Jade baru saja kehilangan bayinya. Namun, suaminya malah tega memintanya untuk menjadi ibu susu bagi bayi Bos-nya.
Bos suaminya, merupakan seorang pria yang dingin, menjadi ayah tunggal untuk bayi laki-laki yang baru berusia tiga bulan.
Setiap tetes ASI yang mengalir dari tubuhnya, menciptakan ikatan aneh antara dirinya dengan bayi yang bukan darah dagingnya. Lebih berbahaya lagi, perhatian sang bos perlahan beralih pada dirinya.
Di tengah luka kehilangan, tekanan dari suaminya yang egois, dan tatapan intens dari pria kaya yang merupakan ayah sang bayi, Jade merasa terperangkap pada pusaran rahasia perasaan terlarang.
Mampukah Jade hanya bertahan sebagai ibu susu? Atau hatinya akan jatuh pada bayi dan ayahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SALAH PAHAM
Jade terjaga sepanjang malam. Dia tidak berani tidur sedikitpun. Saat ini Maximo masih rewel, dan bayi itu terlihat tidak nyaman.
"Apa sebaiknya aku bawa Maximo ke dokter?" gumam Jade, sambil menepuk bokong Maximo.
Jade melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 4 pagi. Dia merasa gelisah karena harus menunggu sampai matahari terbit.
"Andai aku memiliki nomor Tuan Adriano, aku akan menelponnya sekarang," gumam Jade.
Maximo menangis lagi. Jade langsung menggendongnya, meletakkan kepala bayi itu ke bahunya.
"Sayang, sebenarnya kau kenapa?" Jade berbisik dengan bingung, dia hampir menangis karena merasa gagal menenangkan Maximo sejak tadi.
Jade lalu menyentuh telapak kaki Maximo, dan dia merasakan telapak kaki bayi itu sangat dingin.
"Jangan-jangan Maximo sakit perut," gumamnya.
Jade segera keluar dari kamar itu dan menemui pelayan. Dia meminta pelayan segera menelpon Adriano, tetapi pelayan itu malah sangat ketus padanya.
"Ini masih gelap. Tuan bisa marah jika ada yang mengganggunya!"
"Tuan Adriano tidak akan marah, katakan padanya bahwa aku harus membawa putranya ke dokter!" balas Jade dengan nada tajam. Dia sudah merasa muak dengan sikap para pelayan di mansion ini.
"Itu bukan urusanku, kau bisa menelponnya sendiri!"
"Jika aku memiliki nomornya, aku akan menelponnya sendiri!" sahut Jade.
"Kalau begitu cari saja sendiri," ucap pelayan itu acuh tak acuh.
Jade membuang nafas kasar. Dia berjalan mendekat dan berkata pelan, tetapi tajam. "Jika kau punya masalah denganku, katakan sekarang! Aku memintamu menelpon Tuan karena hal ini menyangkut putranya. Kau harusnya bisa bekerja dengan profesional, pelayan! Jangan berpikir kau adalah Nyonya di sini!"
Ucapan Jade yang tajam dan sedikit menusuk itu membuat pelayan tersebut langsung menatap nyalang.
Namun, sebelum pelayan itu sempat berkata, Jade menambahkan dengan penuh ancaman. "Aku akan katakan pada Tuan Adriano apa yang kau lakukan sekarang! Berdoalah beliau tidak akan murka padamu!"
Tanpa menunggu respon pelayan itu, Jade segera kembali ke kamar. Dia mengganti pakaian Maximo dengan yang lebih tebal dan tertutup.
"Semua pelayan di sini seperti ini terhadapku. Pasti sopir mansion juga sama, bukan? Mereka akan mengabaikanku," gumam Jade.
Jade akhirnya mengaktifkan ponselnya. Dengan ragu-ragu dia mencari sebuah kontak seseorang yang dia kenal. Tentu bukan Eric. Pemilik nomor itu adalah seorang pria yang lebih muda dua tahun dari Jade, dan pria itu pernah mengatakan sangat mencintainya.
"Ha-halo, Jordan." Jade berkata dengan gugup.
"Jade?" Suara Jordan terdengar hidup ketika mendengar suara Jade.
"Boleh aku meminta bantuanmu? Aku harus membawa bayi majikanku ke dokter, tapi tidak ada yang bisa mengantarku. Majikanku sedang sibuk," ucap Jade.
