Niat hati hanya ingin membalas perbuatan sepupunya yang jahat, tetapi Arin justru menemukan kenyataan yang mengejutkan. Ternyata kemalangan yang menimpanya adalah sebuah kesengajaan yang sudah direncanakan oleh keluarga terdekatnya. Mereka tega menyingkirkan gadis itu demi merebut harta warisan orang tuanya.
Bagaimana Arin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nita kinanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Duka
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi ibu anda tidak tertolong," ucap dokter yang menemui Arin.
Lalu dokter itu mengantar Arin ke kamar mayat untuk melihat kondisi Darsih yang terakhir kalinya.
Arin sangat terpukul. Di depan kamar mayat Arin meneteskan air matanya. Ini seperti dejavu bagi Arin. Dulu ketika mamanya meninggal, dia juga menangis sendirian di depan kamar mayat seperti sekarang.
Dokter menjelaskan jika Darsih meninggal karena mengalami pecah pembuluh darah di otak. Arin hanya bisa menerima kenyataan ini. Sejak awal Arin tahu Darsih menderita hipertensi, dan salah satu resiko penderita hipertensi adalah pecah pembuluh darah.
Arin segera mengurus administrasi agar bisa membawa jenazah Darsih pulang. Tetapi seketika Arin tersadar, siapa yang memberi tahu dirinya jika Darsih berada di rumah sakit?
Lalu siapa yang memegang handphone ibunya jika perawat yang mengurus Darsih tidak melihat handphone atau barang apapun bersama Darsih ketika ibunya itu tiba di sana?
Arin menginterogasi perawat yang sebelumnya mengurus Darsih. Dari keterangan perawat itu, Arin tahu jika ibunya tiba di rumah sakit diantar oleh sopir taksi, dalam kondisi tidak sadar. Ternyata Darsih sudah dalam kondisi kritis, lalu meninggal tidak sampai dua jam kemudian.
Dokter menyatakan jika penyebab meninggalnya Darsih murni karena pendarahan otak. Arin percaya karena dia sendiri melihat tidak ada yang aneh dengan jasad Darsih.
Tidak ada barang apapun yang dibawa bersama Darsih, entah itu tas, dompet atau handphone. Pihak rumah sakit sampai bingung bagaimana caranya memberi tahu pihak keluarga karena tidak ada informasi sama sekali tentang Darsih hingga akhirnya Arin datang.
Untuk sementara Arin kesampingkan soal itu. Yang terpenting saat ini adalah membawa jenazah ibunya pulang lalu memakamkannya.
* * *
Arin kembali ke rumahnya setelah selesai pemakaman. Tetangga-tetangga yang tadi datang untuk melayat juga sudah pulang.
Ini benar-benar dejavu. Arin kembali tinggal sendirian di rumah itu. Bahkan rasanya sama persis seperti waktu itu. Sedih dan sendirian. Bedanya dulu Darsih datang memberi ketenangan. Lalu siapa yang akan datang menenangkan Arin sekarang?
Air mata Arin kembali menetes. Dia teringat kebaikan Darsih yang menyayangi dirinya seperti anaknya sendiri. Hanya dia yang mau menerima Arin ketika semua orang membuangnya.
Arin menyesalkan kenapa sampai akhir hayat ibunya dia tidak bisa membawa ibunya itu tinggal di rumah yang lebih layak. Arin benar-benar merasa tidak berguna.
"Maafkan Arin, Bu," isak Arin dalam kesendiriannya.
Belum puas Arin menangis, terdengar suara pintu di ketuk. Arin segera mengusap air matanya lalu memakai kembali kacamata hitam yang sebelumnya dia pakai di pemakaman. Meskipun mungkin itu tidak sopan tapi Arin akan tetap memakainya. Arin tidak ingin siapapun itu yang datang melihat mata sembabnya.
"Arin, bagaimana keadaanmu? Om datang begitu Om mendengar berita tentang Darsih. Om turut berduka cita atas kepergian Darsih," ucap Pandu yang sudah berdiri di depan pintu. Di belakangnya berdiri Fatma, Tania dan juga Gama.
Arin mengangguk. "Terima kasih, Om. Silahkan masuk."
"Om tahu dari pembantu di rumah, katanya Darsih meninggal. Apa Darsih mengatakan sesuatu kepadamu?" tanya Pandu setelah mereka duduk di ruang tamu.
