Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Ah Lie tiba di depan pintu kamar Storm sambil menoleh ke belakang, memastikan Ah Ming dan Ah Luo yang hampir tiba.
“Tuan Besar! Nyonya! Cepat!” seru Ah Lie panik.
Begitu kedua orang tua itu sampai di depan pintu, suara desahan terdengar dari dalam kamar. Ada suara laki-laki yang tertawa kecil—jelas suara seseorang yang sedang menikmati sesuatu.
“Kurang ajar!” bentak Ah Ming, wajahnya memerah oleh amarah. Ia mengepalkan tangan dan mendorong pintu itu dengan kasar hingga terbuka lebar.
Pemandangan di dalam kamar membuat darahnya mendidih.
“Ah Zhu! Kau tidak tahu malu! Apa kau ingin menjatuhkan nama baik keluarga kita?!” teriak Ah Ming.
Di atas ranjang Storm, dua pria tanpa pakaian sedang menindih seorang wanita, bergerak seolah menikmati setiap sentuhan. Rambut panjang wanita itu terurai berantakan, tubuhnya hanya tertutup selimut tipis.
“Ah Zhu!” jerit Ah Luo yang langsung berlari ke sisi ranjang, tetapi langkahnya langsung terhenti ketika wajah wanita itu terlihat jelas di bawah cahaya lampu.
Matanya membulat besar.
“M-Mimi…?!”
Jeritannya bergema.
“Mimi!”
Tanpa menunggu reaksi apa pun, Ah Luo langsung menampar keras wajah Mimi.
Plak!
Tamparan itu begitu kuat hingga wajah Mimi terpelintir ke samping, membuatnya tersadar dari lamunan tubuh-tubuh yang menekan dirinya.
Sementara itu Ah Ming, yang emosi dan malu bukan main, langsung berteriak,
“Cepat! Datang dan tahan mereka berdua!”
Beberapa pelayan lelaki bergegas masuk dan menarik dua pria itu dari atas ranjang, membuat Mimi terguncang dan terjatuh ke sisi tempat tidur.
“Aaahh!” Mimi menjerit ketika menyadari dirinya… telanjang, hanya ditutupi sebagian selimut Storm.
Ah Lie, yang berdiri di dekat pintu, menatap Mimi dengan mata membesar penuh keterkejutan.
“Ke-kenapa… kenapa yang jadi korban Nona Kedua…?” gumamnya, tidak percaya.
“Apa yang terjadi?!” tangis Mimi pecah, tubuhnya gemetar karena malu dan syok.
“Anak durhaka! Kau memalukan sekali!” bentak Ah Ming dengan wajah merah padam.
Di saat suasana memanas, Storm muncul dengan wajah bingung, Ia memandangi kekacauan di kamarnya—dua pria tanpa pakaian yang sedang ditahan pelayan, Mimi yang tergeletak panik di ranjang, orang tuanya yang marah besar.
“Apa yang… terjadi di kamarku?” tanya Storm dengan nada heran yang dibuat-buat. “Adik, kau… siapa mereka?”
Mimi langsung menunjuk ke arahnya sambil menangis keras.
“Pa! Ma! Dia! Dia yang menjebakku!”
Storm lalu menatap Mimi dengan ekspresi tidak percaya.
“Hei, aku saja dari tadi sedang melihat bulan di luar sana. Dan menurutmu… aku sebodoh itu menjebakmu di kamar aku sendiri?”
“Tentu saja kau yang menjebakku!” Mimi menjerit sambil memegangi selimut. “Kalau bukan kau, mana mungkin aku seperti ini! Kau memberiku obat! Kau membuatku tidak sadar!”
“Pa, Ma! Kalian harus percaya! Dia yang menjebakku!” Mimi memohon putus asa.
Storm mendengus, lalu melipat tangan di dada.
“Kenapa kau mengungkit soal obat, hm? Dari mana kau tahu ada obat? Dan bagaimana kau bisa masuk ke kamarku? Siapa dua pria ini? Aku bahkan tidak kenal mereka.”
Ia melangkah mendekat, tatapannya menusuk.
“Mimi,” katanya pelan namun penuh tekanan, “jangan bilang… kau mengupah mereka untuk menjebakku, tapi pada akhirnya kau sendiri yang terperangkap.”
“Tidak! Tidak!” Mimi berteriak semakin panik. “Sejak awal kau sudah iri padaku! Kau sengaja cari masalah denganku!”
Storm mendengus dingin.
“Kalau bukan karena aku masih menganggapmu adik,” katanya tajam, “sejak aku keluar dari penjara, kau sudah kuusir dari rumah ini.”
Tatapannya berubah tajam dan penuh luka lama.
“Kau menjebakku… sampai aku dituduh sebagai pembunuh. Dan sekarang kau ... masih punya muka untuk berpura-pura jadi korban?”
“A… apa?” Ah Luo menatap Mimi dengan mata melebar, suaranya bergetar. “Ah Zhu… Mimi yang menjebakmu…?”
Keraguan mulai merayapi wajah Ah Luo, sementara Ah Ming mengepalkan tangan, kini bingung siapa yang benar.
“Di meja kamarnya banyak tulisan berantakan dan sulaman yang tidak berhasil!” Mimi menunjuk sembarangan sambil menangis. “Itu semua bukti! Dia berusaha belajar agar terlihat seperti Ah Zhu! Dia meniru kakak hanya untuk menipu kalian!”
Ah Luo menatap Mimi dengan mata melebar—ada kemarahan, ada kekecewaan, ada kebingungan yang tidak mampu ia sembunyikan.
“Mimi… Ah Zhu adalah kakakmu,” ujar Ah Luo dengan suara bergetar. “Sejak kapan kau berubah seperti ini?”
Ia melangkah pelan mendekati Mimi yang masih duduk di ranjang sambil menutupi tubuhnya dengan selimut.
“Selama ini kami tidak pernah menyia-nyiakanmu. Apa yang kakakmu dapat, kami juga berikan padamu. Kau tidak pernah kekurangan kasih sayang.” Ah Luo menggeleng, suaranya mulai pecah.
“Lalu kenapa sekarang kau justru menuduh Ah Zhu seperti ini?”
Sementara itu Storm berdiri mematung, napasnya tertahan.
“Sialan, dia sudah tahu aku tidak bisa menulis dan menyulam," batin Storm.
Storm mencoba menjaga wajah tetap tenang, tapi matanya sempat melirik ke arah meja yang berantakan—tumpukan kertas dengan tulisan kacau, benang kusut, dan kain sulam yang gagal.
Mimi melihat itu dan kembali berteriak, merasa menemukan celah kemenangan.
“Lihat?! Dia bahkan takut! Karena semua bukti ada di kamar ini!” tuduh Mimi.
Ah Ming mengalihkan pandangan ke meja, rahangnya mengeras, tanda mulai ragu.
Ketegangan menebal di udara, sebuah detik panjang yang bisa menjatuhkan Storm… atau Mimi.