"Tentu saja, di mana kau sekarang? Aku akan langsung ke sana," sahut Jordan dengan cepat. Jade segera mengirimkan lokasinya pada pria itu.
Setelah panggilan berakhir, Jade segera menggendong Maximo keluar dari kamar. Dia melihat jam dinding yang sekarang menunjukkan pukul 5 pagi.
Jade melangkah dengan tenang di mansion itu meskipun para pelayan terlihat sinis padanya. Dia sudah tidak peduli, sebab setelah ini dia akan melaporkan kepada Adriano tentang sikap semua pelayan pria itu.
Begitu Jade tiba di depan, para sopir belum terlihat, hanya ada beberapa penjaga mansion yang juga acuh tak acuh padanya.
"Kau mau ke mana membawa putra Tuan?" tanya salah satu penjaga yang berada di dekat gerbang.
"Aku harus membawanya ke dokter. Sepertinya bayi ini sakit," jawab Jade.
"Apa Tuan sudah tahu?"
Jade menggeleng pelan. "Belum, aku tidak bisa menghubunginya."
"Kenapa kau tidak memberitahunya? Tuan bisa marah kau keluar tanpa izin membawa putranya."
"Aku tak bisa menghubunginya. Pelayan di mansion juga tidak mau menghubungi Tuan. Mereka mengabaikanku!"
Penjaga itu mengerutkan keningnya. "Benarkah? Kau jangan berbohong. Semua pelayan di sini sangat baik."
"Aku tidak berbohong," ucap Jade. "Awalnya aku juga berpikir mereka sangat baik, tetapi semakin lama sifat mereka semua semakin terlihat. Dan jika kau berkenan, tolong hubungi Tuan. Katakan padanya aku akan membawa Maximo ke dokter. Temanku akan mengantarku."
"Sopir akan mengantarmu. Kau tidak boleh pergi dengan orang lain. Tuan bisa marah," kata penjaga itu dengan tegas.
"Baiklah, kalau begitu kau panggilkan sopir kemari. Sekarang!" balas Jade tak kalah tegas.
Penjaga tersebut mengangguk, lalu segera menghubungi sopir yang masih berada di paviliun. Namun, berkali-kali penjaga itu menelpon, tak ada jawaban sama sekali.
"Bagaimana?" tanya Jade.
"Tidak ada yang menjawab panggilan telepon," jawab penjaga itu.
Jade tertawa sinis. "Kau harusnya beritahu Tuan tentang semua pekerjanya. Sia-sia saja Tuan membayar mereka."
Belum sempat penjaga itu merespon, dari luar terdengar klakson sebuah mobil. Pengemudinya segera turun dan berdiri di depan gerbang.
"Itu temanku, dia sudah tiba," kata Jade saat melihat Jordan tiba yang sedang mengintip melalui celah di gerbang.
Penjaga itu langsung menahan Jade yang hendak melangkah. "Kau tetap tidak boleh langsung pergi. Aku harus memberitahukan pada Tuan terlebih dahulu."
Jade menatapnya tajam. "Telpon sekarang. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama untuk membawa Maximo ke dokter!"
Penjaga itu segera menghubungi Adriano, tetapi tak ada jawaban sama sekali. Namun, dia tidak menyerah, dan terus menghubunginya, hingga panggilan keenam, pria itu menjawab panggilan telepon dari penjaga di mansionnya.
"Ada apa?" tanya Adriano. Penjaga itu langsung menjelaskan apa yang sedang terjadi.
"Berikan ponselmu padanya, aku akan bicara sendiri." Suara Adriano terdengar tegas dari ujung telepon.
Penjaga itu segera memberikan ponselnya kepada Jade. Dan, wanita itu langsung menjelaskan tentang Maximo.
"Apa temanmu sudah tiba di sana?" tanya Adriano.
"Sudah, Tuan," jawab Jade pelan. "Tolong izinkan aku membawa Maximo ke dokter sekarang. Aku rasa perutnya tidak nyaman. Telapak kakinya terasa dingin, dan itu bukan pertanda baik, Tuan."
"Baiklah, kau boleh meminta temanmu mengantarmu. Tapi beritahukan padaku ke dokter mana kau pergi, aku akan segera pergi ke sana sekarang!"
"Baik, Tuan." Dia juga menjelaskan di mana klinik dokter anak yang akan dia datangi, dan Adriano langsung mengatakan dia akan segera tiba di sana, karena posisinya tidak jauh dari klinik itu.
