NovelToon NovelToon
Wild, Wicked, Livia !!!

Wild, Wicked, Livia !!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Gadis nakal / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Mengubah Takdir
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.

Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.

Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.

Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 13 Konflik

Mobil Narendra melaju pelan melewati jalanan kota yang mulai padat. Veronica duduk di kursi penumpang dengan rapi, memandangi kuku barunya yang dipoles warna nude elegan. Sesekali ia tersenyum puas, seolah dunia berjalan sesuai keinginannya.

Narendra, di balik kemudi, hanya diam.

Wajahnya berusaha netral, tapi pikirannya tidak.

Di kepalanya, adegan di salon berulang, Livia yang duduk tenang, jarum tato menyentuh kulitnya, pergelangan tangan yang memar… wajahnya yang menahan sesuatu yang tak terlihat.

Narendra menelan napas. Ia mengencangkan genggaman di setir.

“Kenapa kamu diam terus?” tanya Veronica sambil memperhatikan suaminya dari ekor mata.

“Aku hanya capek aja.” jawab Narendra singkat.

“Seharusnya kamu tidur lebih awal kalau tahu harus bangun pagi.”

Nada Veronica mengandung kritik halus, dengan senyuman tipisnya.

Narendra hanya mengangguk pelan.

Tidak menjawab lebih.

**

Begitu sampai di rumah, pelayan rumah tangga segera menyambut dan membukakan pintu. Veronica mengulurkan tangan menunggu Narendra turun dan membantunya.

Narendra keluar dari mobil, berjongkok, kemudian membantu istrinya turun dengan gerakan telaten seperti biasa. Ia mengangkat tubuh Veronica perlahan sebelum menurunkannya ke kursi roda, memastikan sang istri nyaman.

“Terima kasih,” ucap Veronica, nadanya manis tapi datar, layaknya ucapan yang sudah terlalu sering diulang tanpa rasa.

Narendra hanya mengangguk.

Keduanya masuk ke rumah besar itu, rumah megah dengan interior modern, tetapi tak pernah benar-benar terasa hangat bagi Narendra.

Veronica memanggil pelayan.

“Tolong siapkan camilan sore. Dan teh hangat.”

“Baik, Bu.”

Narendra melepaskan jaketnya, meletakkannya di sandaran sofa. Ia merenggangkan leher, namun pikirannya kembali kabur… pada Livia.

“Kenapa kamu terlihat tidak fokus?”

Suara Veronica tiba-tiba terdengar dari belakang, lebih tajam.

Narendra menoleh, tersentak kecil.

“Tidak ada apa-apa.”

“Dari tadi kamu seperti melamun.”

Veronica memelototinya. “Ada masalah di kantor? Atau sesuatu terjadi?”

Narendra menimbang sejenak sebelum menjawab.

Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya.

Tidak mungkin mengatakan: Aku melihat karyawan di kantorku membuat tato baru untuk menutupi luka yang dibuat oleh lelaki brengsek, dan entah kenapa itu mengganggu pikiranku sepanjang hari.

“Tidak. Aku hanya lelah,” ulang Narendra.

Veronica menghela napas panjang.

Ia tidak puas, tapi ia memilih untuk tidak menggali lebih jauh.

“Kalau begitu, nanti malam tidurlah lebih cepat,” katanya sambil mendorong kursi rodanya masuk lebih dalam ke rumah.

Narendra hanya berdiri di ruang tamu, membiarkan Veronica berlalu.

Di kepalanya, satu wajah masih melekat.

Dan ia tidak bisa mengusirnya.

Livia.

 

Narendra dan Veronica sedang bersiap menuju ruang makan ketika suara bel rumah berbunyi. Seorang asisten rumah tangga segera membukanya, dan di ambang pintu, berdiri seorang wanita elegan berusia awal enam puluhan, dengan rambut disanggul rapi, perhiasan sederhana namun terlihat mahal.

Naraya Adisti.

Ibunda Narendra.

Wanita yang membawa aura dominan di setiap langkahnya.

Narendra sontak bangkit. “Mama?”

Naraya tersenyum tipis, senyum khas wanita sosialita yang jarang benar-benar tulus namun selalu berkelas.

“Apa Mama tidak boleh mengunjungi anaknya sendiri di akhir pekan?” katanya sambil melangkah masuk tanpa menunggu undangan.

Veronica cepat menghampiri, mencium tangan Naraya. “Halo Mama Naraya, senang sekali Mama datang. Tadi aku sempat kirim pesan tapi mungkin Mama belum baca.”

Naraya hanya mengangguk, matanya singgah ke seluruh ruangan rumah mewah itu, seolah memeriksa, menilai, seperti kebiasaan lamanya.

“Mama tadi kebetulan lewat usai menghadiri brunch dengan teman-teman,” jelas Naraya sambil melepas mantelnya yang langsung diambil oleh ART. “Pikirku, mengapa tidak sekalian mampir.”

