"Awas ya kamu! Kalau aku udah gede nanti, aku bikin kamu melongo sampai iler kamu netes!" teriak Mita.
" Hee… najisss! Ihh! Huekk" Max pura-pura muntah sambil pegang perut.
Maxwel dan Mita adalah musuh bebuyutan dari kecil sayangnya mereka tetangga depan rumah, hal itu membuat mereka sering ribut hampir tiap hari sampai Koh Tion dan Mak Leha capek melerai pertengkaran anak mereka.
Saat ini Maxwel tengah menyelesaikan studi S2 di Singapura. Sementara Mita kini telah menjadi guru di sma 01 Jati Miring, setelah hampir 15 tahun tidak pernah bertemu. Tiba-tiba mereka di pertemukan kembali.
Perlahan hal kecil dalam hidup mereka kembali bertaut, apakah mereka akan kembali menjadi musuh bebuyutan yang selalu ribut seperti masa kecil? Atau justru hidup mereka akan berisi kisah romansa dan komedi yang membawa Max dan Mita ke arah yang lebih manis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tom and jerry
"Max, kamu udah bilang sama Mak Leha soal pesenan peyek Papah tadi?"
Suara Koh Tion terdengar begitu Max baru saja melangkah masuk ke ruang depan.
Max langsung menepuk jidat. "Astaga, Pah! Aku lupa!"
"Aduh, kamu ini gimana sih? Itu yang penting justru dilupain! Terus kamu lama-lama di rumah Mak Leha ngapain?"
Nada Koh Tion mulai meninggi, tapi lebih ke arah gemas daripada marah sungguhan.
"Ya nyampein titipan Papah ke Mita lah." jawab Max santai, membuka sandal dan meletakkannya sembarangan di dekat pintu.
"Giliran urusan sama Mita aja yang diinget, pesenan peyek malah lupa!"
Koh Tion menatap anaknya sambil menghela napas berat.
"Iya, Pah… nanti aku bilangin Mak Leha, kok."
"Kapan?" tanya Koh Tion cepat, matanya menyipit penuh curiga.
"Besok."
"Besok-besok, gak ada! Malam ini juga."
Max mendesah panjang sambil mengacak rambutnya sendiri. "Astaga, Pah, udah malam begini. Mak Lehanya juga pasti udah tidur."
"Gak peduli! Pokoknya malam ini titik." Koh Tion bersikap seperti anak kecil yang keras kepala.
Max mengangkat tangan tanda menyerah. "Ya ampun, iya-iya deh. Aku chat aja Mitanya, biar dia sampaikan ke Mak Lehanya. Puas?"
Koh Tion tersenyum lebar. "Nah, gitu dong. Baru anak Papah!"
Max cuma menggeleng, lalu naik ke lantai dua sambil bergumam, "Anak Papah tapi disuruh ngurus peyek tengah malam juga... luar biasa."
Begitu sampai di kamar, Max langsung menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Ia menatap langit-langit sebentar, lalu meraih ponsel di nakas.
Layarnya menyala, jempolnya cepat membuka Instagram dan mengetik nama mita_aja
> Maxwel: Mit, Papahku pesen peyek 10kg. Bilangin ke Mak Leha ya.
Pesan terkirim.
Max meletakkan ponselnya, menarik selimut, dan menguap panjang.
Tak butuh waktu lama, matanya terpejam. Kamar hening, hanya terdengar dengusan napasnya yang mulai teratur.
.
.
.
Pagi hari menyambut rumah Mak Leha dengan aroma gurih yang menari dari arah dapur. Suara minyak yang berdesis berpadu dengan wangi nasi goreng kampung memenuhi udara. Mita tampak cekatan mengaduk nasi di dalam wajan besar, wajahnya cerah diterpa cahaya pagi yang menembus jendela dapur.
"Nah, sudah siapp!" serunya penuh semangat sambil menuang nasi goreng ke dalam mangkuk melamin hijau kesayangan Abahnya.
"Wah, kayanya enak nih" goda Abah Adul sambil mendekat.
"Wih, jelas dong! Siapa dulu yang masak?" sahut Mita, menyeringai bangga.
Mereka pun duduk bersama di meja makan sederhana, menikmati sarapan sambil sesekali saling lempar gurauan kecil.
