Karma? Apa benar itu yang terjadi padaku? Disaat aku benar-benar tidak berdaya seperti ini.
Bagaimana mungkin aku meghadapi sebuah pernikahan tanpa cinta? Pernikahan yang tidak pernah ku impikan. Tapi sekali lagi aku tak berdaya. Tidak mampu menentang takdir yang ditentukan oleh keluarga. Pria yang akan menikahiku...aku tidak tahu siapa dia? Seperti apa sifatnya? Bagaimana karakternya? Aku hanya bisa pasrah atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Aku sebenarnya masih menunggu seseorang dari masa laluku. Seorang pria yang sangat ku cintai sekaligus pria yang telah ku lukai hatinya. Nando Saputra, mantan kekasihku yang telah memutuskan pergi dariku setelah aku dengan tega mengusirnya begitu saja.
Sekarang rasa menyesal kembali menghatuiku saat ku tahu sebuah fakta yang lebih mengerikan...dia Nando, pria yang selama ini ku rindukan adalah adik dari pria yang menikahiku. Rasanya aku ingin bunuh diri saat ini juga....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amy Zahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Nada yang Tersisa
Hari itu, suasana kampus jauh lebih ramai dari biasanya. Spanduk warna-warni terbentang di sepanjang koridor, mengumumkan acara Pentas Seni Mahasiswa Baru. Musik percobaan terdengar dari aula besar.
Aku berjalan pelan mengikuti kerumunan, mencoba menyesuaikan diri dengan energi muda di sekelilingku. Rasanya aneh, berada di tengah euforia mahasiswa padahal aku bukan lagi gadis belasan tahun. Tapi ada sesuatu yang membuatku tetap melangkah: Nando.
“Nando, latihan nanti sore ya,” sebuah suara memanggilnya.
Aku menoleh, melihat beberapa pria menghampirinya. Ada yang tinggi kurus dengan gitar di punggung, ada yang berambut gondrong sambil memukul-mukul stik drum ke udara, ada yang kalem dengan kertas partitur, dan satu lagi memanggul bas.
Mereka langsung riuh menyapa.
“Bro, jangan telat lagi!” kata yang gondrong, disambut tawa yang lain.
Nando nyengir malu. “Iya, iya… aku nggak lupa kok.”
Aku memperhatikan dengan mata berbinar. Mereka begitu akrab, begitu penuh semangat. Seperti potongan masa muda yang pernah hilang dariku.
“Eh, ini siapa?” tanya gitaris yang bernama Rafa, menoleh padaku.
Nando buru-buru memperkenalkan. “Oh, ini Kak Aura. Kakak iparku.”
Mereka serempak menyapaku sopan.
“Halo, Kak Aura.”
Aku tersenyum tipis, merasa canggung tapi juga hangat. Untuk sesaat, aku bisa masuk dalam lingkaran hidup Nando yang penuh warna.
---
Sore itu aku sengaja mampir ke aula tempat mereka latihan. Dari balik pintu, aku melihat Nando berdiri di depan mikrofon. Rafa memainkan gitar dengan ritme cepat, Ale memukul drum dengan penuh energi, Kenzi duduk di depan piano dengan konsentrasi tenang, dan Egi mengiringi dengan bas.
Dan ketika Nando mulai bernyanyi…
Aku terdiam.
Suaranya rendah di awal, lalu mengalun semakin kuat, memenuhi seluruh ruangan. Ada getaran yang membuat bulu kudukku berdiri.
Aku sudah tahu Nando jenius dengan buku dan hafalan, tapi aku tidak pernah tahu dia punya suara seperti itu. Suara yang mampu menusuk sampai ke dasar hatiku.
Mataku panas. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan yang terlalu jelas. Tuhan… bagaimana aku bisa menolak rasa ini?
---
“Bagus sekali, ya?”
Aku terkesiap. Suara lembut itu datang dari sampingku. Bella. Dia berdiri dengan clipboard di tangan, wajahnya penuh senyum bangga.
“Aku jadi panitia acara ini,” jelasnya, “dan kebetulan aku juga jadi mentor mahasiswa baru. Jadi sering ketemu Nando dan teman-temannya.”
Aku hanya mengangguk singkat. Dalam hati, api kecil cemburu kembali menyala. Bella tampak begitu… wajar di dunia Nando. Dia bisa berdiri di sini dengan alasan jelas, tanpa rasa bersalah, tanpa beban.
Sementara aku?
Aku hanya bisa mengintip dari balik pintu, menyamar sebagai kakak ipar yang pura-pura kagum.
Bella menatap Nando lama, lalu berkata lirih, “Dia memang luar biasa. Meski kondisinya seperti itu, dia nggak pernah menyerah.”
Aku mengerutkan kening. “Kondisi?”
Bella tersenyum samar. “Iya, kamu kan tahu Nando sering lupa. Tapi dia hafalin semua lirik dengan cara dibaca puluhan kali. Makanya, aku kagum banget. Orang lain mungkin sudah menyerah.”
Aku terdiam. Hatiku diremas antara bangga dan sakit. Bangga karena itu Nando yang kukenal: keras kepala, tak pernah menyerah. Tapi sakit… karena Bella yang mengucapkan itu dengan sorot mata penuh kekaguman.
---
Latihan selesai, Nando menghampiriku. Keringat masih membasahi dahinya, napasnya tersengal, tapi senyum itu… senyum yang dulu pernah kumiliki.
“Kak Aura? Kamu nonton ya?” tanyanya, matanya berbinar.
Aku menahan napas.
“Iya… suaramu… luar biasa, Nando.”
Wajahnya memerah, malu-malu. “Ah, biasa aja…”
Tidak, itu tidak biasa. Tidak ada yang biasa dari dirimu, Nando.
Aku hanya tersenyum samar, menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Di balik semua ini, aku tahu satu hal. Jika ada jalan untuk mengembalikan ingatanmu, maka musik ini—suara ini—akan jadi salah satu kuncinya.
Dan malam itu, aku berjanji lagi pada diriku sendiri. Aku akan menemukan cara. Aku akan membuatmu ingat, Nando. Karena setiap nada suaramu… adalah nada yang pernah kita bagi bersama.