Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12. LUKA YANG BISA SEMBUH
..."Ada luka yang tak perlu disembunyikan, cukup diakui agar bisa pulih."...
...---•---...
Lengan Naira tersingkap di bawah cahaya dapur. Di sana, pada kulitnya, terukir jejak yang tidak bisa ia hapus dengan riasan. Bekas luka berbentuk garis tidak beraturan, beberapa sudah memudar menjadi putih pucat, sebagian masih merah muda. Doni melihatnya. Tangannya tetap di sisi tubuh, napasnya teratur.
Tidak ada sentak. Tidak ada bergidik. Tidak ada tatapan kasihan yang bisa membuat Naira merasa lebih kecil. Matanya hanya menatap dengan tenang, tatapan seseorang yang mengerti karena pernah punya lukanya sendiri.
"Di lengan saya ada luka," kata Naira pelan. Jari-jarinya menyentuh salah satu bekas. "Bekas Rendra saat dia... kehilangan kontrol. Saya tutupi dengan concealer setiap kali syuting, tapi lukanya masih ada." Suaranya parau. "Dan saya benci luka ini. Karena ini bukti saya biarkan diri saya disakiti."
Doni melangkah lebih dekat, tapi berhenti, cukup dekat untuk bicara, cukup jauh agar Naira tak merasa terkepung.
"Itu bukan bukti kelemahan." Nada bicaranya rata, tenang. "Itu bukti kamu bertahan."
Naira menatap langsung ke matanya.
"Kamu bertahan dalam situasi yang bisa membunuh orang lain. Kamu keluar dari sana. Kamu masih berdiri." Doni menahan pandangannya, suaranya tidak naik, tidak turun. "Itu bukan lemah. Itu kekuatan."
Air mata jatuh lagi. Tapi kali ini bibir Naira melengkung, senyum tipis yang hampir tidak kelihatan.
"Kamu selalu tahu kata yang tepat."
"Aku cuma jujur."
Naira mengusap pipinya dengan punggung tangan, menghela napas panjang seperti membuang beban dari dada. Lengan cardigannya diturunkan perlahan, menutupi kembali luka-luka yang baru saja ia perlihatkan. Tapi ada yang bergeser. Beban rahasia itu tidak lagi seberat tadi, karena sekarang ada satu orang lain di dunia ini yang tahu, yang melihat, yang tidak menghakimi.
"Saya pikir saya akan kembali ke kamar. Coba tidur lagi." Naira mundur selangkah. "Terima kasih, Doni. Untuk semuanya."
Doni menangkap perubahan itu, cara Naira tidak lagi memanggilnya "Pak Doni", tapi ia tidak berkomentar. Beberapa hal lebih baik dibiarkan tumbuh sendiri.
"Panggil saja Doni. 'Pak Doni' terlalu formal untuk orang yang sudah makan nasi goreng tengah malam bareng."
Naira tertawa kecil. Suara itu terdengar asing di rumah ini.
"Baiklah, Doni. Terima kasih."
Ia berjalan menuju pintu, lalu berhenti. Kepala menoleh.
"Kalau... kalau malam lain saya tidak bisa tidur, boleh saya turun ke dapur?"
"Dapur selalu terbuka. Dan aku tidur ringan, jadi kalau kamu butuh nasi goreng jam berapa pun, aku siap."
Senyum Naira lebih hangat kali ini, bukan senyum sopan, tapi senyum yang sampai ke mata.
"Selamat malam, Doni."
"Selamat malam, Naira."
Langkah kakinya di tangga terdengar lebih ringan dari saat ia turun tadi. Doni berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan hingga bayangan Naira hilang di belokan koridor.
...---•---...
Doni duduk kembali di meja dapur. Piring dan cangkir kosong tergeletak bersih di depannya. Tangannya menopang dagu. Ia tidak tahu apakah yang baru saja terjadi melanggar Pasal 12 atau tidak, mereka bicara terlalu personal, ia mendengar cerita yang terlalu intim, ada koneksi yang terbentuk melebihi garis antara koki dan klien.
Tapi ia tidak peduli.
Kadang ada hal yang lebih penting dari kontrak. Dan membantu seseorang keluar dari jurang adalah salah satunya.
Di luar jendela, langit mulai berubah dari hitam pekat menjadi biru tua. Fajar masih jauh, tapi tanda-tandanya sudah muncul, burung pertama berkicau pelan, nyaris tidak terdengar di keheningan.
Doni bangkit. Ia membersihkan dapur: menyimpan sisa bahan ke kulkas, mencuci wajan, mengelap meja. Gerakannya otomatis, pikirannya melayang.
Ia ingat tadi, saat Naira hampir mengulurkan tangan di atas meja tapi tidak jadi. Ia ingat cara Naira menatapnya, bukan seperti menatap seorang koki, tapi seperti menatap seseorang yang mengerti. Seseorang yang aman.
Dan ia tahu, dengan kepastian yang menakutkan, bahwa garis tipis antara profesional dan personal sudah mulai kabur.
Bahaya ada di depan mata. Lima ratus juta rupiah denda menunggu jika ia melanggar. Restoran yang ia coba selamatkan bisa hancur jika kontrak ini batal.
Tapi saat ia teringat Naira menangis di dapur, rapuh, hancur, tapi masih mencoba bertahan, semua perhitungan rasional itu terasa seperti debu dibanding kebutuhan untuk peduli.
...---•---...
Doni berjalan ke kamarnya dan berbaring di tempat tidur yang sudah dingin. Matanya menatap langit-langit. Pikirannya terlalu ramai untuk tidur.
Di lantai atas, di kamar yang pintunya tidak lagi terkunci serapat dulu, Naira Adani berbaring di tempat tidurnya. Perut kenyang. Mata bengkak. Tapi hati sedikit lebih ringan.
Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, ia tidur tanpa mimpi buruk.
Dan di dalam mimpinya, ada aroma bawang putih dan kecap manis. Ada kehangatan yang ia kira sudah hilang selamanya. Ada suara lembut yang berbisik:
Kamu tidak rusak. Kamu hanya terluka.
Dan luka bisa sembuh.
Asalkan ada seseorang yang cukup peduli untuk membalutnya dengan lembut, dengan sabar, dengan makanan yang dimasak dengan perhatian di tengah malam yang gelap.
Naira tidur dengan perasaan damai.
...---•---...
...Bersambung...