Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Percaya Atau Tidak
Mbok Sum yang nyemplung ke lumpur itu panik. Tangannya meraba-raba di kegelapan air dan tanah basah, mencari kantong berisi botol Kin. Nafasnya tersengal, dada terasa sesak.
Pemuda yang jatuh bersamanya mengumpat. "Mbok, sampean gila ya?! Bisa-bisanya mukul saya!" gerutunya sambil mengibaskan lumpur di bajunya, kesal.
Namun, si mbok tidak menggubris. Matanya liar, tangannya terus mengaduk-aduk lumpur. Pemuda itu akhirnya menyerah dan pergi, meninggalkan si mbok sendirian di tengah sawah yang sunyi, hanya suara jangkrik dan desiran angin yang menemani.
Hingga jemarinya menyentuh sesuatu yang keras, botol itu. Tangannya bergetar saat menariknya keluar dari lumpur. Air matanya jatuh, membasahi wajah yang sudah penuh tanah. Dipeluknya botol itu erat, seakan kalau lepas, seluruh perjuangannya akan sia-sia.
“Aku akan jaga kamu, sampai mati pun aku jaga,” bisiknya, entah pada dirinya sendiri atau pada sesuatu di dalam botol itu.
Dengan langkah tertatih, ia berjalan pulang. Malam itu terasa begitu panjang, dan setiap bayangan pepohonan seperti ingin meraih tubuhnya.
Sesampainya di depan rumah, Melati dan Kemuning sudah menunggu. Melihat si mbok yang basah kuyup dan kotor membuat mereka terkejut.
"Mbok, kenapa bisa sampai seperti ini?" tanya Melati sambil berlari menghampiri.
"Bukan apa-apa. Yang penting, dia sudah terperangkap di sini," jawab si mbok lirih, tangannya mengusap permukaan botol yang terasa dingin di pelukannya.
"Syukurlah, terima kasih, Mbok," ucap Melati dengan napas lega, mengira kutukan itu telah berakhir.
Mereka masuk ke rumah. Si mbok langsung ke belakang dan langkahnya terhenti. Di depannya, dapur menghitam hangus, bau sisa asap masih menusuk hidung.
"Non, ada apa ini?" suaranya bergetar, seperti tak percaya pada yang dilihat.
"Bukan apa-apa, Mbok. Yang penting kami selamat. Tapi, kami harus keluar uang banyak buat perbaikan," jawab Melati lesu, menatap sisa-sisa dinding yang menghitam.
"Untungnya api nggak sampai ke lumbung dan gudang," sambung Melati, dan si mbok hanya mengangguk, menahan perasaan yang makin berat.
Ia menyerahkan botol itu dengan hati-hati. "Non, botol ini jangan sampai segelnya terbuka. Kalau lepas, dia akan jauh lebih ganas dari sebelumnya."
Melati menatap botol itu. Ada sesuatu yang bergerak samar di dalamnya, membuatnya merinding. "Jadi, ini yang buat hidupku dan Muning hancur? Kenapa nggak dimusnahkan saja?" tanyanya, suaranya bergetar di antara rasa benci dan takut.
"Kami sudah berusaha, tapi semakin berusaha dia semakin menggila, kami hampir tewas di tangannya," tutur si mbok dengan raut wajah sedihnya, bayangan pertempuran tadi di rumah dukun kembali terlintas.
"Beruntung, Mbah Prapto bisa menguncinya di sini, asal segelnya nggak terbuka, kita aman dari gangguannya," sambung si mbok dan Melati mengembalikan botol itu lagi pada si mbok.
"Mbok saja yang simpan, kalau Melati yang simpan, Melati merasa marah, ingin menghancurkan botol itu, berharap dengan Hancurnya botol itu sosok itu juga ikut hancur!"
"Baiklah, mbok akan simpan ini baik-baik," jawab si mbok dan wanita tua itu menyimpannya di kamar Drajat, bersama barang-barang kesayangan pria itu yang masih tersusun rapih di sana.
Saat keluar dari pintu kamar, Mbok Sum mendengar seseorang memanggilnya, memanggil dengan suara lirih yang seperti hembusan angin. "Sum..."
Si mbok menoleh, dia memperhatikan kamar tua itu ke setiap sudutnya dan tidak ada siapa-siapa di sana. Dia tidak lupa mengunci kamar tersebut, takut kalau Kemuning masuk ke sana. Apalagi anak itu terlihat sedikit berbeda, tidak seperti Melati.
Singkat cerita, setelah membersihkan badan, si mbok yang hendak ke kamarnya itu melihat Melati yang sedang menunggunya di depan kamar.
"Non, ada apa? Udah larut, kenapa belum. tidur?" tanya si mbok yang mulai menghampiri dan Melati meraih tangan wanita tua itu, terasa dingin dan Melati membawa tangan yang sudah banyak berjasa dalam hidupnya itu ke dalam pelukan.
