NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:488
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 13

Devan menundukkan kepalanya saat Nathan berjalan mengelilingi kelompoknya. Berharap bahwa kakak tingkatnya ini tidak bisa mengenali. Langkah Nathan terhenti, matanya menatap seseorang yang seperti beberapa waktu lalu pernah dia temui.

Melihat hal itu, Devan semakin memalingkan wajahnya agar tidak terlihat. Namun sikap seperti itu malah membuat Nathan sedikit tersinggung.

"Kamu, yang malingin wajah ada masalah apa? Gasuka liat wajah saya?" Tanya Nathan dengan penekanan.

Devan dengan pelan berbalik. "Ngg.. Nggak kok Kak. Tadi ada barang saya yang jatuh."

"Barang apa?" Tanyanya selidik.

Devan menjawab gugup. "Uang saku saya Kak!"

"Ck. Makanya kalau nyimpen benda tuh hati-hati, lurusin, rapihin, masukin saku hatu-hati. Segala sesuatu itu harus disimpan dengan rapih supaya mencegah kayak jatoh, tumpah, dan lain sebagainya." Tiba-tiba saja Nathan malah ceramah mengenai kerapihan.

Anggota kelompok lain saling melemparkan pandangan. Sedikit aneh dengan tingkah kakak tingkat mereka.

Devan yang melihat anggota kelompok lain mulai tidak nyaman, memotong Nathan dengan sopan. "Iya Kak. Saya mengerti, saya minta maaf ya."

"Iya, kamu dimaafin." Akhirnya Nathan menghentikan ceramahnya. Namun dia menyadari sesuatu. "Lo, maksud saya kamu yang waktu itu ke toko buku tempat kerja saya?"

Devan akhirnya mengangguk. "Iya Kak. Saya yang waktu itu."

Ekspresi Nathan berubah menjadi dingin. "Oke. Kita ke topik utama. Di hari pertama ini adalah perkenalan lingkungan kampus. Kalian ditugasin buat ngeliling dan nyatet ruangan apa aja yang ada di lingkungan kampus. Tenang aja di setiap ruangan udah ada kakak-kakak panitia yang bakal ngenalin masing-masing ruangannya. Kalian balik lagi sebelum jam istirahat. Gimana kalian ngerti gak? Kalau belum paham bisa tanya sama saya sekarang."

"Ngerti Kak." Jawab mereka semua serempak.

Setelah memberikan tugas, Nathan beranjak pergi. Dia sedikit menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir bahwa akan bertemu lagi dengan anak menyebalkan yang dia temui waktu itu.

Devan dan kelompoknya tengah berjalan berkeliling untuk tugas yang diberikan tadi. Mereka sudah mencatat beberapa ruangan. Jujur saja mungkin karena ini baru pertama kali mereka bertemu tidak banyak percakapan diantara mereka yang terjadi.

Sang ketua kelompok berhenti, kemudian bicara. "Kita istirahat sebentar di bangku taman ini gimana?"

"Boleh juga tuh, kaki gue juga udah secapek shopping." Jawab salah satu anggota wanita.

Mereka semua sudah duduk disana.

"Em. Dari awal kita kan belum saling ngenalin diri. Sebagai ketua kelompok, kenalin nama gua Fitra. Orang Bandung asli loh." Ketua kelompok mengawali.

Seorang anggota wanita mengikuti. "Kalau gitu, nama gue Sasha. Gue dulu tinggal di Jakarta. Hobi gue ya shopping."

"Nama gue, Lily. Dulu gue tinggal di Bogor sebelum keterima kuliah di Bandung ini." Satu anggota wanita terakhir memperkenalkan diri dengan ramah.

"Gue, Alfi." Seseorang memperkenalkan dirinya dengan singkat.

Kini tiba waktunya untuk Devan. "Nama gue Devano, kalian bisa manggil gue Devan."

Fitra mengangguk. "Devano, rasanya gak asing ya. Kaya mirip gitu sama nama orang lain."

"Mungkin. Orang lain itu kembaran gue." Jawab Devan.

Sasha sedikit terkejut. "Lo punya kembaran?!"

"Gak usah pake toa nanyanya." Sindir Alfi judes.

Devan mengangguk. "Iya, gue punya. Dia juga kuliah disini bareng gue, cuma beda fakultas. Bagi gue, dia adalah keluarga gue yang berharga."

"Idih, romantis banget kayak orang pacaran." Fitra sedikit bercanda.