Sambil mengunyah, Mita membuka ponselnya dan membalas pesan-pesan yang masuk. Namun, matanya tiba-tiba terbelalak begitu membaca satu pesan di layar. Alisnya naik sebelah, dan pandangannya beralih ke arah Mak Leha yang sedang asyik menyuap nasi goreng dengan tenang.
"Mak, Koh Tion pesen peyek… sepuluh kilo" katanya santai tapi cukup membuat suasana berubah.
"Uhukk! Uhukkk!"
Mak Leha langsung tersedak, buru-buru meraih gelas di depannya. "Apa? Buset! Itu Koh Tion mau buka warung apa, Mit?"
Mita mengangkat bahunya cuek. "Tau deh, Mita juga gak ngerti."
Abah Adul yang dari tadi mengamati hanya terkekeh kecil sebelum menatap Mita dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Kamu mau ke mana pagi-pagi udah rapi aja, Nak? Dandan segala."
"Oh, ini…" Mita tersenyum sambil merapikan bajunya "mau pergi sama Koh Tion."
"Hah?!"
Suara Mak Leha langsung naik satu oktaf. "Kamu ada hubungan apa sama Koh Tion, Mit? Jangan-jangan kamu mau jadi ibu sambungnya Maxwel, ya?!"
"Ih, enak aja, Mak! Ngomongnya gak disaring dulu!" protes Mita dengan mata melotot dan pipi merona.
Mak Leha mendengus pelan, setengah bercanda setengah curiga. "Ya kan Mamak cuma nanya, siapa tahu beneran."
Mak Leha menyingkirkan piringnya yang sudah bersih ke samping lalu menatap Mita dengan alis sedikit terangkat.
"Terus, ada apa kamu pergi sama Koh Tion?" tanyanya, kali ini dengan nada lebih serius.
"Tadi malam Max bilang kalau Koh Tion minta tolong Mita buat bantuin pilih warna konter barunya" jawab Mita santai sambil menyeruput teh hangat di depannya.
"Oh iya ya, Abah baru inget" sela Abah Adul sambil mengangguk pelan. "Konter di depan itu udah mau jadi, kan? Besar juga tuh, Mit."
"Iya, Bah" sahut Mita ringan.
Mak Leha yang dari tadi belum puas menatap anak gadisnya kembali membuka suara, "Mit, kalau menurut Mamak, nanti coba deh kamu bilang sama Koh Tion. Siapa tahu kamu bisa ikut kerja di sana, gitu. Masuknya malam aja, lumayan nambah uang jajan."
Mita langsung mendengus. "Ih, ngapain, Mak? Kerjaan Mita aja udah banyak. Ini aja untung-untung ada hari libur, jadi bisa napas bentar. Kalau harus kerja malam juga, bisa-bisa Mita tepar!"
Mak Leha tertawa kecil, tapi tatapannya tetap lembut. Ia tahu anaknya keras kepala, tapi juga rajin dan bertanggung jawab. Selama ini Mita memang bukan hanya seorang guru, ia juga punya pekerjaan sampingan sebagai penulis novel dan komik. Penghasilannya lumayan, bahkan cukup untuk menabung dan membantu orang tuanya.
Setiap bulan, sebagian gajinya diserahkan pada Mak Leha, meski sang ibu kerap menolak.
"Udah, simpen aja buat kamu" begitu kata Mak Leha setiap kali. Tapi Mita selalu bersikeras—baginya, memberi pada orang tuanya adalah bentuk kebahagiaan tersendiri.
Setelah selesai sarapan, Mita bangkit dari kursinya. Ia menuju kamar, melihat wajahnya di cermin, dan tersenyum kecil. Tangannya refleks memeriksa gigi.
"Kan gak lucu kalau pas ketawa ada cabe nyelip" gumamnya sambil nyengir sendiri. "Bisa-bisa jadi bahan ledekan si Max."
Ia tertawa pelan, lalu mengambil sling bag dari belakang pintu. Setelah memastikan semuanya lengkap, Mita melangkah ke luar kamar. Di ruang tengah, Mak Leha sedang duduk santai di depan TV, matanya fokus ke sinetron pagi.
"Mamak, Mita berangkat dulu, ya" ucapnya sambil menyalami tangan ibunya.
