NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13. Kesalahan Manis

Elena menyingkap selimut yang menutupi wajahnya. Senyum sisa semalam pun belum pudar. Ingatan yang terjadi antara dirinya dengan Damian kembali berputar di kepalanya. Tentang sentuhan bibir Damian, lalu pria itu yang melepaskan tautan bibir mereka secara tiba-tiba, hingga suaranya yang tergesa mengucap maaf sebelum pergi begitu saja dari apartemennya. Ia terkekeh pelan, menggigit bibir bawahnya.

Jika wanita lain mungkin akan tersinggung karena ditinggalkan begitu saja. Tapi, Elena justru menikmati setiap ketegangan kecil dalam permainan ini.

Ia pun bangkit dari tempat tidur, merapikan tempat tidurnya, lalu melangkah menuju kamar mandi dengan langkah ringan. Segera menyiapkan diri untuk bekerja dan ingin melihat bagaimana wajah Damian nanti ketika bertemu dengannya.

“Pasti akan sangat menyenangkan,” gumamnya, dengan senyuman miring.

Setelah selesai menjalani ritual mandinya, Elena segera memakai pakaiannya, yaitu blus merah marun yang dipadukan dengan rok pensil hitam selutut. Perpaduan sederhana, tapi mampu menonjolkan keanggunan dari tubuhnya.

Di depan meja rias, ia duduk di kursi, menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu memoles wajahnya semenarik mungkin, dan tidak lupa menata rambutnya.

Begitu selesai, ia berdiri, meneliti penampilannya sekali lagi, memastikan tidak ada yang kurang. Bibirnya melengkung membentuk senyum puas sebelum tangannya meraih tas hitam di atas tempat tidur. Ia menyampirkan tas itu di bahunya, lalu berjalan keluar kamar dengan langkah mantap.

......................

Di tempat lain, Damian berdiri di depan deretan jas di walk-in closet miliknya. Namun bukannya memilih, pikirannya malah kembali memutar kejadian semalam. Tentang bagaimana ia hampir kehilangan kendali, lalu kabur begitu saja di hadapan Elena.

Ia mengepalkan tangan, rahangnya menegang.

“Ck, sial!” umpatnya pada dirinya sendiri.

Benteng yang selama ini ia bangun dengan susah payah, justru ia sendiri yang meruntuhkannya. Ia terus merutuki kebodohannya, tapi ia tidak punya waktu untuk menyesalinya lebih lama. Dengan asal, ia pun mengambil jas abu gelap dan kemeja hitam.

Beberapa menit kemudian, Damian sudah berdiri di depan cermin besar. Ia merapikan kerah, memastikan setiap lipatan tampak sempurna. Lalu melangkah ke meja tempat dimana koleksi jam tangan mewahnya tersusun rapi. Pilihannya jatuh pada jam berwarna hitam, senada dengan suasana hatinya pagi ini.

Setelah menguncinya di pergelangan tangan, Damian menarik napas panjang, lalu berjalan keluar menuju lantai bawah, bersiap menghadapi hari yang ia tahu tidak akan semudah hari-hari sebelum kedatangan Elena.

Damian melangkah menuruni anak tangga menuju dapur. Seperti biasa, untuk sarapan.

“Selamat pagi, Tuan,” sapa Jane sopan sambil menata meja makan.

Damian hanya mengangguk singkat, gerakannya tenang tanpa ekspresi. Ia duduk di kursi utama, posisi yang sudah seperti takhta baginya setiap pagi.

Pria itu meneliti makanan yang disajikan Jane di hadapannya. Sepiring roti panggang dengan telur mata sapi, sosis, dan salad yang tersusun rapi di sisi piring. Menu sederhana yang selama ini menjadi sarapan rutinnya.

Namun, kali ini ada yang berbeda.

Ia mengambil garpu, menusuk roti panggang, lalu mencicipinya perlahan. Teksturnya lembut, rasanya pas, tapi entah mengapa lidahnya terasa seperti kehilangan sesuatu.

“Tidak ada yang salah dengan ini,” batinnya.

Ia mencoba menepis rasa aneh yang tiba-tiba muncul. Tapi, semakin ia mengunyah, semakin jelas perbedaan itu terasa.

Ingatannya melayang pada menu sarapan yang Elena buat di dapurnya kemarin. Masakan wanita itu memang mempunyai cita rasa yang sulit dijelaskan, seolah membuat dirinya candu untuk memakannya terus-menerus.

Damian meletakkan alat makannya di atas piring, menarik napas pelan.

Mungkin memang bukan makanannya yang salah. Mungkin, hanya dirinya yang mulai terbiasa dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak seharusnya ia rindukan.

“Apakah tidak enak, Tuan?” tanya Jane ragu, melihat Damian hanya menatap piringnya.

Damian tersadar, menegakkan tubuhnya. Ia menggeleng pelan.

“Tidak,” jawabnya singkat, lalu kembali mengambil alat makannya, mencoba melanjutkan sarapan seolah tidak terjadi apa-apa.

Namun, setiap suapan malah terasa hambar.

Ia berusaha memfokuskan pikirannya pada pekerjaan, pada tumpukan berkas yang menantinya di kantor. Tapi bayangan wajah Elena, senyumnya, dan suara lembutnya saat memanggilnya “Om” terus muncul, tanpa bisa ia usir.