Lily menyelutuk. "Jawab aja gini Dev, iri bilang bos."

"Wuah jadi beneran lo punya kembaran ternyata. Emm siapa namanya? Kali aja lowong gitu." Sasha sedang mencari kesempatan.

Devan sedikit tertawa. "Coba aja kalau lo bisa. Tuh anaknya belum niat 'tobat' sih. Lo tahu batu itu keras kan? Nah batu sama dia itu kerasan dia. Namanya Revano atau sering dipanggil Revan."

"Jangan bilang Revan yang itu?" Alfi sudah mulai memikirkan seseorang.

Devan mengedikkan bahunya. "Pas istirahat, kalian bakal tahu sendiri."

Setelah percakapan yang cukup panjang, mereka melanjutkan acara berkeliling. Catatan dari masing-masing anggota sudah terisi penuh.

Melihat waktu yang sudah mendekati istirahat, mereka semua kembali. Kali ini tujuan mereka adalah kantin kampus. Mereka memutuskan untuk makan siang disana. Masing-masing membawa bekal sendiri, karena memang panitia yang menyuruh.

Panitia pengawas setiap kelompok menghampiri dan mulai mengambil catatan mereka. Setelah itu, mereka dipersilakan untuk beristirahat. Devan mengeluarkan bekalnya. Sebuah senyuman tipis sebentar terpatri di wajahnya. Di tengah kesibukan dan kepentingannya sendiri, Revan memang selalu bisa menyelipkan dirinya. Tapi sayang sih kakak kembarnya ini sedikit pelupa. Dari yang ekspresi bangga menjadi ekspresi kesal, karena Revan sepertinya lupa memasukkan air minum ke dalam tasnya.

"Dev, ini air minum lo!" Revan datang dengan terengah-engah, mungkin karena berlari.

Devan tersenyum, sesenyum-senyumnya. "Baru aja gue mau murka Rev."

Kedua anak kembar itu tidak sadar terlebih Revan, bahwa mereka sudah membuat suasana disina menjadi heboh. Terlebih kelompok Devan.

"Re.... Revano... Revano Ardian Pratama di SMA Bandung yang itu, oh my god!" Sasha heboh sendiri.

Alfi menghembuskan nafasnya. "Bener dugaan gue."

Revan langsung mengubah ekspresinya sedingin mungkin. "Ada masalah?"

"Ngg.. Nggak ada kok Revan." Fitra langsung meluruskan. Revano ini memang sangat mengintimidasi.

Devan menghela nafasnya. "Anak orang Rev, anak orang jangan bikin mereka pada takut napa."

"Kirain anak setan." Jawab Revan tanpa ekspresi.

'Elu yang malah jelmaan setan Rev!' Monolog Devan. Tidak berani jika tidak ingin hidupnya berakhir lebih cepat di tangan Revan. "Maklum ya, kembaran gue emang begini."

"Gue tahu kok. Makanya sampe sekarang gue kagum sama senior Revan." Jawab Alfi dengan sopan.

Fitra merasa aneh. "Woy Al, aneh-aneh aja lo. Emang lo sama Revan pernah kenal sebelumnya?"

"Pernah kok. Waktu olimpiade matematika. Gue kalah telak sama Revan, dan akhirnya gue nyari tahu semua hal tentang senior Revan. Gue fans no. 1 senior Revan." Jelas Alfi absurd.

Sasha tidak terima. "Wuanjir fanboy cap kampak lo Al! Enak aja, ya gue lah fans nya Revan no. 1."

Fitra melongo. "Amit-amit."

"Pikiran lo negatif terus Fit. Ngefans tuh emang boleh sama siapa aja kok." Lily akhirnya bicara juga.

Fitra bertanya. "Emang lo gak ngefans juga sama idola kampus baru yang sekarang ini?"

"B.. Biasa aja." Jawab Lily menutupi.

Revan yang sudah tidak tahan karena mereka membicarakan dirinya di depan wajahnya sendiri, mulai mengambil nafas dan berbicara dengan aura yang mencekam.

"Be.ri.sik."

Setelah itu semua langsung terdiam.

"Gue balik dulu ya Dev." Revan tersenyum kepada Devan untuk pamit namun satu kantin heboh karenanya.

Devan yang tidak tahan segera mengusir. "Hush, pergi sana lo cepet. Udah capek gue diliatin terus cewek-cewek buas."

Kali ini Revan benar kembali ke kelompoknya.

