Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Sisa Rasa
Reina berdiri di depan cermin kamar tidurnya, menyisir rambut perlahan. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya menyimpan api lama yang belum padam.
Di meja rias, tersusun beberapa foto lama. Salah satunya adalah potret kecil saat ia, Icha, dan Albar masih satu kelompok kelas waktu SMP. Mereka tersenyum dalam foto, bahu saling bersentuhan. Namun hanya Reina yang tahu, senyum di fotonya palsu.
Semenjak dulu, Reina menyukai Albar. Tapi Albar hanya punya mata untuk satu orang: Icha.
Bahkan ketika Reina yang lebih dulu mendekat, membantu Albar ngerjain tugas, ngajarin biola dasar, atau sekadar kirim sarapan lewat koperasi sekolah... tetap saja cowok itu tak pernah berpaling.
“Gue gak ngerti kenapa harus Icha...” bisik Reina pada pantulan dirinya di cermin. “Dia biasa aja. Nyebelin. Gak pernah ngerti apa yang dia punya.”
Kenangan itu seperti luka yang tidak sembuh. Setiap kali Albar menyebut nama Icha dengan nada antusias, hati Reina mengkerut. Ia menyaksikan semuanya dari balik bayang-bayang, dari balik “teman” yang pura-pura baik.
Dan kini, saat Albar menjauh dari Icha, Reina melihat kesempatan. Ia tidak akan biarkan Icha kembali menguasai panggung. Tidak lagi.
“Sekarang giliran gue bersinar,” gumamnya sambil tersenyum puas.
Di studio musik, Albar sedang mencoba nada gitar akustik barunya. Sesekali ia melirik ke arah Nayla yang duduk tak jauh, menggulung kabel mic.
“Kita cocok juga ya,” kata Nayla sambil tersenyum. “Lo ngerti tempo gue, gue ngerti gaya main lo.”
Albar mengangguk. “Iya, lo cepet nangkep ide musik gue. Jarang-jarang.”
Namun senyumnya tidak sampai ke mata. Entah kenapa, pikirannya tidak sepenuhnya ada di ruangan itu.
Teringat tatapan Icha saat ia melihatnya dari balik jendela kafe beberapa hari lalu. Diam-diam, Albar menyadari kehadirannya.
Ia pura-pura tidak lihat. Tapi detik itu, jantungnya berdebar tak karuan.
“Kenapa lo diem?” tanya Nayla.
“Enggak,” jawab Albar cepat. “Gue cuma... kepikiran soal lirik lagu buat lomba nanti.”
Padahal bukan itu. Ia mulai merasa aneh sendiri. Kenapa Icha mendadak muncul? Kenapa tatapan mata cewek itu tampak... kosong, seperti menahan sesuatu?
Dan yang lebih membingungkan: kenapa ia malah kepikiran terus?
Sementara itu, Icha duduk di bangku taman belakang rumahnya. Ponsel di tangannya menyala, menampilkan foto terbaru di akun komunitas sekolah: Albar dan Nayla terlihat akrab dalam sesi latihan.
Komentar dari para siswa mengalir deras. Ada yang mendukung, ada yang sekadar ingin tahu. Tapi salah satu komentar mencuri perhatian Icha:
“Akhirnya Albar move on dari si ketus itu ya...”
Si ketus.
Icha menggigit bibir bawah. Ia sadar julukan itu ditujukan untuknya.
Rasa panas menjalar di dada.
Tiba-tiba ponsel bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rayan.
Rayan: “Cha, lo sibuk? Mau ngobrol bentar?”
Icha ragu. Tapi ia membalas.
Icha: “Di taman belakang rumah. Sini aja kalau mau.”
Beberapa menit kemudian, Rayan muncul, membawa dua kaleng soda.
“Keliatan suntuk banget, lo,” ujarnya sambil duduk.
Icha tertawa hambar. “Mungkin emang lagi gak waras.”
Mereka terdiam beberapa saat sebelum Rayan berkata pelan, “Gue tahu ini aneh, tapi... lo masih mikirin Albar, ya?”
Icha tak menjawab.
Rayan melanjutkan, “Gue cuma pengin bilang, meskipun dia lagi deket sama Nayla, bukan berarti semua udah terlambat.”
Icha menoleh cepat. “Lo tahu Nayla?”
“Gue dengar-dengar dari temen. Reina yang sebar-sebar videonya, kan?”
Icha mengangguk lemah.
Rayan meminum sodanya, lalu menatap langit. “Gue gak ngerti kenapa Reina kayak gitu. Tapi dari dulu dia emang keliatan... iri.”
Icha menoleh cepat. “Iri? Sama gue?”
Rayan tertawa sinis. “Cha... lo emang kadang gak sadar. Tapi lo itu pusat perhatian dari dulu. Banyak yang suka lo, termasuk orang-orang yang lo kira cuek.”
Icha menunduk, merasa tak nyaman. Ia tidak suka disorot. Ia hanya ingin hidup biasa, jauh dari gosip.
“Tapi gue gak minta semua ini,” ucap Icha pelan.
“Kadang gak semua orang dapet yang dia mau. Tapi ada juga orang yang gak sadar udah dapet sesuatu yang orang lain pengin banget,” kata Rayan.
Ucapan itu menusuk. Icha tahu, bukan hanya soal Reina dan Albar. Tapi juga soal Rayan. Cowok itu suka padanya, tapi Icha terlalu sibuk mengejar bayangan yang dulu ia tolak.
Dan mungkin sekarang... sudah terlambat.
Atau belum?
Di tempat lain, Albar menyendiri di taman dekat rumahnya. Gitar di pangkuannya, jemarinya menyentuh senar pelan.
Ia membuka ponselnya. Menelusuri galeri foto lama.
Dan satu foto berhenti di layar—foto Icha yang tertidur di taman sekolah, waktu mereka dulu dihukum bareng karena datang telat. Wajah Icha damai, dan saat itu Albar diam-diam mengambil gambar.
Ia tersenyum miris.
“Gue beneran suka sama lo dari dulu, Cha...” bisiknya pelan.
Mungkin ia perlu waktu untuk menyadari.
Tapi sekarang, ketika jarak terbentang...
Rasa itu mulai terasa.