Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Titah dari Ratu
Dua pasukan telah saling berhadapan dengan jarak sejangkauan anak panah. Semuanya pasukan infanteri, hanya para komandan yang menunggang kuda.
Pasukan itu adalah pasukan gabungan dari Kerajaan Sanggana Kecil dan Kerajaan Pasir Langit. Di seberang tanah sana adalah Pasukan Keamanan Kadipaten, tepatnya Kadipaten Ombak Lelap.
Drap drap drap…!
Penyair Ngik Ngok memacu kudanya sendirian meninggalkan rombongannya. Pendekar gemuk itu menuju ke arah kereta kuda milik Kentang Kebo.
Beberapa prajurit panah di barisan prajurit kadipaten segera menarik senar busurnya dengan panah siap dilepas kepada Penyair Ngik Ngok. Namun, Kentang Kebo yang tahu gelagat prajuritnya segera angkat tangan kanannya memberi tanda.
“Tahan!” seru Komandan Ulung Gabah menerjemahkan maksud junjungan barunya.
Sejumlah prajurit panah itupun mengendorkan senar busurnya.
Penyair Ngik Ngok dibiarkan datang mendekat ke depan kuda kereta. Penyair Ngik Ngok kemudian menghentikan lari kudanya dua tombak dari kereta kuda.
“Ngik Ngok! Apakah kau yang bernama Kentang Kebo?” tanya Penyair Ngik Ngok tanpa basa dan basi, setelah dia memanggil Kentang Kebo dengan sebutan “Ngik Ngok”.
“Kau menyebutku apa?” tanya Kentang Kebo yang merasa terganggu hatinya dengan sebutan “Ngik Ngok” yang ditujukan padanya.
“Ngik Ngok,” jawab Penyair Ngik Ngok. Lalu pendekar berjubah biru itu berkata, “Tidak usah marah, semua yang tidak aku kenal pasti aku panggil Ngik Ngok.”
“Hahaha!” tawa pendek Kentang Kebo.
“Hahaha…!” tawa Suoto dan Marno lebih panjang. Tawa mereka bertujuan agar junjungannya senang karena ditemani tertawa.
Pak pak!
Terkejut Suoto dan Marno dengan tawa yang berhenti mendadak dan kepala terhentak turun tiga inci. Mereka seketika kompak menengok ke belakang, kepada Kentang Kebo. Itu karena mereka merasakan bahwa kepala mereka dipukul tangan, padahal visualnya tidak ada siapa pun atau benda apa pun yang memukul kepala mereka.
“Ini percakapan orang sakti, jangan ikut-ikut ketawa!” larang Kentang Kebo, datar tapi mengancam.
“Ba-ba-baik, Gusti Pendekar!” jawab Suoto dan Marno mendadak gagap dan takut. Sejak itu, keduanya pun komitmen di dalam hati untuk tidak tertawa atau berkata selagi percakapan orang sakti sedang berlangsung.
Komandan Ulung Gabah yang duduk di punggung kudanya tidak jauh di sisi kereta, juga jadi tidak berani aduk campur.
Melihat insiden kecil atas kedua Abdi itu, Penyair Ngik Ngok segera dapat menyimpulkan salah satu jenis kesaktian Kentang Kebo.
“Ngik Ngok!” panggil pendekar gendut berkumis melintang itu.
“Hei! Kau sudah tahu namaku, jangan memanggilku dengan nama jelek itu!” hardik Kentang Kebo tiba-tiba, tapi wajahnya hanya menunjukkan sedikit kemarahan.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, apakah kau orang yang bernama Kentang Kebo atau Kentang Goreng,” tandas Penyair Ngik Ngok.
Terbeliak mata Kentang Kebo karena disebut Kentang Goreng. Sementara Suoto dan Marno yang masih merasa sakti, mengepal tangannya menjadi tinju dan memukul-mukulkannya ke telapak tangan kiri dengan ekspresi marah dan mata mendelik-delik. Mereka seperti sedang menakut-nakuti seorang bocil gendut.
Namun, Penyair Ngik Ngok mengabaikan kedua Abdi itu. Dia lebih fokus kepada Kentang Kebo yang dia ketahui berkesaktian tinggi.
“Iya, aku yang bernama Kentang Kebo. Lalu, kau mau apa, hah?!” aku Kentang Kebo, lalu menantang seperti anak kecil sedang bermusuhan.
“Aku Penyair Ngik Ngok menyampaikan!” seru Penyair Ngik Ngok dengan nada seperti orang bersyair. Dia meneruskan seruannya, “Penguasa Kerajaan Pasir Langit, yakni Gusti Ratu Negeri Jang, yang juga bergelar Dewi Bunga Pertama Kerajaan Sanggana Kecil, memerintahkan untuk menghukum mati di tempat orang yang bernama Kentang Kebo karena kejahatannya!”
“Hahaha…!” tawa Suoto dan Marno tiba-tiba, meski mereka sudah dilarang untuk tertawa.
