"Lepasin om! Badan gue kecil, nanti kalau gue penyet gimana?!"
"Tidak sebelum kamu membantuku, ini berdiri gara-gara kamu ya."
Gissele seorang model cantik, blasteran, seksi mampus, dan populer sering diganggu oleh banyak pria. Demi keamanan Gissele, ayahnya mengutus seorang teman dari Italia untuk menjadi bodyguard.
Federico seorang pria matang yang sudah berumur harus tejebak bersama gadis remaja yang selalu menentangnya.
Bagaimana jadinya jika Om Hyper bertemu dengan Model Cantik anti pria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mantan
Perintah itu membuat Gissele bergidik. Suara pria itu merendah dan begitu pula tatapannya mengunci gadis itu.
Gissele sempat menggeleng—refleks. Tapi saat ia menatap kembali mata pria itu…
Tatapan itu makin menghipnotisnya, makin mengunci dan menarik seperti pusaran air yang begitu dalam.
Gelap, dalam, dan memaksa jiwanya menyerah. Gissele akhirnya memejamkan mata, tidak ada pikiran menolak darinya. Seakan-akan tatapan itu membuatnya tubuhnya patuh.
Federico menyeringai dan detik berikutnya, ia merasakan sentuhan pelan di wajahnya.
"Tenang, saya nggak akan macam-macam," bisik Federico lagi, tapi nada suaranya tak membuat tenang—malah membuat jantungnya berpacu lebih keras.
Federico lalu menyentuh bibir gadis itu ibu jarinya mengusap pelan, terasa hangat dan lembut. Ada sedikit sensasi licin dari lip balm yang sempat Gissele pakai pagi tadi.
Nafas Federico menjadi berat, sialan.. Jantungnya juga ikut berdetak dengan kencang. Di dalam pikirannya, begitu kuat keinginannya untuk mencium gadis ini.
Meraup bi bir kenyal nan lembut itu, begitu indah dan menggiurkan. Ah.. Federico dibuat gila hanya karna ini.
Sentuhan itu membuat Gissele membuka matanya perlahan. Ia menatap Federico dengan mata membelalak saat pria itu tersenyum miring.
"Terima kasih. Saya suka hadiahnya, Nona."
Cup!
Federico memberi kecupan singkat tepat di ujung rambut lembut Gissele. Bahkan wangi rambut gadis itu sudah membuatnya mabuk kepayang, begitu segar dan manis.
"Eh! Om!" Gissele tersentak sadar, mengerutkan dahi dan langsung mencoba mendorong pria itu.
Tangannya terangkat, nyaris memukul, tapi Federico menahan pergelangan tangannya dengan cepat.
"Om ngapain sentuh-sentuh gue?!" Bentak Gissele merasa kesal. Ia merasa geli dan mengusap kasar bibirnya seolah menghilangkan bekas sentuhan pria itu.
Federico terkekeh, "Kan dari awal membicarakan tentang bayaran, saya ingin sekali menyentuh bibir, Nona."
"KAN GUE NGGAK SETUJU!"
Federico menarik tangannya dan membuat jarak mereka makin sempit.
"Tapi kamu tadi diam kan.. Akui saja, Nona... perlahan-lahan kamu mulai menyerahkan diri pada saya, kan?" Bisiknya licik.
"N-nggak! Jangan GR deh!" Gissele memutar tubuh, berusaha melepaskan diri.
"Nona ini memang sangat denial ya.." Goda Federico sambil terkekeh pelan.
"Aaaakh, udah diem! Ayo anter gue ke kampus!" Seru Gissele kesal, wajahnya merah padam. Begitu tangannya terlepas, ia langsung melangkah cepat, meninggalkan Federico yang masih tertawa kecil sendiri di kamar.
Sambil memandang kepergian gadis itu, Federico menyentuh dagunya sambil bersiul pelan.
“Lucu sekali..” Gumamnya.
Di sisi lain, Gissele berjalan cepat menuju mobil, wajahnya masih merah padam.
"Denial apanya? Tadi gue diem karna... karna—ah, nggak tahu deh! Tatapannya itu mendadak bikin gue jadi patung!" Gerutunya kesal, masih canggung mengingat sentuhan dan tatapan Federico barusan.