"Kalau diliat, Revan emang cuma soft sama lo ya Dev." Fitra menyimpulkan.

Devan mengedikkan bahunya. "Dan karena itu, gue sering banget pengen nonjok dia. Tapi gue berharap bahwa ekspresi Revan yang kayak gitu gakan pernah hilang dari mukanya."

Fitra terdiam, sedikit tidak mengerti dengan kalimat Devan. Sementara Alfi yang kebetulan masih bersama mereka hanya menatap Devan sendu.

.

.

.

.

.

.

Revan sudah berkumpul dengan anggota kelompoknya. Untung saja di dalam kelompoknya dia bersama dengan Raka, hal itu membantunya agar tidak terlalu akward.

"Udah lo kasihin?" Tanya Raka.

Revan menjawab. "Ya."

"Kok nyesel ya gue nanya." Raka sedikit menahan emosinya.

Revan menjawab lagi. "Ada yang nyuruh?"

"Nggak ada kok. Udah, gue salah nanya lo." Kesal Raka sendiri.

"Seru ya kalau sahabatan dari kecil." Teman kelompok mereka bernama Kristan bersuara.

Nayla, anggota kelompok yang lain mengangguk. "Betul banget tuh, gue jadi kangen sahabat gue juga."

"Sini Nay, gausah jadi sahabat jadi calon suami lo langsung gue rela." Ucap Raka dengan percaya diri.

Jesslyn menggelengkan kepalanya. "Masih belum nyerah juga lo jomblo."

"Kayak yang sendirinya nggak aja lo Jess." Ejek Raka.

Nayla menepuk dahinya. "Mulai lagi nih anak berdua."

"Dia yang mulai, dasar cewek barbar." Ejek Raka.

Jesslyn yang tidak terima membalas. "Cowok berkedok playboy cap kambing, Rakambing."

Kristan mencoba menengahi. "Udah, udah woy gausah beran....

"Diem atau gue bungkam mulut lo selamanya?" Tiba-tiba saja Revan berdiri dan menatap lurus ke arah Kristan yang duduk tepat di hadapannya.

".....tem..Ok. Gue salah Rev. Gue diem." Entah mengapa malah Kristan yang minta maaf.

Raka mengangguk. "Makanya jangan cari gara-gara Stan, apalagi sama ib... Malaikat kayak Revan." (Malaikat pencabut nyawa macem dia!)

"Kenapa gue lagi yang salah." Monolog Kristan.

Dari arah lain ada seseorang yang tengah memperhatikan mereka. Sebuah senyuman terpatri di wajahnya, namun beberapa detik setelahnya senyuman itu memudar. Semenjak hari itu, hampir tidak pernah ada perbincangan diantara keduanya meski pada biasanya memang jarang terjadi.

Arjuna yang masih terdiam dibuat sadar oleh seseorang yang melemparkan minuman botol padanya. Tidak lain, orang itu adalah Nathan. Sahabatnya semenjak SMA sampai dengan saat ini.

"Masih kepikiran?" Tanya Nathan tepat sasaran.

Arjuna membuka minumannya. "Seperti dugaan lo. Kita udah kayak orang yang gak kenal."

"Gimana pun sih lo emang salah. Tapi lo tetep harus coba buat memperbaikinya dan gue yakin, adek lo suatu saat pasti bisa ngerti." Nathan menyemangati Arjuna.

Arjuna tersenyum. "Kayak biasa ya, dibalik pesan semangat lo selalu terselip kata-kata nyelekitnya."

"Mau gimana lagi. Gue emang gini orangnya. Kalau emang salah ya salah, kalau emang bener ya bener karena kedua hal itu gakan pernah ketuker. Dan giliran lo salah, masa gue harus ngedukung kesalahan lo?" Jawab Nathan dengan acuh.

"Ya, semua yang lo bilang emang selalu masuk akal." Arjuna meminum minumannya.

Nathan menepuk pundak sahabatnya itu. "Masa lalu emang gakan pernah bisa diubah, tapi lo bisa ngerubah masa depan. Dan untuk ngerubah masa depan itu lo cuma perlu memperbaiki kesalahan lo di masa lalu. Jangan pernah jadi seseorang kayak gue, yang gak memperbaiki apapun baik di masa lalu maupun masa seudahnya."

"Iya Nath, gue akan selalu percaya sama prinsip lo itu. Dan satu hal Nath, bagi gue, lo itu udah berubah menjadi sangat lebih baik. Gue yakin dia pasti bangga sama lo." Arjuna sangat mengerti siapa yang Nathan maksud pada akhir kalimat yang dikeluarkannya.

