NovelToon NovelToon
Once Mine

Once Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Percintaan Konglomerat / Obsesi / Romansa / Slice of Life / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Just_Loa

Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.

Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.

Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.

Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.

"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"

Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

What Lingers

Rumah Clara malam itu dipenuhi cahaya hangat dan aroma parfum mahal yang samar-samar menggantung di udara. Di lantai dua, tawa tiga gadis terdengar bersahutan, berpadu dengan denting lembut lagu klasik dari speaker yang terhubung ke playlist Clara.

Vivienne tengah berjuang memoles maskara sambil sesekali menoleh ke arah Sara yang duduk di depan cermin besar. Clara, dengan sigap dan luwes, menyempurnakan gaya rambut sahabatnya, menyisir lembut helaian rambut Sara yang ditata setengah sanggul, membiarkannya jatuh sedikit menggoda di sisi wajah.

"Kau tahu," gumam Clara tanpa mengalihkan pandangan dari rambut Sara, "aku merasa pesta malam ini akan... entah bagaimana, terasa berbeda."

"Kau bilang begitu setiap kali kita dandan," sahut Vivienne sambil tertawa pelan. "Tapi kali ini aku setuju. Ini bukan pesta biasa."

Sara tak menjawab. Ia hanya menatap bayangannya di cermin, gaun maroon yang pas di tubuhnya, kalung tipis pemberian ibunya, dan mata yang sedikit lebih sendu dari biasanya. Semua terasa biasa... tapi juga tidak.

"Lucien akan datang, tentu saja," tambah Vivienne. "Tapi dia bukan alasan kita tampil sebaik ini."

Clara menatap Sara di cermin. "Tapi dia alasan kau tidak bisa tidur seminggu ini, bukan?, oh atau bahkan Nathaniel pemilik acara malam ini?"

Sara hanya menghela napas, ringan.

"Bukan mereka," jawabnya pelan. "Mungkin hanya... sesuatu yang belum selesai di dalam kepala."

Ucapan itu membuat keduanya saling pandang, tapi tak ada yang mendesak. Mereka sudah cukup lama mengenal Sara untuk tahu: ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan diam, setidaknya untuk malam ini.

Tak lama kemudian, ketiganya turun ke lantai bawah, langkah sepatu mereka bergema ringan di tangga kayu yang mengilap. Di ruang tengah, ibu Clara, Elodie menunggu dengan secangkir teh dan senyum penuh pengertian.

"Kalian semua sangat cantik," ucapnya lembut. "Hati-hati di jalan, mes chéries."

"Merci, Maman," sahut Clara sambil mencium pipinya. "Kami tak akan pulang terlalu larut."

Sara mengangguk sopan, menerima jaket tipis dari tangan wanita itu. "Merci pour l'hospitalité."

Setelah berpamitan, mereka bertiga masuk ke dalam mobil Clara. Suara pintu tertutup, lalu mesin menyala. Di dalam mobil, atmosfer berubah menjadi sedikit lebih tenang, tapi juga penuh ekspektasi yang tak diucapkan.

Lampu-lampu kota memantul di kaca depan, membiaskan warna keemasan ke kulit mereka. Di antara alunan musik klasik yang lembut, Vivienne akhirnya berkata:

"Aku penasaran... menurut kalian, siapa yang akan berubah duluan? Kita, atau dunia di sekitar kita?"

"Pertanyaan macam apa itu?" tanya Clara.

"Pertanyaan malam pesta." Vivienne tersenyum. "Yang biasanya punya jawaban di akhir lagu terakhir."

Sara memandangi jendela, matanya kosong namun hidup. Ia tidak tahu jawabannya. Tapi malam itu... entah kenapa, segalanya memang terasa berbeda.

Mobil melaju menuju pesta menuju arah yang diam-diam akan mengubah arah hidup mereka semua.

****

Ballroom Hôtel Étoile Blanche malam itu tampil dengan nuansa maskulin yang elegan gelap, tenang, dan berkelas. Warna hitam pekat, abu-abu arang, dan aksen emas mendominasi ruangan. Lampu gantung industrial bergaya modern menjuntai dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya lembut ke marmer lantai yang mengilap. Dinding-dinding dihiasi karya seni abstrak dalam bingkai besi, dan sudut-sudut ruangan diisi sofa kulit gelap serta coffee table kaca yang memberi kesan lounge eksklusif.