Gissele duduk di kursi belakang dan langsung menyandarkan kepala ke sandaran kursi sambil memejamkan mata.
“Bodoh banget astaga, kenapa sih gue jadi diem waktu dia deketin gitu… padahal harusnya gue marah! Tapi... ya ampun, kenapa jantung gue masih deg-degan sekarang…”
Beberapa saat kemudian, pintu mobil di depannya terbuka. Federico masuk dengan santai sambil mengenakan sabuk pengaman, lalu menoleh padanya dengan senyum menyebalkan khasnya.
“Nona…” Suaranya rendah dan Gissele tidak menggubris. Gadis itu sedang meredan detak jantungnya yang masih berpacu cepat.
“Kenapa diam? Biasanya bawel.”
“Ih! Enggak!” Gissele langsung membuang muka ke jendela, “Itu… gue lagi mikir aja.”
“Mikir tentang saya?” Federico menaikkan alis, nadanya dibuat serius tapi jelas ada nada menggoda di sana.
“Kepedean lo!” Gissele menoleh cepat dengan tatapan memerah, tapi bukannya terdengar galak, suaranya malah terdengar seperti anak kucing yang baru bangun tidur—manja dan lucu.
Federico hanya terkekeh pelan, lalu menyalakan mobil. Mobil melaju perlahan dan selama perjalanan, Gissele benar-benar diam seribu bahasa.
Federico melirik Gissele melalui spion di depannya, ia tersenyum kecil.
“Nona cantik sekali hari ini.”
Gissele terdiam. Detak jantungnya makin berantakan. Kenapa sih pria itu selalu menyerangnya begini.. Dari sekian pria yang mendekati Gissele, baru kali ini ia didekati secara ugal-ugalan.
Mobil makin melaju, tapi dunia dalam mobil itu seperti berhenti sesaat—dipenuhi udara canggung dan manis yang menggantung di antara mereka.
Tiba-tiba, Federico menggoda lagi.
“Saya lagi suka sesuatu Nona, mau tau apa itu?”
"Apaan?"
"Saya suka pas tadi pegang bibir Nona-"
“OMMMM!!!” Gissele spontan memukul kursi belakang Federico dengan tas kecilnya. "BERHENTI GANGGU GUE!"
Federico tertawa keras sambil tetap menyetir. “Abisnya lucu kalau godain kamu.”
Gissele merengut, tapi sudut bibirnya tertarik sedikit. “ARGH, UDAH OM, NYETIR AJA YANG BENER!”
Dan keduanya pun larut dalam obrolan manis yang penuh keusilan dan tawa, seakan perjalanan ke kampus hari itu tak pernah sependek biasanya.
Setibanya di kampus, mobil Federico berhenti tepat di depan gerbang. Federico keluar duluan dan membukakan Gissele pintu.
Orang-orang melirik ke arah dandanan Federico yang aneh, tak sedikit dari mereka yang tertawa.
Baguslah.. Pikir Gissele, dengan ini.. Hidupnya jadi lebih tenang dari wanita-wanita yang menggilai Federico.
Gissele keluar dengan elegan dan tersenyum, "Jangan lupa jemput gue jam satu siang.”
Federico mengangguk dengan gaya militer. "Siap, nona. Semangat kuliahnya."
"Ih, apaan sih.. Nggak usah semangatin gue." Gissele cepat-cepat keluar sambil mengelus wajahnya yang mulai panas lagi, lalu bergegas masuk ke area kampus.
Saat ia masuk ke kelas, beberapa temannya langsung menoleh dan menyambut kehadirannya.
"Icel!" Seru seorang temannya, "Kemarin ke mana aja? Lo nggak masuk. Sakit?"
Gissele hanya tersenyum tipis, "Aman kok, cuman jatuh aja dan terkilir, sekarang gue uda sembuh." Ia lalu menurunkan tubuhnya perlahan ke kursi dan duduk dengan nyaman.
"Om Rico ke mana ya hari ini? Nggak keliatan deh. Ah kangen liatnya.." Sahut Zara.
