Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa asing
Hari menjelang Senja, Kirana duduk di kursi roda memandangi kolam ikan di halaman belakang. Sesekali, tangannya melemparkan makanan ikan ke tengah kolam. Namun, pikirannya jauh masuk ke dalam memori yang terkunci.
Sebetulnya apa yang terjadi dalam sepuluh tahun ini? Bagaimana dirinya bisa banyak berubah?
Selain pakaian tadi, Kirana juga melihat kosmetik dalam jumlah banyak di atas meja rias. Semua warnanya terlihat mencolok. Kirana tidak mengerti. Bahkan banyak dari alat rias di sana, yang ia sendiri tidak tahu cara memakainya.
Dan, kenapa tidak ada peralatan lukis di antara barang pribadinya? Yang ada, hanya peralatan yang dibelikan Barra saat di rumah sakit.
"Bu, betul semua itu barang-barangku?" tanya Kirana untuk kesekian kalinya pada bu Wulan.
"Iya lah, Mba. Itu semua dibawa dari apartemen lama mba Kirana. Kalau bukan punya Mba, lalu punya siapa lagi?"
Ooh, jadi aku sebelumnya tinggal di apartemen.
Kepala Kirana semakin berdenyut. Ia menggelengkan kepalanya.
"Lalu, alat lukisku?"
"Lha, kok tanya? Tadi 'kan sama pak Herman di taruh di kamar. Memang, Mba gak lihat?"
"Bukan yang dari rumah sakit. Tapi yang ada di rumah. Cat minyak, kanvas."
"Mba Kirana ini ngomong apa sih? Alat lukis yang Mba Kirana punya, ya yang dari rumah sakit. Sebelum di rumah sakit, saya gak pernah lihat Mba Kirana melukis."
Apa?! Aku tidak pernah melukis. Tidak mungkin!
Kirana selalu menggambar dan melukis. Ia sudah mulai belajar menggambar dari sejak ia bisa mengingat. Bagaimana mungkin ia bisa berhenti begitu saja. Melukis bagi Kirana sudah seperti nafas.
Apa lagi yang berubah? Kirana memandangi jari-jarinya.
Tiba-tiba, Kirana merasa asing dengan dirinya sendiri.
Belum lagi, pernikahannya dengan Barra. Kirana betul-betul gagal paham. Pasangan suami istri seperti apa yang tidak pernah tidur satu kamar? Dan, menurut bu Wulan, dirinyalah yang menolak satu kamar dengan Barra.
Pernikahan macam apa yang sedang dijalaninya bersama Barra? Hubungan seperti apa yang dimilikinya dengan Barra?Apakah mereka menikah atas dasar saling mencintai atau ada alasan lain? Apakah dirinya mencintai Barra? Atau, apakah Barra mencintai dirinya?
"Hanya sampai dia lebih baik. Setelah itu, kau harus melanjutkan rencana. Tinggalkan Kirana!"
Ucapan Bu Tanti terngiang-ngiang di telinga Kirana.
Apakah pernikahanku dengan Mas Barra sudah kandas sebelum dimulai? Apakah tidak pernah ada cinta di antara kami? Karena itu, Mas Barra berencana meninggalkanku.
"Huuuh...," Kirana menghembuskan nafas kasar. Ia coba mengingat apa yang terjadi dengan hubungan mereka. Kosong. Tidak ada sama sekali. Seberapa keras ia berusaha, hasilnya nihil.
Tidak ada memori tentang pernikahannya dengan Barra. Apalagi ingatan tentang retaknya hubungan mereka. Yang terjadi denyutan di kepala Kirana semakin terasa.
Tadi, Kirana mencoba menggali informasi lebih dalam dari bu Wulan. Bu Wulan menolaknya mentah-mentah.
"Aduh Mba! Sudah dong! Mba mau saya dikulitin sama Mas Barra. Kalau Mba sakit kepala lagi gimana?"
"Aku 'kan sudah bilang aku bukan mau mengingat tapi hanya ingin tahu... " rayu Kirana.
"Sama Mba! Sama! Ingat kek, tahu kek. Sama saja!!"
"Beda Bu!" Kirana terus mencoba.
"Gak bisa Mba. Kalau Mba mau tahu, tanya saja Mas Barra!"
Kirana tahu percuma merayu bu Wulan lagi. Kirana juga tidak mungkin bertanya pada Barra. Entah kenapa, ia yakin suaminya itu tidak akan menceritakan apa-apa.
Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Barra sudah pulang. Kirana bergegas ke depan menyambut suaminya.
"Sudah pulang Mas?" Kirana menghampiri Barra.
Mata Barra terpaku melihat Kirana. Kirana memakai celana legging hitam dan kaos oversize. Kaos miliknya. Rambut Kirana di kepang ala kadarnya. Sudah lama, Barra tidak melihat penampilan Kirana seperti ini.
"Hehehe, maaf ya Mas. Aku pinjam kaosnya Mas Barra. Soalnya kaosku kesempitan semua," cengenges Kirana.
Akhirnya, tadi Kirana meminta bu Wulan mengambilkan baju Barra. Kirana berpikir, daripada tidak nyaman, lebih baik pinjam baju suaminya.
Bara menautkan alisnya. Ia lalu mendorong kursi roda Kirana ke dalam.
"Sudah makan?"
"Sudah tadi siang. Mas sudah makan?"
"Sudah," jawab Barra singkat.
Sepanjang malam, Barra kembali bersikap dingin pada Kirana. Seperti di rumah sakit, Barra tidak banyak berbicara. Mereka menghabiskan makan malam dalam diam. Hanya suara denting sendok yang terdengar.
Setelah makan, Barra menghabiskan waktu di ruang TV. Kembali berkutat dengan laptop dan kertas. Sementara, Kirana menggambar di meja makan.
Kirana menguap. Matanya terasa berat. Ia lalu merapikan alat gambarnya, memutar roda menuju kamarnya.
"Kira...," panggil Barra saat Kirana melewati ruang TV.
Barra berdiri kemudian menghampiri Kirana.
"Ini... " Barra memberikan ponsel keluaran seri terbaru.
"Ini HP Mas?" tanya Kirana membolak-balik benda di tangannya.
"HP mu hancur saat kecelakaan. Aku ganti baru. Di dalamnya ada nomorku dan bu Wulan."
Kirana menyalakan layarnya.
"Sepertinya jauh lebih canggih dari punyaku ya Mas? Ini ada setting biometrik dan sidik jari. Aku gak ngerti cara pakainya." Kirana memperlihatkan deretan giginya yang putih pada Barra.
Barra berjongkok di depan Kirana. Mengambil ponsel dari tangan Kirana.
"Apa maksudmu? Ini seri yang sama seperti punya..." Barra berhenti seperti baru menyadari sesuatu.
Ia mengangkat wajahnya ke arah Kirana. Kirana tersenyum.
"Aku akan mengajarimu cara memakainya," Barra berkata pelan seakan takut menyakiti Kirana.
"Iya, Mas."
Barra dengan detail memberitahu Kirana cara menggunakan ponsel canggih itu. Ia masih berjongkok di samping kursi roda Kirana. Tangannya dengan lincah menggeser layar menjelaskan aplikasi yang bisa digunakan.
Kirana tidak berkedip. Bukan memperhatikan layar ponselnya, Kirana lebih banyak melihat wajah Barra.
"Di sini juga ada aplikasi untuk belanja online. Aku sudah isi saldonya, jadi nanti kamu tinggal berbelanja. Kamu pilih saja barang yang kamu butuhkan. Baju misalnya. Bajumu banyak yang kesempitan 'kan?" Barra memperlihatkan aplikasi berwarna oren.
"Heheh, iya Mas. Sepertinya bajuku banyak yang harus diganti, aku gak mungkin pinjam baju Mas terus."
Barra melihat ke arah mata Kirana. Kirana balas menatap Barra.
1, 2, 3, 4, 5.... Kirana menghitung dalam hati.
Barra belum memutuskan pandangannya.
" Ehem... " Akhirnya Barra mengalihkan pandangannya kembali ke layar ponsel.
Kirana sudah menghitung lebih dari 60.
"Jadi ada yang bingung?" tanya Barra mendadak
"Enggak Mas. Sudah jelas."
Hening. Aura kecanggungan sangat tebal terasa
"Mau tidur?" tanya Barra lagi.
Kirana mengangguk. "Ngantuk."
"Perlu bantuanku?"
"Tidak usah, Mas. Aku bisa sendiri kalau hanya dari kursi roda ke tempat tidur."
Kirana melihat ada sedikit raut kekecewaan di wajah Barra.
"Kata dokter, aku harus sering latihan. Gak boleh malas."
"Ya sudah. Selamat tidur!" Barra berbalik, duduk kembali di depan laptopnya.
Kirana memutar roda, masuk ke dalam kamar kemudian menutup pintu di belakangnya.