"Terima kasih, Mbok. Urusan arwah penasaran itu sudah selesai, sekarang tinggal menghukum Seno, kan, Mbok?"
Si mbok terdiam, dia belum bisa menjawab, takut Melati akan kecewa karena hajatnya yang satu ini belum bisa dia kabulkan.
"Mbok, kenapa diam?" tanya Melati menyelidik, menatap wajah keriput itu.
"Begini, si mbah tadi terluka parah, jadi belum bisa menerima pesanan kita yang satu ini, sebaiknya kita tunda dulu, kita bernafas lega dulu, Non."
Melati menghela napas panjang. Tapi dari sorot matanya, si mbok tahu, dendam itu masih menyala.
"Baiklah, kalau begitu, Melati balik ke kamar lagi."
Si mbok pun mengangguk, bersyukur kalau ternyata Melati memahaminya dan mau bersabar.
Malam itu, si mbok mencoba memejamkan mata. Tapi suara itu kembali datang.
"Sum."
Kadang terdengar dari arah kamar Drajat, kadang dari luar jendela, kadang seperti ada di bawah ranjangnya sendiri.
Ia bangkit, berjalan pelan menuju kamar Drajat. Pintu masih terkunci. Tapi saat telinganya menempel di pintu, ia mendengar bunyi goresan. Seperti kuku menggores kaca, diikuti ketukan pelan dari dalam, mungkin Kin berusaha melepaskan dirinya dari kurungan itu.
"Sum!" suara itu terdengar lebih dekat dan kali ini terdengar sangat marah.
Si mbok mundur, napasnya memburu. Beruntung, segelnya belum terbuka, dia pun memikirkan cara menyimpan botol itu dengan aman.
Sementara itu, Melati di kamarnya sedang memperhatikan foto keluarganya, awalnya di sana tidak ada mbok Sum, tapi belakangan ada dia yang ikut masuk ke dalam foto keluarga membuat Melati curiga kalau yang membuat Karsih gila adalah dia sendiri.
"Kata si mbok, ibu gila karena dibuat-buat sama orang, apa itu kamu sendiri, mbok?" tanyanya dalam hati.
"Kalau iya, kamu harus membayar, dengan harga yang sangat mahal!" kata Melati, dia masih bicara dalam hati.
Lalu, gadis yang sekarang hatinya dipenuhi benci dan dendam itu pun menutup album fotonya. Kemudian, dia melirik pada Kemuning yang terlihat sudah pulas.
Sekarang, Melati menyimpan lagi album fotonya ke nakas, dia kembali berbaring, menarik selimutnya sampai batas leher.
Melati mencoba memejamkan mata, bukannya terlelap, tapi dia terisak karena teringat dengan semua rentetan yang terjadi hari, di mulai pagi tadi saat Seno menodainya, hingga gangguan-gangguan mistis dan dapur yang terbakar.
Tak bisa memejamkan matanya, Melati bangun dari tidur, dia pergi keluar dari kamar dan dapur adalah tujuannya.
Saat dia berjalan sendirian di dalam rumah yang cukup luas itu dia mendengar suara yang memanggilnya.
Ini bukan pertama kali baginya, dia seolah sudah bersahabat dengan bisikan-bisikan yang terus menggodanya. "Melatiiiiii," suara itu mendayu, tapi cukup membuat Melati merinding, dia pun terus melanjutkan langkahnya, sesekali mengusap lengannya yang meremang.
Melati sudah sampai di dapur, dia mencari-cari pisau yang masih selamat dari lahapan si jago merah.
"Kenapa kita nggak menciptakan dunia sendiri? Kenapa aku yang harus menjadi korban? Bagaimana kalau aku yang menjadi pelaku utama?" tanyanya pada pisau yang sekarang ada di genggamannya.
Rencana licik sudah dia siapkan untuk Seno dan seperti ada yang mendorongnya untuk terus melanjutkan apa yang sudah dipikirkan.
Dengan langkah perlahan, Melati keluar dari dapur yang berantakan itu, dia berjalan seorang diri di bawah gelap malam, berjalan ke arah rumah Seno yang berada di RT sebelah.
Sesampainya di rumah itu, Melati mencari-cari dimana kamar Seno, dia pun mulai mengintip dari celah jendela dan ternyata itu kamar ibu dan bapak Seno dan mereka sedang uhuk-uhuk di malam yang dingin ini.
Dia pindah untuk mengintip kamar lainnya, akhirnya gadis berbaju tidur itu menemukannya. Matanya menatap penuh benci. "Seno, kamu akan menderita karena sudah berani menyentuhku!" ancamnya seraya menggoreskan pisau di jendela kamar itu.
"Seno, bersiaplah, teror akan dimulai!"
Bersambung dulu, ya. Bagi yang mampir ke ceritaku, jangan lupa dukung karya ini, ya. Like, komentar dan subscribe.
Selamat membaca.