Musik jazz instrumental mengalun pelan, menambah suasana hangat namun tetap mewah. Para tamu berdatangan dalam balutan setelan formal dan gaun elegan, bukan hanya siswa kelas akhir, tapi juga beberapa senior lulusan sebelumnya, termasuk pelajar seangkatan Sara yang memenuhi sisi-sisi ballroom.

Di sisi kiri ruangan, Nathaniel berdiri bersama Lucien dan Rayner, dua sahabat lamanya. Mereka tertawa ringan, gelas-gelas kristal di tangan.

"Pestamu malam ini bisa masuk headline Saint-Céleste besok," celetuk Lucien sambil meneguk minumannya.

Rayner mengangguk setuju. "Serius. Bahkan beberapa dosen ikut datang. Ini bukan pesta biasa, Nate."

Nathaniel hanya mengangkat bahu santai. Ia mengenakan setelan hitam tanpa dasi dengan kemeja charcoal yang terbuka satu kancing. Jam tangannya berkilau samar di bawah cahaya lampu, dan gaya berjalannya tetap tenang, seperti tak pernah terburu waktu.

Tiba-tiba Lucien menoleh ke arah pintu masuk dan memberi isyarat kecil dengan dagunya. "Lihat ke sana."

Nathaniel memutar tubuh pelan. Dan di sanalah dia-

Sara.

Ia melangkah masuk bersama Clara dan Vivienne. Rambut hitam kecokelatannya digerai sebagian, dibiarkan jatuh lembut di bahu. Gaun maroon polos yang ia kenakan sederhana, tapi justru membuatnya terlihat jauh lebih memikat daripada siapa pun di ruangan itu.

Nathaniel tak berkata apa-apa. Matanya mengikuti langkah gadis itu, napasnya sempat terhenti sebentar. Tanpa banyak bicara, ia menyelipkan seikat kecil bunga peony putih dari dalam jasnya, lalu melangkah mendekat.

"Sara," sapanya tenang, suara rendahnya nyaris tenggelam oleh riuh pesta. "Terima kasih kalian sudah datang."

Sara tersenyum sopan. "Dua hal besar sekaligus hari ini. Congratulation Nathaniel."

Clara dan Vivienne menyusul mengucapkan hal serupa. "Pestanya luar biasa, Nate" ujar Clara.

"Elegan sekali," timpal Vivienne dengan nada ringan.

Nathaniel mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya kembali pada Sara. "Aku senang kalian datang. Tapi..." ia menyodorkan bunga peony itu ke arah Sara, "khusus yang ini, memang kutunggu-tunggu."

Sara terdiam sejenak saat menerima bunga itu. Kelopak peony putih tampak kontras di tangannya, cantik, lembut, tak terduga.

"Peony?" bisik Sara, alisnya sedikit terangkat saat menerima bunga itu.

Tangannya masih menggenggam lembut batang bunga putih itu, seolah mencoba memahami maksud di baliknya.

"Aku bahkan tak pernah terpikir kamu bisa melakukan hal seperti ini."

Nada suaranya ringan, tapi matanya meneliti Nathaniel, antara heran, penasaran, dan... sedikit menggoda.

Nathaniel tak langsung menjawab. Ia hanya menyunggingkan senyum samar dingin, menekan, seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat ia buka malam ini.

Nathaniel menyunggingkan senyum samar, tipis, nyaris menantang.

"Mungkin kau memang belum benar-benar mengenalku."

Sara masih menatap bunga itu, tak langsung menjawab. Tapi genggamannya cukup erat untuk menunjukkan: ia belum tahu harus membacanya sebagai apa.

Clara dan Vivienne saling pandang lalu cepat-cepat mencari celah.

"Kami ke buffet dulu, ya," ujar Clara.

"Sebelum kehadiran kita disalahartikan," seloroh Vivienne ringan.

Sara sempat menoleh ke mereka lalu tersenyum kecil, membiarkan kedua temannya berpamitan.