Jade mengembalikan ponsel penjaga itu sambil berkata, "Tolong berikan nomor Tuan padaku."
Penjaga itu mengangguk dan segera meminta Jade mencatat nomor Adriano ke ponselnya.
Setelah itu, penjaga tersebut segera membukakan gerbang untuk Jade. Jordan yang ada di luar langsung membukakan pintu mobil kepada wanita itu.
"Jordan, kita ke klinik tempat aku bekerja dulu," kata Jade.
Jordan mengangguk. "Ya, aku akan mengantarmu ke sana."
*
Menit berlalu..
Mobil Jordan berhenti di depan sebuah klinik yang sudah buka. Di sana juga ada mobil Adriano.
Begitu melihat Jade turun sambil menggendong Maximo, pria itu juga segera keluar dari mobilnya, dan berjalan mendekat.
"Tuan," sapa Jade dengan ramah. Adriano hanya menanggapi dengan anggukan pelan.
Mereka lalu masuk ke dalam klinik itu. Tempat itu terlihat sepi di pagi hari. Begitu mereka masuk, suara lonceng kecil di atas pintu berdenting lembut.
Seorang dokter wanita berusia sekitar lima puluh tahun, segera menoleh dari balik meja resepsionis. Wajahnya berbinar saat melihat kedatangan Jade.
"Oh, Jade." Dia menyapa dengan suara yang lembut. "Sudah lama sekali, aku hampir tak mengenalimu."
Jade tersenyum sopan. "Selamat pagi, Dokter Elcia. Senang sekali bisa bertemu dengan Anda lagi."
Dokter itu mendekat dan menepuk pelan bahu Jade, lalu menatap Adriano sekilas sebelum pandangannya jatuh pada bayi di pelukan Jade. "Dan ini pasti buah hati kalian?" tanyanya sambil tersenyum manis.
Jade terdiam sepersekian detik. Pipinya memanas, tapi sebelum sempat menjelaskan, Adriano sudah menimpali dengan suara datar, tetapi tetap terdengar sopan. "Dia putraku, Dokter. Namanya Maximo."
Dokter Elcia mengangguk lembut, tak tampak curiga sedikit pun. Masih tetap dengan salah paham yang sama. "Oh, betapa tampannya. Dia pasti sangat disayangi ibunya. Jade juga sosok wanita yang sangat keibuan."
Jade menunduk cepat, memilih diam dan hanya fokus menenangkan Maximo yang mulai rewel. Adriano sekilas meliriknya, memperhatikan wajah Jade yang memerah, dan entah kenapa, pemandangan itu menimbulkan rasa aneh di dadanya.
Mereka lalu masuk ke ruang pemeriksaan. Elcia dengan telaten memeriksa Maximo, memijat perut kecil itu perlahan.
"Perutnya sedikit kembung," kata Lucia akhirnya. "Tidak parah, tapi pasti membuatnya tidak nyaman. Kau tahu harus bagaimana, kan, Jade?"
Jade mengangguk paham. "Tentu saja, Dokter. Aku akan menghangatkan perutnya dengan minyak bayi dan memijat perlahan, lalu kubaringkan dengan posisi miring."
"Bagus, kau masih sama seperti dulu." Elcia tersenyum dan menatap Adriano. "Dia wanita yang hebat. Sosok keibuan, sangat penyayang. Dia sering menenangkan pasien anak-anak yang rewel. Sejak Jade berhenti bekerja, kami kehilangan sosok sepertinya."
Adriano mengangguk pelan. "Ya, aku bisa melihatnya," sahutnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Elcia menatap keduanya dengan senyum kecil yang ambigu, senyum yang membuat suasana jadi hangat sekaligus canggung.
"Kalian pasangan yang serasi," ujarnya sebelum berpaling kembali ke meja catatannya.
Jade tak berani menatap Adriano. Sementara pria itu hanya berdiri diam di sisi meja, pandangannya tertuju pada Jade yang tengah membenarkan selimut kecil Maximo. Kedua orang itu sepertinya sama-sama menikmati peran seperti yang dikatakan oleh Elcia, sehingga membiarkan salah paham ini mengalir begitu saja. Sedangkan Jordan yang berada di ambang pintu hanya mendengarkan dengan wajah yang sendu.
...****************...