Nathan beranjak. "Gausah melow-melowan, kalau nggak gue nanti nambah lagi koleksi foto aib lo. Balik kerja lagi, tugas hari ini belum beres Paketu."

"Harusnya lo deh yang jadi Presiden BEM, lebih galak soalnya." Canda Arjuna.

Nathan sedikit tersinggung. "Gue gak galak tapi tegas."

"Gue kira tapi judes sih." Arjuna tertawa.

Nathan memandang Arjuna sinis. "Pengen gue lempar ke dasar bumi?"

"Balik kerja, balik kerja lagi." Arjuna sudah menghilang dari hadapan Nathan.

Nathan hanya menghembuskan nafasnya kasar dengan tingkah sahabatnya.

"Menurut lo, apa gue udah jadi orang yang lebih baik?" Tanya Nathan sembari menatap langit yang berwarna biru.

.

.

.

.

.

Hari pertama yang cukup panjang, Revan dan Devan saat ini sedang dalam perjalanan pulang. Beberapa menit perjalanan, akhirnya Revan dan Devan tiba di rumah.

Devan langsung mendudukkan dirinya di sofa. Tubuhnya terasa sangat lelah sekali. Ini jarang terjadi sebelumnya, atau mungkin ini adalah salah satu tanda-tanda yang pernah dr. Ryan sebutkan padanya pada waktu itu.

Revan yang melihat Devan hanya diam mulai menghampiri. Tangannya meraba kening sang adik. Panas. Gurat khawatir langsung terlihat jelas di wajahnya yang tampan.

"Kita ke rumah sakit ya?" Tawar Revan dengan sangat lembut.

Devan menggeleng. "Nggak Rev, gue gapapa kok."

"Tapi badan lo panas banget. Please nurut Dev." Pinta Revan sekali lagi.

"Gausah, gue gapapa k...Auph." Devan langsung menutup mulutnya karena merasa mual, dia segera berlari ke kamar mandi.

Revan yang semakin khawatir mengikuti sang adik. Matanya membola kala melihat cairan apa yang dimuntahkan Devan.

'Darah'

Devan sendiri terlalu syok dengan apa yang dialaminya. Anak itu mencengkeram pinggiran toilet dengan kuat. Devan bisa melihat bagaimana Revan yang berusaha keras menahan air matanya.

Revan menghampiri Devan, mengelus punggung sang adik dengan sangat lembut. Membersihkan darah yang tercecer karena muntahan Devan tanpa rasa jijik sedikitpun. Devan ingin sekali mengatakan bahwa dia tidak apa-apa untuk menenangkan Revan namun tenaganya terlalu lemah hanya untuk sekedar bicara.

Devan dipapah ke dalam kamarnya oleh Revan. Dengan telaten Revan membaringkan sang adik. Meski sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikannya, Devan bisa melihat bagaimana tangan Revan yang bergetar kala menyuapinya pil-pil pahit yang sudah biasa dia minum.

"Dev, udah gak sakit? Kalau sakit bilang ya." Ada getar, nada bicara Revan bergetar.

Devan menggeleng dan tersenyum lemah. "Nggak, Rev."

"Ke rumah sakit?" Kesekian kalinya Revan meminta.

Devan kembali menggeleng, saat ini entah kenapa dia terlalu takut.

"Oke. Tapi kalau besok lo masih demam, janji ya kesana?" Revan tidak akan pernah peduli dia akan sering memohon sebanyak apa jika itu demi kebaikan adiknya.

Ada raungan air mata yang ingin keluar dari bias Revan bisa Devan lihat. Devan sekarang memilih untuk mengangguk.

"Oke. Sekarang lo istirahat ya, nanti satu jam lagi gue anterin makan." Ucap Revan.

Devan mengangguk dan mulai memejamkan matanya.

Revan menutup pintu kamar sang adik dengan sangat pelan. Setelah sedikit jauh dari sana, air matanya tidak bisa dirinya tahan lagi untuk jatuh.

Revan menangis tanpa suara.

"Jangan pergi Dev, jangan tinggalin kakak sendiri Devano."

Keesokan paginya, Revan yang sudah bangun langsung menuju kamar sang adik. Memeriksa bagaimana keadaannya saat ini. Satu hembusan nafas lega terdengar dari Revan, sekarang panas Devan sudah tidak terlalu tinggi.