Arin menggeleng. "Mengatakan apa maksud Om?"
"Ada beberapa orang yang sebelum meninggal memberikan wejangan atau semacam pertanda. Apa Darsih juga seperti itu?"
"Papa, ini pertanyaan apa, sih?!" senggol Fatma yang merasa aneh dengan pertanyaan yang diajukan suaminya.
"Tidak ada. Pagi tadi ibu baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda apapun. Hanya saja ... " Arin tidak melanjutkan kalimatnya. Dia teringat kata-kata aneh dari ibunya pagi tadi, sebelum dirinya pergi. Apa itu yang dimaksud pertanda?
"Hanya saja apa, Rin?" tanya Pandu ingin tahu apa yang akan dikatakan Arin.
"Hanya saja ibu mengatakan jika dia ada janji bertemu dengan temannya. Tapi aku tidak tahu siapa," tutur Arin tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Oh... Begitu. Dia tidak cerita siapa nama temannya itu?" tanya Pandu lagi yang kemudian membuat laki-laki itu kembali disenggol istrinya.
"Papa, apa-apaan, sih? Bertanya sampai sedetail itu?!" bisiknya geregetan.
"Papa hanya penasaran." Pandu balas berbisik.
Pandu dan Fatma sibuk dengan perdebatan kecil mereka, sementara Tania hanya diam dan terlihat tidak nyaman. Maklum saja, ruang tamu Arin sangat sempit dan mereka duduk berdesakan di sebuah sofa yang sebenarnya hanya muat dua orang.
Sementara Gama, laki-laki itu lebih memilih untuk berdiri. Selain karena tidak ada tempat duduk lagi, laki-laki itu juga sedang mengamati.
Arina Putri Laksmana, direktur PT. Aji Saka Garmen, tinggal di sebuah gubuk reyot dan ternyata anak seorang pembantu. Tetapi di saat bersamaan dia juga keponakan pengusaha kaya raya Pandu Laksmana, calon mertuanya.
Gama tidak mengerti apa yang dia lewatkan di sini? Kenapa hubungan mereka aneh sekali? Yang dia tahu hanyalah Arin adalah sepupu Tania. Hanya saja, Tania kaya dan Arin miskin, karena itu hubungan mereka tidak dekat, itu saja, titik.
Mana Gama tahu jika Darsih Darsih yang mereka bicarakan kemarin malam itu ternyata ibunya Arin dan ternyata hanya seorang pembantu, yang kebetulan hari ini meninggal.
Bagaimana pula keluarga Tania bisa tidak tahu jika Arin adalah seorang direktur perusahaan besar? Kenapa pula Arin yang seorang direktur mau tinggal di gubuk reyot seperti ini?
"Ini rumit sekali," batin Gama tidak mengerti.
Soal kenapa keluarga Arin bisa miskin sementara keluarga Tania kaya raya, sebelumnya Gama juga tidak peduli. Tetapi sekarang itu menjadi poin pertama yang harus dia cari tahu.
Sudut pandang Gama terhadap Arin berubah sejak pertemuan di ruang meeting tadi pagi. Gama jadi ingin tahu semua hal tentang Arin. Perempuan yang tadinya dia anggap perempuan gatal itu ternyata menyimpan sejuta misteri.
Arin hanya diam tidak begitu menanggapi orang-orang ini. Dia juga tidak peduli jika di depannya ada Gama. Bahkan pikiran tentang balas dendam pun seperti hilang. Hidupnya di kota ini seperti berhenti seiring dengan kepergian Darsih.
Pikiran Arin fokus ke almarhum ibunya, kejanggalan tentang handphone dan siapa yang memberitahu dirinya. Arin yakin ada sesuatu yang tidak beres tentang kematian ibunya.
Darsih pamit akan bertemu temannya. Tetapi dimana temannya itu sekarang? Kenapa dia mengirim Darsih ke rumah sakit sendirian? Kenapa temannya itu tidak mendampingi ibunya? Apakah dia yang menyimpan handphone ibunya saat ini?
Ini bukan soal handphone, tapi ada sesuatu yang menurut Arin janggal dan memerlukan jawaban.
Setelah berbasa-basi selama beberapa saat, akhirnya Pandu sekeluarga pamit. Satu persatu orang-orang itu bersalaman dengan Arin. Hingga tiba giliran Gama yang terakhir.
"Turut berdukacita... " Gama menggantungkan kalimatnya.