih belum sepenuhnya percaya pada ucapannya. “Cowok siapa?”
“Katanya namanya Jalu.”
Okta mengernyit heran, “Kenapa lo bisa tau kak Jalu?”
“Memang siapa Jalu?” tanya Pandu.
“Dia kakak kelas gue sama Vania pas SMA. Lo tau di mana Vania ketemu Kak Jalu, Ray?”
“Di rumah Vania, gue tetangga belakangnya.” Jelas Rayhan.
Okta menutup mulutnya dengan kedua tangannya, kebetulan yang sangat tak terduga.
“Lo tahu sesuatu tentang Jalu Jalu itu? Kenapa tingkah Vania kayak menaruh hati sama si Jalu itu.” Ujar Rayhan, matanya seolah menuntut penjelasan.
Bibir Okta tertutup rapat, ia sudah berjanji tak ingin membeberkan kisah masa lalu Vania tentang cintanya yang tak pernah terbalas. Matanya mengalihkan pandangan, tidak ingin menatap Rayhan yang menunggu jawabannya.
Pandu melirik Okta yang sepertinya enggan untuk menjawab, “Kenapa lo yakin Vania suka sama cowok itu?”
“Vania terlihat girang bahkan tersipu malu waktu di ajak pergi ke kampusnya untuk sebuah pameran buku. Coba lo pikir,” kata Rayhan dengan menggebu-gebu.
“Seorang Vania yang selalu menolak semua cowok termasuk gue, tapi bisa tersipu malu dengan cowok bernama Jalu ini.” Lanjutnya seraya mengambil botol mineral Pandu, meminumnya hingga tuntas berharap bisa meredam gemuruh di dadanya.
“Kalau Vania sudah mau jalan sama Kak Jalu, lo udah gak ada kesempatan lagi.” Balas Okta, membuat tubuh Rayhan luruh, seakan tenaganya hilang seketika.
“Sebenernya Jalu itu siapa?” Tanya Pandu dengan lirih, mencoba membujuk Okta untuk bercerita, melihat Rayhan yang kini sudah mematung.
Okta terdiam, menimbang-nimbang haruskah ia terus memendamnya atau membantu Rayhan dengan menceritakan masa lalu sahabatnya. Jika boleh jujur, ia tak terlalu suka jika seandainya Vania kembali menyukai atau bahkan menjalin hubungan dengan Jalu. Karena ia merasa Jalu terlalu tidak peka, atau bahkan ia hanya menganggap Vania sebagai adik kelas saja.
Ia tak ingin Vania terjebak dalam masa lalu lagi, jika ternyata Jalu masih tak menyadari perasaan Vania. Sedangkan sekarang, ada seorang pria tampan yang terlihat jelas menyukai Vania. Haruskah ia menceritakannya?
Rayhan menghembuskan napas pelan, melihat ekspresi Okta, ia tahu ia tak bisa mendapatkan informasi apa pun. Ia tersenyum hambar, tak ingin memaksa Okta untuk bercerita lebih jauh. Menurutnya, ia sudah cukup mendapat penerangan: Vania memang menyukai pria bernama Jalu.
Rayhan bangkit, hendak meninggalkan mereka berdua.
“Gue akan cerita,” kata Okta tiba-tiba, menghentikan langkah Rayhan. “Asal lo janji gak akan mempermainkan Vania.”
Senyum Rayhan merekah, ia menoleh, menatap Okta dengan tatapan yang sangat serius, membuat Okta yakin.
“Janji!” jawabnya lantang, seakan berteriak ke seluruh alam semesta.
Rayhan hempaskan tubuhnya ke kursi, di dalam kamarnya ia menatap luar jendela. Terlihat langit bergemuruh, seolah beradu dengan perasaannya kini. Setelah mendengar kisah Vania saat di bangku sekolah dari Okta, ia merenung dalam diam.
“Apa gue bisa ngalahin masa lalu yang sudah mengendap di hatinya selama dua tahun ini?” gumamnya pelan.
Namun, keraguan itu coba ia tepis sejauh mungkin. Ia mengingat lagi moto hidupnya. ‘Tidak ada kata menyerah, sebelum kita mencoba berulang kali’
“Nggak papa, Ray!” gumamnya penuh tekad. “Lo masih punya banyak waktu. Vania masih sendiri, walaupun Jalu adalah masa lalunya, lo yang akan menjadi masa depannya.”
Tangannya mengepal kuat, tekadnya bulat. Namun di balik keberanian itu, ia tidak pernah siap menghadapi satu kemungkinan: bahwa perasaan tidak selalu berujung pada apa yang ia inginkan.
Bagus k, saya suka yg temanya sekolahan gini. jadi kangen masa” skolah 😄
aww gemes ih