Merasa ada seseorang yang mengusiknya, Devan perlahan membuka mata. Satu senyuman lemah dia berikan saat tahu siapa orang tersebut. Bisa Devan lihat dengan jelas gurat-gurat kekhawatiran masih tersisa di wajah kembarannya.

"Sorry, gue bangunin lo ya? Masih pusing? Ada yang sakit?" Revan memberikan berbagai pertanyaannya, dia tidak memungkiri bahwa saat ini kekhawatirannya masih tersisa.

Devan menggeleng pelan. "Gak ada kok Rev. Gue udah gak apa-apa kok."

Revan mengangguk. "Hari ini lo gausah masuk dulu ya, nanti biar gue bilang ke penanggung jawab kelompok lo Dev."

"Tapi ini baru juga hari kedua Rev, kok gue udah gak masuk lagi. Gak seru ah." Ekspresi Devan berubah cemberut.

Revan memijit pelipisnya sebentar. Mencoba bersabar. "Jangan ngeyel deh kalau dibilangin."

"Gue udah kuat lagi kok Rev. Nih buktinya." Devan bangun dan berdiri dari tempat tidurnya.

Revan menatap Devan datar. "Gak boleh masuk."

"Ayolah Rev, nanti gue janji disana gue gabakal banyak gerak bakal istirahat kok." Devan tidak berhenti memberikan penawaran.

Revan membalas. "Istirahat lebih baik di rumah."

"Cih. Revan pelit amat, masa dianya snediri boleh berangkat tapi adeknya sendiri gak boleh sih. Mogok makan ah." Devan memasang wajah ngambek.

"Devano!" Tanpa sadar Revan membentak.

Devan menelan ludahnya kasar. Dia sadar sudah salah bicara. Ekspresi Revan bisa dia lihat berubah menjadi sangat dingin.

"Rev..." Panggilnya pelan.

Revan menghembuskan nafasnya berat. "Lo tahu gak sekhawatir apa gue sama lo Dev semalem bahkan sampai saat ini?! Kenapa lo nganggep semuanya enteng sih?! Bisa gak sih lo tuh nurut?!"

"Maaf Rev....." Devan mencicit pelan.

Sudut mata Revan bisa melihat bagaimana bola mata sang adik yang mulai berair. Revan sadar bahwa saat ini dia tidak boleh terlarut dengan emosinya sendiri yang terus takut terbayangi dengan kepergian sang adik.

Revan mendekat dan mendudukkan Devan pelan di tempat tidur. Tangannya dengan lembut mengusap surai Devan. "Lo tahu kan Dev kalau gue sayang banget sama adek gue satu-satunya ini. Gue kayak gini karena gue sayang sama lo. Maaf kalau tadi gue gak sengaja ngebentak lo, karena gue terlalu sayang sama lo. Disaat lo kesakitan kayak kemaren gue ngerasa jadi orang yang gak berguna sama sekali, jadi boleh kan kalau gue minta tolong sama lo buat nurut demi kebaikan lo sendiri? Cuma ini yang bisa bikin gue ngerasa berguna."

"Gapapa Rev, maafin gue juga yang malah egois." Devan tersenyum dan menatap Revan dalam.

Revan mengacak surai Devan gemas. "Gituh dong, baru namanya adek gue."

"Ish. Rev, lepas gak, mau gue acak-acakin muka lo?" Devan segera menyingkirkan tangan Revan.

Revan mencibir. "Tadi gak nolak, sekarang nolak hm."

"Tadi kan kesadaran gue belum terkumpul sepenuhnya Rev, makanya otak gue jadi khilaf." Devan berkilah.

Revan kembali mengejek. "Masa ah."

Perempatan siku-siku mulai muncul di dahi Devan. "Sono lo ah masak cepet, mending gue sama Yoona SNSD daripada sama lo."

"Emang Yoona SNSD tau lu gituh? Tahu lo nafas aja nggak Dev. Ya Tuhan segera sadarkanlah Devano dari kehaluan ini." Revan membaca doa dengan dibuat-buat

Devan membalas. "Ya Tuhan sadarkanlah Revano dari keabnormalannya sejak dahulu kala. Sampai setan aja kayaknya takut sama dia."

"Oy mulut mau gue jahit Dev?" Revan mengeluarkan aura menakutkannya.

Devan memutar bola matanya malas. "Gak, mulut gue mau makan dan perut gue udah keroncongan."