Narendra membantu ibunya duduk di ruang tamu.

“Ada perlu apa? Biasanya Mama menghubungi dulu.”

Naraya menatap putranya dengan tatapan tegas namun hangat.

“Narendra, Mama hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Kata Papa, Kamu terlihat… letih akhir-akhir ini.”

Narendra terdiam sejenak. Ada banyak kata di kepalanya, tentang Livia, tentang kekacauan emosinya, tapi tak satu pun yang bisa ia ucapkan.

Veronica menyela dengan cepat, suaranya dibuat manis.

“Ah, Mas Narendra memang sedang sibuk di kantor, Ma. Banyak proyek baru.”

Naraya mengangkat satu alisnya, sebuah gerakan kecil tapi tajam.

“Sibuk berlebihan tidak baik, Ver. Kamu sebagai istri harus menjaga suamimu, jangan hanya sibuk dengan perawatanmu saja.”

Veronica tercekat, tersenyum kaku.

“Y-ya Ma… tentu.”

Narendra menatap istrinya sekilas, lalu ibunya, mencoba menengahi.

“Mama mau makan malam di sini? Kita bisa sambil ngobrol.”

Naraya tersenyum. “Tentu. Sudah lama kita tidak makan bersama. Mama ingin mendengar banyak hal… terutama tentang kalian berdua.”

Ada penekanan halus pada kata kalian berdua, membuat suasana tiba-tiba terasa lebih tegang.

Narendra mencoba tersenyum, meski hatinya justru semakin gelisah. Kehadiran Naraya selalu seperti ini, hangat namun mengintimidasi, penuh kasih tapi penuh kendali.

Dan malam ini, ia datang dengan mata yang terlalu tajam untuk suasana hati Narendra yang sedang kacau.

Meja makan dipenuhi hidangan hangat yang sudah disiapkan oleh ART. Veronica berusaha memulai percakapan ringan tentang kegiatan Naraya tadi siang, namun Naraya tampak hanya menjawab seperlunya.

Suasana berjalan normal… sampai Naraya meletakkan sendoknya perlahan, suara logam kecil itu terdengar jelas di tengah keheningan.

“Narendra…”

Naraya menatap putranya, lalu mengarahkan pandangannya ke Veronica.

“Kalian sudah menikah hampir lima tahun. Mama rasa sudah saatnya kalian memikirkan momongan dengan serius.”

Narendra terlihat kaku. Veronica sedikit menunduk.

Veronica mencoba tersenyum, memilih kata-kata hati-hati,

“Ma, kondisi aku sekarang masih belum stabil untuk hamil. Dokter juga menyarankan untuk menunda dulu… dan pekerjaan aku juga sedang—”

Naraya memotongnya dengan tajam.

“Sampai kapan mau menunda, Ver? Mama sudah sering dengar alasan seperti ini. Waktu kamu masih sehat pun kamu bilang ingin fokus karier dulu.”

Veronica tercekat. Senyum di wajahnya hilang perlahan.

“Ma…” Narendra akhirnya bersuara, mencoba menenangkan. “Ini bukan hal yang bisa dipaksakan. Dokter bilang—”

Naraya mengibaskan tangannya pelan namun tegas.

“Dokter bilang apa yang kamu ingin dengar. Tapi kamu itu anak tunggal, Ren. Apa kamu tidak berpikir tentang masa depan keluarga ini? Kamu sudah matang, sudah mapan, punya rumah sebesar ini… tapi tanpa penerus keluarga?”

Suasana meja makan mengeras seperti kaca tipis yang siap pecah.

Veronica menelan ludah, berusaha mempertahankan martabatnya.

“Aku bukan menolak punya anak, Ma. Tapi untuk sekarang kondisiku—”

“Veronica,” Naraya memandangnya tajam, nadanya dingin tapi tetap sopan.

“Kamu itu istri. Menjaga tubuhmu, menjaga kesehatanmu, itu kewajibanmu. Kalau dari dulu kamu tidak terlalu memaksakan diri dengan kerja dan karirmu itu, pasti sekarang kondisimu lebih baik.”

Wajah Veronica memucat. Ia tampak sangat tersinggung, tapi tidak berani membalas.

Narendra mengepal tangan di bawah meja.

“Mama, cukup.”

Tegas, tapi tanpa meninggikan suara.

Naraya tidak melihatnya sebagai bentakan, hanya sedikit tersenyum, seolah Narenda mengatakan tepat apa yang ia harapkan.

“Mama hanya ingin kamu bahagia, Narendra. Kamu layak punya keluarga lengkap. Dan Veronica…” Ia melirik sekilas.

“Kamu juga harus mulai berubah. Kamu bukan gadis muda lagi yang bisa memilih seenaknya. Kamu istri dari seorang pria yang harus punya keturunan.”

Hening tebal menyelimuti ruangan.

