Valeria bahagia ketika sang adik, Cantika diterima sebagai sekertaris di sebuah perusahaan. Setelah 3 bulan bekerja, Cantika menjalin hubungan dengan pimpinannya.
Ketika Cantika mengenalkan sang pimpinan kepada Valeria, dia terkejut karena pria itu adalah Surya, orang yang dulu pernah menjalin cinta dengannya sewaktu SMU, bahkan pernah merenggut keperawanannya.
Apakah yang Valeria lakukan selanjutnya? Apa yang akan terjadi pada mereka? Apakah hubungan mereka akan berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Nita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 15
Si Jahat itu membiarkanku berjalan sendiri, tetapi masih mengawasiku dari mobilnya. Aku tahu karena mobil itu masih di sana, belum melewatiku. Mungkin, jika mengantarku sampai ke rumah dia ga enak juga dengan papa dan mama, karena mereka telah mengenalnya.
Sesampainya di rumah langsung menuju ke kamar, aku merebahkan diri di tempat tidur, lalu mama menghampiriku.
"Kok udah pulang, Nak? Kamu kenapa?" Tanya mama cemas.
"Cuma pusing seperti tadi waktu berangkat, Ma."
"Udah periksa ke dokter?"
"Udah kok, Ma."
"Apa kata dokter?"
"Hanya infeksi saluran pencernaan kok, Ma."
"Oh, ya udah, tapi tetep musti hati-hati sama makannya, dan banyakin istirahat. Tadi diantar siapa pulangnya?"
"Pak satpam." Jawabku asal.
"Ya udah, istirahat dulu, nanti obanya diminum ya? Mama buatkan bubur buatmu."
Aku mengangguk, lalu terlelap.
***
Ketika bangun, sayup-sayup aku mendengar pembicaraan papa dan mama, mereka sepertinya sedang membicarakanku yang hingga saat ini belum memiliki seorang calon suami. Aku mengerti, mereka tentu ingin memiliki menantu dan menimang cucu. Pemikiran itu umum dimiliki oleh orang tua mana pun ketika anaknya telah beranjak dewasa. Apalagi aku anak perempuan.
Maafin aku Pa, Ma. Semoga aku segera bisa membuka hati untuk seseorang. Inginku pun memiliki pasangan hidup untuk bersandar, berbagi bersamanya hingga akhir waktu, tetapi untuk saat ini tata ruang hatiku masih porak-poranda.
Aku turun dari tempat tidurku, perutku terasa lapar, tetapi lidahku masih merasakan pahit pada semua makanan.
Papa dan mama sedang duduk di depan TV di sebelah kamarku ketika aku keluar dari kamar. Mereka melihatku.
"Makan dulu, Val. Biar ada tenaga dan diminum obatnya biar cepat sembuh. Mama udah bikin bubur untukmu." Kata mama sambil beranjak dari duduknya dan menuju ke ruang makan.
"Iya, Ma." Aku mengekor mama.
Sesendok demi sesendok bubur yang diambilkan mama aku masukkan pelan-pelan ke mulutku. Mama menemaniku, dia selalu mengelus punggungku ketika mual terasa saat menelan bubur itu.
"Udah, Ma." Aku merasa tidak sanggup menghabiskan semangkuk bubur itu. Mama mengangguk.
"Maaf ya, Ma. Rasanya masih mual."
"Ga apa-apa, nanti makan lagi sedikit-sedikit ya, Nak. Sekarang minum obatnya."
Aku mengangguk lalu mengambil obat, menelannya dengan air putih.
Di saat sakit seperti ini kehadiran seorang mama sangat berarti. Mama begitu menyayangi anak-anaknya, begitu juga papa. Aku sangat bersyukur berada di keluarga ini.
"Ma, Pa, Val ingin istirahat dulu ya di kamar."
"Iya, Nak. Lekas sembuh ya?" Kata papa.
Kembali ke ruangan bernuansa biru favoritku, sambil merebahkan diri, menikmati rasa lemas dan pusing, aku membuka gawai. Di situ telah ada beberapa pesan dan panggilan tak terjawab. Kubuka satu per satu pesan itu.
Reno SMU
[Maaf, Val. Ganggu lagi. Aku ingin bertemu denganmu, ada yang ingin aku sampaikan. Boleh?]
Valeria
[Oh, ya Reno. Tapi jangan dalam waktu dekat ini, ya? Aku baru banyak urusan.]
Balasku berbohong padanya sebenarnya aku baru sakit. Aku hanya tidak ingin dia merasa berkewajiban menengokku. Kemudian pesan yang kedua
Lia
[Hai Val, lagi ngapain? Pasti kerja yah? Gimana tuh si Surya? Ada perkembangan cerita ga?]
Valeria
[Ada, banyak Lia, tapi besok kalau aku ketemu kamu, bakal aku ceritain semuanya.]
Dan yang terakhir kubuka pesan yang tersisa.
Si Jahat
[Udah baikan belum? Diminum ya obatnya? Kalo besok belum enakan, ga usah masuk kantor dulu ya Miss Keras Kepala.]