"Oke tunggu ya adikku sayang." Revan mengedipkan sebelah matanya.

Devan melongo kemudian segera menendang Revan keluar kamar dengan sangat 'lembut'.

.

.

.

.

.

Hari kedua masa orientasi, semua berjalan seperti hari sebelumnya. Revan juga sudah berada di kampus setelah memastikan Devan beristirahat dengan baik.

Jam masuk belum dimulai, menyempatkan diri Revan segera mencari kating yanng mengawasi kelompok Devan. Bisa dia lihat disana katingnya itu sedang berada bersama dengan Arjuna. Revan segera menghampirinya.

"Bang Arjun!" Sapa Revan.

Arjuna yang terpanggil segera melirik. "Rev, tumben lo nyamperin ada apa?"

Revan menjawab. "Ini gue ada perlu sama, Kak Nathan."

"Gue? Rev? Rasanya kok lo gak asing?" Nathan yang ada disana bicara.

Arjuna yang tahu bahwa Nathan belum mengetahui mengenai saudara kembar Devan, menjelaskannya. "Em Nath, kenalin dia Revano kakak kembarnya Devan. Muka mereka emang mirip banget tapi kalau lo perhatiin udah lama, Revan ini ya lebih tegas dari Devan."

"Maaf Kak. Perkenalkan, nama saya Revano, kakak kembar Devan dari fakultas kedokteran." Dengan singkat Revan memperkenalkan diri.

Nathan menatap Revan. Aura dari anak yang ada di hadapannya ini sangat berbeda dari Devan. "Iya, saya Nathan. Ada apa ya?"

"Hari ini Devan gak bisa masuk karena sakit. Mohon pengertiannya." Revan dengan sopan membungkuk untuk memberitahukan.

Arjuna yang mengetahui alasannya bertanya. "Kambuh lagi?"

Revan mengangguk. "Lebih parah dari biasanya."

'Kambuh?' Nathan yang tidak mengerti bertanya dalam hati. "Gapapa kalau gituh. Kira-kira sampai kapan adek kamu gak bisa masuk? Kalau belum sembuh banget gak usah maksain."

"Mungkin sampai besok." Jawab Revan singkat.

Nathan mengangguk. "Oke."

Ketika Revan akan pergi, Arjuna sedikit menahannya. "Raka, apa dia udah sampe?"

"Telat kayak biasa." Jawab Revan. Kali ini entah mengapa Revan ingin berbicara lebih banyak. "Bang Arjun, untuk kali ini gue ngomong buat Raka. Maaf kalau gue lancang dengan mencampuri urusan kalian. Tapi kali ini sebagai sahabat Raka dari kecil, gue marah sama lo Bang. Entah berapa kali hati Raka remuk tapi dia selalu bisa nyembunyiinnya lagi dari lo. Dan untuk yang terakhir dengan apa yang lo lakuin Bang, baik Raka maupun gue sendiri udah gabisa mentelorir. Satu hal yang bikin gue kecewa sama lo, karena lo gak ngerubah apapun seudah kejadian itu Bang. Asal lo tahu Raka masih nungguin lo meski mulutnya bilang nolak."

Arjuna terdiam setelah mendengar semua kalimat Revan. "Raka, masih mau nungguin gue?"

"Saran gue lakuin sebelum dia lelah nunggu lo Bang. Revan pamit dulu."

Setelahnya Revan pergi meninggalkan Arjuna yang masih terdiam dan Nathan yang sedikit bingung.

Lama terdiam, Arjuna berhasil menggapai kesadarannya kembali. Disana masih ada Nathan yang berdiri disampingnya.

Arjuna tersenyum. "Momen langka banget Revan bicara banyak dan itu untuk orang yang dia peduliin."

"Dia sama Devan emang beda banget ya." Nathan menyimpulkan.

Arjuna mengangguk. "Beda mungkin iya. Tapi pada dasarnya mereka itu sama. Bahkan Revan lebih cengeng dari siapa pun juga. Cuma Devan yang bisa menyokong pondasi buat punggung Revan tetep berdiri kokoh. Bisa diibaratin yang satu itu penyokong, dan yang satu lagi adalah oksigennya. Gue akui, sebagai orang yang lebih tua kedewasaan gue beda jauh dari Revan."

"Sejak kapan lo dewasa emangnya Ar?" Sakartis Nathan. "Devan adalah orang yang beruntung karena punya kakak kembar sebaik dia, pacar aja kalah kayaknya."