......................

Di kantor, Elena keluar dari lift sambil mengenakan lanyard ID card miliknya di leher. Suara langkah sepatunya beradu lembut dengan lantai koridor, mengiringi tatapannya yang terus tertuju ke ujung lorong, ke arah ruangan Damian berada.

Setibanya di meja sekretaris, ia meletakkan tas hitamnya di atas meja. Namun, matanya justru terpaku pada pintu ruangan Damian yang masih tertutup rapat.

“Apa dia belum datang?” gumamnya pelan, dengan rasa penasaran.

Tanpa berpikir panjang, Elena melangkah menuju ruangan itu. Ia mengetuk pelan, tapi tidak ada jawaban. Pintu tidak terkunci, dan dengan sedikit ragu, ia membukanya.

Begitu masuk, aroma khas parfum Damian langsung memenuhi inderanya. Wangi maskulin yang begitu memabukkan.

Ia menghela napas kecil, lalu tersenyum samar.

Ruangan itu tampak rapi seperti biasanya, hanya ada beberapa berkas yang berserakan di atas meja kerja. Gelas kaca berisi air mineral setengah penuh masih tergeletak di sana, bersama pena yang diletakkan tergesa.

“Sepertinya kemarin dia lupa membereskan semuanya,” gumamnya, lalu mendekat.

Ia mulai menata dokumen satu per satu, menyusun rapi dengan ketelitiannya. Tangannya kemudian bergerak menyeka permukaan meja menggunakan tisu dari laci, gerakannya lembut dan teratur, seperti sedang menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang perhatian pada setiap pekerjaan.

Matanya sempat berhenti pada kursi kerja Damian. Ia menatapnya lama dan membiarkan jemarinya menyentuh sandaran kulit kursi yang dingin.

“Di sinikah Damian duduk sambil memikirkan banyak hal?” ujarnya, lalu duduk dengan tenang, seolah kursi itu adalah miliknya.

Bayangan semalam kembali berkelebat di pikirannya. Bibirnya melengkung, senyum kecil muncul tanpa sadar saat mengingat wajah Damian yang sekuat tenaga berusaha untuk menahan diri.

Namun, sebelum ia sempat tenggelam dalam pikirannya sendiri, suara pintu ruangan itu terdengar terbuka.

Elena refleks menoleh.

Damian berdiri di ambang pintu, dengan jas abu-abu gelap yang baru dikenakan. Tatapannya langsung tertuju pada sosok Elena yang duduk di kursi kebesarannya.

Elena buru-buru bangkit, dan menepi dari meja kerja Damian. Tangannya ia genggam di depan tubuhnya, kepalanya menunduk, berusaha tampak sopan meski jantungnya berdebar karena kebahagiaan.

Damian melangkah mendekat, melewati tubuh Elena. Matanya sempat melirik meja kerjanya yang kini sudah tertata rapi. Ia tidak perlu bertanya siapa yang melakukannya. Hanya satu orang yang cukup berani menyentuh ruang pribadinya.

Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya duduk di kursi kerjanya.

Elena melirik sekilas dan tersenyum miring, “Tuan Damian, maafkan aku.”

Damian menatapnya tidak percaya, “Tuan Damian? Kemarin kau masih memanggilku Om.”

Elena mengangkat kepala, menatap langsung ke arah mata pria itu. Tatapan yang berhasil membuat Damian sedikit kehilangan keseimbangan.

“Aku sudah memutuskan. Untuk di kantor, aku akan memanggil Om dengan sebutan Tuan. Tapi di luar kantor, aku akan tetap memanggilmu Om.”

Damian menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, “Untuk apa bersusah payah seperti itu? Lagipula, di luar kantor kita juga jarang bertemu.”

Elena menaikkan sebelah alisnya, “Om yakin?”

Damian berdehem, buru-buru memalingkan pandangan ke arah lain, “Masalah semalam... aku minta maaf.”

Senyum penuh kemenangan muncul di bibir Elena. Ia menahan tawa, namun akhirnya gagal, tawanya terdengar ringan tapi cukup untuk membuat Damian kembali menatapnya.

“Kenapa kau tertawa?” tanyanya, nada suaranya setengah gugup.

“Ayolah, Tuan Damian,” ucap Elena dengan lembut, “Tuan bukan pria muda lagi, jadi untuk apa canggung padaku? Tidak apa, lagipula...” Elena menatapnya dalam, “Aku juga menikmatinya.”

Damian terdiam, entah kenapa ucapan wanita itu terdengar begitu nakal di telinganya.

“A-apa yang kau katakan?” Damian terbata.

Elena kembali tersenyum, kali ini tulus, tapi mengandung sesuatu yang tidak bisa Damian baca.

“Intinya, masalah semalam tidak akan aku permasalahkan. Kalau begitu, aku keluar dulu untuk menyiapkan kopi,” ujarnya, lalu berbalik meninggalkan ruangan.

Damian hanya bisa menelan ludah. Bukan karena tergoda, tapi karena Elena membuatnya kehabisan kata.

“Bodoh!” gumamnya pada diri sendiri, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!