"Iya, hati-hati di jalan, Mit" sahut Mak Leha tanpa menoleh. Tapi kemudian ia menambahkan cepat, "Oh iya, Mak mau titip ayam Richeese, ya. Pake uang kamu dulu, nanti Mak ganti."
Mita mendengus kecil sambil tersenyum. "Hmm, iya deh Mak…"
Ia melangkah keluar rumah, masih dengan senyum kecil di wajahnya antara geli, gemas, dan sayang pada tingkah ibunya yang khas.
Gayanya mau ganti. Tiap hari juga gitu, mau ganti-ganti... eh, ujung-ujungnya mamak ganti pakai doa aja ya mit, gitu katanya.
"Mita pergi dulu, Mak!" serunya dari depan pintu.
"Iya, jangan lupa ayam Richeese-nya ya, Mit!" balas Mak Leha tanpa menoleh dari sinetron.
"Iya, Mak... ya Allah. Assalamu’alaikum!"
"Wa’alaikumussalam!"
Mita melangkah keluar rumah dengan langkah ringan. Udara pagi masih sejuk, dan di seberang jalan sudah terparkir mobil putih dengan suara mesin yang meraung halus. Dari dalam, Koh Tion melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.
"Mit! Ayo, kita berangkat!" teriaknya riang—gayanya benar-benar seperti bapak yang lagi jemput anak pulang sekolah.
Mita tersenyum kikuk, agak canggung tapi tak enak hati juga.
"Eh, iya, Koh" sahutnya pelan sebelum membuka pintu belakang dan duduk di kursi penumpang.
Di kursi depan, ternyata Max sudah duduk di balik kemudi.
Yah, lengkap sudah penderitaanku pagi ini... batin Mita sambil menarik napas pelan.
Koh Tion duduk di sebelah Max dengan santai. Katanya, dia lebih nyaman menyetir di luar kota. Kalau di kota besar, dia agak trauma karena pernah hampir diserempet truk besar. Jadilah Max yang nyetir kali ini.
Suasana di dalam mobil terasa... canggung. Hanya suara radio yang terdengar pelan, sesekali diselingi obrolan ringan Koh Tion.
"Mit, nanti kalau konternya udah jadi, kamu mau bantu Koh Tion jaga toko gak?" tanyanya sambil menoleh ke belakang. "Malam aja, biar gak ganggu kerjaan kamu di sekolah."
Belum sempat Mita menjawab, Max langsung nyeletuk dari depan,
"Pah, mitanya gak mau, jangan dipaksa."
Koh Tion menoleh ke arah anaknya dengan nada menggoda.
"Lho, Papah kan cuma nawarin. Kalau kamu mau sekalian aja, kalian berdua bisa jaga toko bareng-bareng."
Max langsung menghela napas keras.
"Ih, ogah banget aku jaga toko berdua sama dia" gumamnya, bahunya terangkat malas, tapi matanya tetap fokus ke jalan.
Mita memutar bola matanya kesal, Idihh, sok kali lah kamu, Max! Kamu pikir aku mau berduaan sama kamu? Mending aku berduaan sama setan sekalian batin Mita sambil melirik kesal dari kursi belakang.
"Kamu jangan ogah-ogahan begitu" sela Koh Tion dari depan, nada suaranya setengah menegur tapi tetap hangat. "Kalian itu udah temenan dari kecil loh."
"Ckk" Max mendengus, matanya masih fokus ke jalan. "Sejak kapan, Pah, kami temenan?" katanya ketus sambil sedikit menoleh ke belakang.
Tatapan mereka bertemu sesaat—Mita menatap dengan wajah sinis, Max membalas dengan smirk menyebalkan yang bikin darah Mita naik setengah derajat.
"Yang ada tuh kami musuh bebuyutan, Pah" lanjut Max, nada suaranya penuh penekanan.
Mita mendengus pelan sambil menyilangkan tangan di dada. Ying idi tih kimi misih bibiyitin pih, ejek mita bibirnya udah perot kayak jembatan
Koh Tion hanya menghela napas panjang, bibirnya tersenyum kecil melihat dua anak muda di mobilnya saling nyolot tapi diam-diam tampak akrab.
"Dasar tom and jerry"