Arjuna mengiyakan. "Karena mereka cuma ngemilikin satu sama lain aja saat ini. Dan ada satu sandungan yang nyentuh Devan, makanya Revan akan berjuang semati-matian mungkin buat Devan."

"Dan sandungan itu adalah kata-kata kambuh yang kalian singgung tadi?" Tebak Nathan.

Arjuna menjawab. "Devan mengidap salah satu penyakit terminal. Buat lebih jelasnya gue gak bisa bilang."

"Gue ngerti. Seudah lihat mereka, kenapa rasanya gue gak pengen liat salah satu dari mereka jatuh." Nathan berucap tanpa sadar.

"Ha? Tumben banget, biasanya lo berantem terus sama Devan. Eh lo yang ngajak geludnya sih." Sindir Arjuna.

Nathan memukul kepala Arjuna sangat sayang. "Mau gegar otak jilid berapa?"

"Tsundere, psycho  kamvret emang. Sakit tahu!" Lenguh Arjuna.

.

.

.

.

.

Tidak terasa sekarang sudah memasuki waktu istirahat. Revan dan anggota kelompoknya berkumpul bersama. Raka yang duduk disamping Revan entah mengapa sedikit merasa ngeri.

Bagaimana tidak ngeri, Revano yang hanya tersenyum hitungan jari kini selalu tersenyum. Bahkan dia tidak sadar telah membuat Sasha menjadi fangirl yang sudah menahan teriakannya.

Karena penasaran, tangan Raka menyentuh dahi Revan dengan 'estetik'.

"Gak panas kok." Celetuk Raka.

Revan berdiri dan segera memelintir tangan Raka. "Mau gue patahin?"

Kristan yang tidak tega, mencoba menyelamatkan Raka. "Rev, anak orang itu kasian."

"Mau ikutan?" Tatap Revan dengan mengintimidasi.

Kristan segera menyelematkan diri. "Nggak Rev. Gue duduk, gue diem. Raka, apa ada kata-kata terakhir?"

"Jir, temen sialan. Rev, lepas napa makin barbar aja lo ah." Raka mencoba melepaskan diri.

Jesslyn malah mendukung. "Gapapa Rev, seru lanjutkan. Dan ini momen langka buat gue ngelihat ke-badass-an lo."

"Woy cewek nenek sihir, dasar kurang ajar lo!" Ucap Raka tidak terima.

Nayla hanya menepuk kepalanya. "Punya temen baru gak bener semua. Rev, lepas kasian anak orang tar mewek."

"Nih, gue lepas." Revan melepaskan Raka dengan tidak berperi-ke-Rakaan.

Revan kembali duduk tenang dan Raka juga duduk tetapi sembari mendumel dalam hati mengenai kemanusiawian seorang Revan.

Tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri mereka. "Widih Rev, keabnormalan lo kayaknya lagi kambuh lagi."

"Anjir Dli, baru datang dah cari mati aja lo Dli." Raka yang tahu siapa orang itu segera bicara.

Revan menghela nafasnya. "Tangan kiri apa kanan?"

Ardli yang menyadari sinyal bahaya, segera menyelamatkan diri. "Gue tarik lagi kata-kata gue Rev. Lo ganteng, tampan dan ternormal di dunia. Nah gue kesini nyari Devan, dari pagi gue gak liat dia."

"Oh Devan lagi istirahat di rumah. Jangan ganggu." Revan mengeluarkan aura mengancam.

Raka terbahak. "Masih aja posesif ma adek sendiri."

"Hilih tenang aja kok Rev, gue kan kalau ke rumah lo gak pernah tangan kosong." Bangga Ardli.

Revan berucap singkat. "Dua kali lipat."

"Itu ngerampok namanya Rev!" Ardli tidak terima.

Raka mencibir. "Hilih, masih aja kikir lo Kenardli."

"Biarin aja, dari pada lo Rakambing, bawa makanan orang lo aku-akuin." Balas Ardli mencibir.

Revan memutuskan. "Lo gua blacklist ke rumah Ka."

"Sialan dasar kalian." Raka kalah kali ini.

Nayla, Kristan dan Jesslyn yang tadi menyaksikan perbincangan mereka, sedikit canggung. Untuk memecahnya, Lily akhirnya bicara. "Kalau kalian mau ngejenguk ke adeknya Revan, boleh nggak Rev kita juga ikut?"

"Boleh kan Rev?"  menambahkan.