Begitu Clara dan Vivienne berlalu, suasana menjadi berbeda. Nathaniel tidak langsung bicara, ia hanya menatap Sara... lama.

"Gaun itu... benar-benar cocok untukmu."

Sara menunduk menatap bunga di tangannya, lalu menoleh lagi padanya.

"Sebenarnya aku hampir memutuskan untuk tidak datang malam ini."

Nathaniel mengangkat alis sedikit.

"Kenapa?"

Satu kata itu meluncur begitu saja, tapi Sara bisa merasakan sesuatu di baliknya entah ketertarikan, atau pertanyaan yang lebih dalam dari sekadar alasan pesta.

Sara menarik napas tipis. "Pesta seperti ini... bukan tempat yang membuatku nyaman."

Nathaniel menatapnya lebih lama, seakan mencoba membaca lebih dari sekadar ucapannya.

"Aku bisa mengerti itu. Tapi tetap saja... ketika aku berpikir tentang malam ini, kau adalah bagian yang paling aku harap muncul. Tempat ini mungkin terlalu ramai, terlalu bising tapi kehadiranmu, justru yang membuatnya terasa berarti."

Sara diam sesaat, tak buru-buru menanggapi. Matanya hanya menatap bunga di tangannya, seolah mencari makna lain di balik tiap kelopaknya.

"Aku bukan bagian dari dunia ramai itu, Nathaniel."

Nadanya datar, tapi tidak sepenuhnya dingin. "Dan kau tahu itu."

Nathaniel mengangguk pelan. "Justru karena itu... kau terlihat paling nyata di antara semua hal yang hanya bersinar di permukaan."

Tatapan mereka bersitatap. Hening, padat, dan tak terganggu suara pesta di sekeliling.

Sara menelan napas, lalu berkata pelan, "Jangan berharap terlalu banyak dari seseorang yang bahkan belum tahu ke mana harus melangkah."

Nathaniel menyunggingkan senyum tipis, agak getir. "Aku tidak butuh arah, Sara. Aku cuma butuh alasan untuk tetap tinggal."

Sara menatapnya lekat, ada keraguan di sana... atau mungkin kehati-hatian yang sudah terlalu sering ia pakai sebagai tameng.

Nathaniel menatap Sara sesaat lagi sebelum akhirnya berkata dengan suara tenang,

"Kau nikmati pestanya, ya. Aku harus mulai acaranya sekarang."

Sara mengangguk kecil.

Acara dimulai dengan sambutan dari Nathaniel sebagai tuan rumah, menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran teman-temannya di malam spesial yang merayakan dua momen sekaligus: ulang tahun ke-18-nya dan kelulusan dari tingkat kelas akhir.

Setelah itu, diikuti oleh pemutaran video singkat berisi kilas balik perjalanan Nathaniel di sekolah, disusul tepuk tangan meriah dari para undangan. Sesi berikutnya adalah pemotongan kue, diiringi nyanyian selamat ulang tahun dalam versi lembut oleh band akustik yang tampil di pojok ruangan.

Meski ramai dan meriah, tatapan Nathaniel beberapa kali melayang ke arah satu titik di kerumunan: tempat di mana Sara berdiri diam, tampak tenang namun bersinar.

1
Mar Lina
akankah sara menerima cinta, Nathaniel
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
Just_Loa: siap kak trmakasih sdh mmpir 🧡
total 1 replies
Mar Lina
aku mampir
thor
Synyster Baztiar Gates
Next kak
Synyster Baztiar Gates
lanjutt thor
Synyster Baztiar Gates
Next..
Synyster Baztiar Gates
Bagus thor
iqbal nasution
oke
Carrick Cleverly Lim
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
Just_Loa: Hahaha makasih udah baca sampai malam! 🤍 Next chapter lagi direbus pelan-pelan biar makin nendang, yaaa 😏🔥 Stay tuned!
total 1 replies
Kuro Kagami
Keren, thor udah sukses buat cerita yang bikin deg-degan!
Just_Loa: Makasih banyak! 🥺 Senang banget ceritanya bisa bikin deg-degan. Ditunggu bab-bab selanjutnya yaa~ 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!