Apa? Miss Keras Kepala katanya? Seenaknya aja kasih sebutan buatku! Geramku.
Ah yang terakhir ini biarin aja lah, aku malas juga menanggapi. Pikiranku menerawang, mataku menatap langit-langit kamar, mengingat perbincangan papa dan mama tadi. Kenapa aku ga bisa mencintai seseorang? Kenapa bagiku mencoba membuka hati itu sangat sulit? Dulu aku bisa menyukai Surya, melihat lekukan wajahnya membuatku jatuh hati, tapi sekarang aku menghindarkan pandangan mataku padanya. Aku menekankan kembali bahwa aku membencinya. Semoga dia tidak melakukan pada adikku apa yang dia lakukan padaku dulu.
Tiba-tiba, aku merasa ketidak relaanku, tapi tidak rela dengan apa, aku sendiri tidak mengerti. Sepertinya Surya adalah orang yang baik. Ah, pikiranku jadi kemana-mana dan aku tergelitik untuk mengingat kembali saat pertama kali mencintai seseorang. Rasa itu datang ketika telah lama aku belum memiliki rasa cinta kepada seorang laki-laki selain papaku. Seperti disiram air saat gersang. Saat yang ga bisa aku lupakan sampai kapan pun.
Bibirku tersungging, menertawai diriku sendiri. Konyol. Masa lalu yang konyol, harusnya mudah bagiku melupakannya, tapi sekarang dia datang mengingatkan kembali kenanganku saat itu.
Dia datang dengan pasangannya yang tak lain adalah adikku. Dia akan menjadi adikku. Rasa sesak kembali bergumul di dadaku, isak tangisku keluar tanpa bisa aku bendung. Aku bingung kenapa aku ini. Kubiarkan rasa itu terus mengalir, kunikmati rasa ini, sendiri.
***
Esok harinya, aku kembali bekerja. Aku yang terbiasa gila kerja saat di Jerman, di Jakarta pun aku seperti itu, meski dekat dengan rumah, tapi aku tidak bisa agak santai.
Kuyakinkan papa bahwa aku sudah kuat mengemudi sendiri. Papa mengijinkan aku berangkat sendiri, tapi jika nanti aku masih tidak enak badan, dia minta agar aku pulang diantar satpam lagi atau menelpon papa. Aku mengangguk saja, melegakan orang tua. Aku yakin aku akan baik-baik saja.
Tiba di kantor, seluruh karyawan menyambutku. Mereka menanyai keadaanku. Aku bilang pada mereka bahwa aku sudah sehat. Mereka tidak perlu kuatir denganku, karena dokter pun telah memeriksaku, dan memberiku obat yang membuatku merasa baik.
Aku masuk ke ruanganku, di atas meja telah ada sebuah buket bunga mawar biru. Kubuka amplop ucapan,
*To : Valeria Fazza Anggraini
Semoga lekas sembuh ❤
From : Surya*
Ah apa arti tanda hati di sini? Lebay.
Aku meletakkan kembali buket itu di atas meja, kapan dia mengirimnya, dari mana dia tahu kalau aku udah berangkat kerja hari ini?
Udah lah, aku melanjutkan pekerjaan yang kemarin tertunda. Laporan-laporan menumpuk, hingga menyibukkanku sampai siang.
Tok... Tok... Tok...
Pintu diketuk. Aku mempersilahkan dia masuk. Ternyata Mas Afid, salah satu office boy di kantor ini.
"Ada apa, Mas Afid?" Tanyaku.
"Maaf, Bu. Tadi saya yang meletakkan buket itu, ada tukang bunga yang mengantarkan. Tadi saya belum bilang sama Ibu. Ketika Ibu datang, saya langsung masuk ke ruangan Ibu dan menaruh buket itu di atas meja. Tukang bunga berpesan demikian pada saya." Katanya sopan.
"Oh, ya Mas. Makasih ya."
Mas Afid pun pamit mohon diri untuk melakukan tugasnya lagi. Dia yang kuberi tugas untuk membersihkan ruanganku sebelum dan setelah aku bekerja.
Keesokan harinya, kembali ada buket bunga mawar. Kali ini berwarna merah, masih dengan pengirim yang sama.
Aku menelpon nomor gawainya saat jam kerja, entah dia sedang sibuk atau entah sedang apa, dia harus mengangkat teleponku.
Tuuut...
"Halo," Suara lelaki di seberang sana membuatku bergetar. Kutepiskan rasa itu.
"Halo, ga usah lah kamu kirim-kirim bunga lagi. Aku udah sembuh." Kataku tanpa memperdulikan apa yang sedang dia lakukan di sana.
"Iya." Jawabnya singkat.
Aku segera menutup telepon mengakhiri pembicaraan yang kurasa cukup jelas.
Gawaiku berbunyi, ada pesan darinya
Si Jahat
[Singkat amat teleponnya]
Kembali aku abaikan pesannya. Aku beralih lagi ke pekerjaanku.
berharap anaknya ga cacat semoga, berkali-kali mencoba digugurin 😌😩