"Ki....ki...kita juga boleh jenguk Devan nggak Rev?" Ada suara lain yang ternyata adalah anggota kelompok Devan, yaitu Fitra.

'Kyaaa kalau ngejenguk Devan berarti ke rumahnya Revan dong!' Sasha sangat bersemangat. "Boleh dong, boleh ya."

"Gak usah gatel napa lo Sha." Alfi segera mengamankan Sasha.

Lily yang tidak ingin disalah sangkahi meluruskan. "Itupun kalau emang lo ngizinin, kalau nggak juga gapapa.".

"Kenpa nggak? Kalian boleh ngejenguk Devan kok." Jawab Revan yang membuat semuanya lega.

Lalu Revan menambahkan di akhir. "Terkecuali Raka."

Ardli mengejeknya. "Mamam Rakambing."

"Salah apakah, makhluk Tuhan tertampan ini." Ucap Raka mendramatisir.

Waktu kini sudah menjelang sore hari dan hari orientasi kedua kampus juga sudah selesai. Sama seperti perjanjian mereka siang tadi, saat ini mereka semua sedang dalam perjalanan menuju rumah Revan menggunakan mobil milik Ardli. Revan sendiri, dia sudah pulang terlebih dahulu untuk menyiapkan para tamu nanti.

Devan yang di rumah cukup terkejut, karena mendapati Revan sudah pulang lebih cepat. Dia bisa melihat bagaimana kakak kembarnya itu sibuk melakukan banyak hal. Revan menjelaskan padanya bahwa teman-temannya dan Devan akan datang untuk menjenguk.

Setelah mengetahuinya, Devan yang sudah agak baikan mencoba membantu. Namun memang pada dasarnya, Revano tidak membiarkannya untuk membantu dan menyuruh Devan untuk duduk menemani saja.

Mata Devan tidak berhenti memperhatikan Revan. Ada bayangan sang Mama kala melihatnya. Punggung itu begitu mirip dengan Mama-nya saat memasak untuk mereka ketika kecil. Bagi Devan, Revan sudah mampu menjelma menjadi kedua orang tua yang baik meski pada dasarnya dia juga sama membutuhkan kedua sosok tersebut.

Dengan refleks Devan berdiri dan memberikan pelukan kecil pada Revan. "Makasih Rev."

"Hm? Tumben? Kok tiba-tiba?" Revan menghentikan kegiatannya.

Devan tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Gue baru sadar, kalau lo bener-bener udah jadi orang tua yang sesungguhnya."

"Ini pujian atau ledekan?" Curiga Revan.

Devan mengedikkan bahunya. "Terserah lo mau nganggepnya apa. Tapi gue bener-bener bersyukur punya kakak kembar kayak lo. Yang gak pernah ngeluh dan nyerah di segala keadaan, meski berkali-kali gue yang bikin keadaan lo buruk. Lo bener-bener mirip Mama sama Papa. Makasih karena udah ngisi kekosongan sosok mereka buat gue Rev."

Revan tersenyum sangat tulus. "Itu emang udah sewajarnya Dev. Justru gue yang makasih sama lo, karena sampe saat ini lo masih bertahan di kala semua perlahan pergi."

Baru saja Devan akan menjawabnya, suara bel berbunyi. Dari jendela, Devan bisa melihat teman-temannya dan Revan menghampiri.

"Lo tahu Rev, dikala semua pergi pasti akan ada sesuatu yang datang mengganti. Dan pergantian itu akan menjadi hal yang baik. Karena kita gakan selamanya sendiri." Ucap Devan dengan lepas.

Revan mengepalkan tangannya mendengar kalimat Devan. Namun senyuman hangat dan tulus miliknya dia keluarkan. "Dan pergantian itu gakan gue rasain sendiri, bareng lo Dev. Gue pengen bahagia bareng lo Devano, adek gue satu-satunya."

Lagi, Devan tidak mampu untuk menyangkal.

Revan membukakan pintu dan semua teman-temannya dan Devan masuk.

'Apa dia mampu untuk meninggalkan semua ini?'

'Apa dia mampu untuk pergi begitu saja?'

Dan terkahir.

'Apa dia mampu melihat senyum itu luntur dari wajah Revan?'

Air matanya menetes dengan sangat deras.

"Hiks....."

.

.

.

.

.

.

.

To Be Continue...........

Jangan lupa dukung terus si kembar ma cerita ini ya. Sampai ketemu di chapter berikutnya

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!