Gissele melirik Zara tajam, "Lo ini ya... jangan-jangan emang kangen Om Rico daripada gue?"
Zara reflek memeluk Gissele, "Ih enggak dong! Gue kan kangen lo juga.."
Teman lainnya tertawa melihat tingkah Zara. "Oh iya mantan lo tuh, Cel. Dia kemarin nanya-nanya mulu ke gue soal lo." Ucap Zara.
Teman lain ikut nimbrung, "Iya, ke kita juga. Si ‘mantan’ lo itu kayak orang kesurupan, cari lo ke mana-mana."
Gissele menghela nafas berat, menyandarkan punggung ke kursi.
"Udah, biarin aja. Dia kan orang gila."
"Yakin lo nggak kangen dia sedikit pun?"
"Setitik pun nggak. Ngapain kangen sama ?mantan yang tidur sama cewek lain.."
Gissele menambahkan dengan nada main-main, bahkan saat ini.. Bukan mantannya yang ia pikirkan, tapi justru Federico yang ingin sekali Gissele kutuk.
...****************...
Saat waktu kosong, Gissele bergegas ke lorong loker untuk mengecek isinya.
Tapi ketika membuka loker… matanya membelalak. Di dalamnya bertumpuk banyak surat—seperti biasa memang ada yang suka mengiriminya pesan iseng atau bahkan puisi.
Tapi kali ini… ada satu benda yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Ada setangkai mawar hitam disana..
"Apa-apaan ini… Siapa yang ngirim beginian.." Bisiknya pelan, menyentuh kelopak hitam yang tampak masih segar.
Dan saat itulah, suara yang sudah lama tak ia dengar menyelinap dari arah belakang, dingin dan tiba-tiba, membuat Gissele menegang.
"Halo, Icel. Suka nggak bunganya?"
Suara itu. Suara lelaki yang pernah mengisi, lalu menghancurkan hatinya. Dion si mantan Gissele.
Gissele memutar badan, sorot matanya langsung tajam. "Ngapain lo di sini? Nggak usah kasih beginian!" Desisnya lalu melempar bunga itu ke wajah Dion.
Dion tersenyum miris, matanya terlihat letih, tapi masih menyisakan pesona yang dulu membuat banyak gadis tergila-gila.
"Gimana kabar kamu?" Tanyanya sok tenang. "Kemana aja belakangan ini? Susah banget dicari."
Gissele mendadak waspada, tubuhnya menegang. "Pergi, Dion. Kan udah gue bilang nggak usah bicara sama gue lagi!"
"Cel, maafin aku... Aku beneran nggak tahan kalau nggak bisa ngobrol sama kamu. Aku udah coba lupain kamu, tapi—"
"Masalah lo, bukan urusan gue!" Potong Gissele tajam. "Udah jelas kita putus, dan gue hidup damai tanpa lo. Jadi tolong pergi dari hadapan gue!"
Dion mendekat, panik. "Cel... Jangan gini, kita bisa—"
Tangan Dion mendadak menarik lengan Gissele dengan paksa. Reflek, Gissele langsung mengayunkan tinjunya tepat ke pipi Dion.
BUGH!
"ARGH!" Dion mengerang kesakitan, ia mengusap wajahnya yang mulai memerah.
"PERGI LO!!" Pekik Gissele penuh kemarahan. Lorong yang semula sepi mulai ramai karena suara ribut mereka.
Dion memegangi pipinya, tatapannya kosong, sementara Gissele berdiri dengan dada naik turun menahan emosi.
Tapi lelaki itu tidak gentar maupun mundur.
BUGH!
Sebush tinju pun melayang ke wajah Gissele. BRAK! Gissele terlempar ke belakang, punggungnya menabrak loker dan mulutnya mengeluarkan darah.
Ah.. sialan cowok gila.. Batin Gissele. Tubuhnya melemas, rasa sakit tertitik pada wajahnya dan kepalanya mendadak pusing.
"A-aku minta maaf, Cel! Aku.."
BUGHH!
Gissele mendadak memukul kencang alat vital lelaki itu. "Bangs*t! Gue capek ngadepin tingkah lo yang begini!"
..