Veronica menunduk dengan mata yang sudah memerah menahan amarah dan malu.

Narendra memijit pelipisnya, merasa malam itu semakin panjang.

Naraya?

Ia hanya meneruskan makan malamnya dengan elegan dan tenang, seolah baru saja tidak meledakkan bom kecil di meja makan.

 

Begitu mobil Naraya meninggalkan halaman rumah, suasana langsung berubah tajam. Veronica yang sejak tadi menahan diri di meja makan akhirnya meminta Art membantunya masuk ke kamar tanpa menunggu Narendra. Suara pintu kamar dibanting keras.

“Narendraaa!!”

Teriakan itu menggema sebelum Narendra sempat menyusul.

Veronica melempar bantal, kotak perhiasan, bahkan parfum mahalnya yang berjatuhan ke karpet.

“Aku muak! MUAK!! Kenapa mama kamu selalu menyalahkan aku?!”

Narendra menutup pintu kamar perlahan, mencoba tetap tenang.

“Ver, sudahlah… jangan seperti ini.”

“Tentu saja kamu bilang begitu!” Veronica menatap Narendra dengan mata berkaca tapi penuh amarah. “Kamu duduk diam saja dan membiarkan dia menghinaku seolah aku tidak berguna!”

Narendra menarik napas berat. “Aku sudah coba hentikan tadi.”

“Coba? Coba?!” Veronica memukul dadanya sendiri dengan frustasi. “Kamu tahu rasanya jadi aku? Dibilang tidak becus jadi istri? Seolah aku ini beban?”

Narendra mendekat, mencoba meraih bahunya.

Veronica menepisnya.

“Kamu pikir aku mau kondisiku seperti ini ?! Kamu pikir aku senang begini??” suaranya melengking, pecah.

“Aku tidak minta lumpuh, Ren! Aku tidak minta hidup di kursi roda! Kamu pikir aku tidak hancur setiap hari mengingat itu?!”

Narendra langsung terdiam. Kata-kata itu menusuk jauh lebih dalam daripada teriakan mana pun.

Veronica gemetar, air mata akhirnya jatuh.

“Aku sudah kehilangan karirku. Aku sudah kehilangan tubuhku. Sekarang mama kamu mau membuatku merasa aku bahkan kehilangan harga diriku sebagai istri?!”

Narendra menelan ludah, mencoba menahan emosinya sendiri.

“Veronica…”

Ia duduk di sampingnya perlahan.

“Aku tidak pernah menganggapmu kurang. Tidak pernah. Kamu istriku. Aku tetap di sini bukan karena kewajiban, tapi karena aku—”

“CINTA?!” Veronica memotong cepat, matanya merah.

“Kalau kamu cinta aku, kamu sudah membela aku habis-habisan tadi!”

Narendra menutup mata sejenak.

Perang batin di dalam dirinya terasa semakin berat.

“Ver… Mama tidak bisa dikendalikan. Kamu tahu itu. Dan aku hanya ingin menghindari pertengkaran yang lebih besar.”

Veronica tertawa getir. “Pertengkaran? KAMU malu, Narendra. Kamu malu membelaku karena kamu tahu omongan mamamu ada benarnya. Kamu juga ingin punya anak, kan? Katakan saja!”

Narendra terdiam.

Diam… yang bagi Veronica terasa lebih menyakitkan daripada kata apa pun.

Veronica tersedu, membalik tubuhnya, menutupi wajah.

Keluar dari mulutnya suara lirih penuh luka:

“Kamu ingin aku berubah… tapi aku bahkan tidak bisa berjalan, Ren…”

Narendra memejamkan mata, menahan rasa bersalah yang menyesakkan.

Ia akhirnya mendekat dan memeluk bahu Veronica, meski Veronica masih kaku—tidak membalas, tidak menolak sepenuhnya.

“Ver… Tenanglah aku tidak akan meninggalkanmu,” bisik Narendra rendah.

“Tidak sekarang, tidak nanti.”

Tapi di balik kata-kata itu, hatinya terasa rumit…

Sangat rumit.

Karena dalam hatinya, Ia sadar sesuatu dalam dirinya sudah mulai berubah.

...🥂...

...🥂...

...🥂...

...Bersambung......

1
kalea rizuky
jangan jd pelakor
septi fahrozi
semakin penasaran jadinya ngapain mereka... 🤣🤣
Priyatin
ho ho ho kok semakin rumit hubungannya othor😰😰😰
Priyatin
lama kali nunggu up nya thor.
lanjut dong🙏🙏🙏
Wita S
kerennn
Wita S
ayoo up kak...ceritanya kerennnn
Mian Fauzi: thankyou 🫶 tp sabar yaa...aku masih selesain novelku yg lain hehe
total 1 replies
Siti Naimah
ampun deh...belum apa2 Livia sudah mendapat kekerasan dari dimas.sebaiknya sampai disini saja livia.gak usah diterusin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!