Pak!
“Akk!” jerit Suoto dan Marno tiba-tiba pula setelah kepala mereka terhentak ke bawah seperti ada yang memukul dengan keras, tapi tidak tampak objek yang memukul. Suara hantaman ke kepala mereka pun terdengar dengan jelas.
“Sudah aku larang kalian tertawa!” bentak Kentang Kebo dengan nada yang marah.
“Mohon ampuni hamba, Gusti Pendekar!” ucap Marno cepat seraya membalik posisi duduknya dan menjura hormat kepada Kentang Kebo di belakang.
“Orang gendut itu bicaranya lucu, Gusti Pendekar. Bicaranya seperti orang gendut,” kata Suoto pula, tapi tidak minta ampunan kepada junjungannya.
Suoto dan Marno memang tidak mampu menahan tawanya. Bagi mereka selaku orang desa biasa, cara bicara Penyair Ngik Ngok sangat aneh dan lucu.
“Sekali lagi kalian tertawa, akan aku lempar kalian kepada pasukan musuh,” ancam Kentang Kebo.
“Ja-ja-jangan, Gusti Pendekar,” ucap Marno cemas.
“Suap, Gusti Pendekar!” Suoto justru berteriak. Ketakutannya seolah-olah seketika raib digondol bajing. “Sekarang aku sudah sakti seperti Gusti Pendekar. Aku pasti bisa menghancurkan pasukan musuh dengan mudah!”
“Hahaha! Baiklah, Suoto!” kata Kentang Kebo yang didahului dengan tawanya. Sepertinya dia terhibur oleh tingkah Suoto yang memang masih merasa sakti.
Marno hanya terbeliak melihat lagak Suoto.
“Kisanak Ngik Ngok!” seru Kentang Kebo kepada Penyair Ngik Ngok. “Kalian sudah tahu siapa yang bernama Kentang Kebo. Aku siap melawan semua pasukan dan pendekar yang diutus oleh Istana sebagai algojo untukku!”
“Sebelum penghukumanmu dilakukan, jawablah satu pertanyaan. Apa yang telah kau perbuat kepada keluarga Gusto Adipati Kubis Ganda?” kata Penyair Ngik Ngok, tetapi kali ini perkataannya tidak seperti sedang bersair.
“Aku tidak bertemu mereka. Mereka sudah menyelamatkan diri sebelum aku menemukannya,” jawab Kentang Kebo jujur.
“Baiklah!” seru Penyair Ngik Ngok.
Dia lalu memutar balik arah kudanya, lalu melaju dengan kencang.
Dap drap drap…!
Penyair Ngik Ngok kembali kepada pasukan. Kentang Kebo dan pasukannya membiarkan. Mereka menunggu dengan sabar prosesnya.
“Maaf, Gusti,” ucap Komandan Ulung Gabah.
“Hmm?” gumam Kentang Kebo.
“Apakah kita akan berperang?” tanya Ulung Gabah.
“Mereka ingin membunuhku. Jadi aku harus menggunakan pasukanku untuk melindungiku,” jawab Kentang Kebo.
“Apakah kau ingin maju duluan melindungiku, Ulung Gabah?” tanya Kentang Kebo.
“Hamba tidak berani mendahului Gusti Pendekar,” jawab Ulung Gabah sok bijak seraya menjura hormat kepada junjungannya.
“Hahaha!” tawa Kentang Kebo mendengar jawaban Ulung Gabah. Lalu katanya, “Mereka para pendekar dari Kerajaan Sanggana Kecil yang terkenal. Kapan lagi ada kesempatan mati di tangan pendekar terkenal, Ulung Gabah?”
Ulung Gabah hanya tersenyum kecut tanpa bisa menjawab pertanyaan Kentang Kebo.
Ehehehek!
Tiba-tiba kuda yang ditunggangi oleh Ulung Gabah meringkik kencang dengan kedua kaki depan diangkat naik.
Ulung Gabah yang terkejut sigap berpegangan kuat pada tali kekang kudanya. Dia berusaha sekuat mungkin tetap bertahan di pelana kudanya. Dia tidak mau jatuh. Dan usahanya berhasil.
Drap drap drap…!
Namun, setelah itu, sang kuda berlari sangat kencang membawa Ulung Gabah yang panik. Cepat Ulung Gabah menarik tali kekang kuda untuk mengerem laju kudanya. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Seolah-olah kuda itu tidak terpengaruh atas tarikan tali kendalinya.
Ulung Gabah tidak tahu apa yang terjadi pada kudanya.
Di saat Suoto, Marno dan pasukan terkejut melihat kajadian itu, Kentang Kebo terlihat tenang-tenang saja. Sepertinya dia patut dicurigai.
Penyair Ngik Ngok yang sudah tiba kepada Penjebak Kepeng dan Perempuan Angin Bangkai, mengalihkan perhatiannya kepada Ulung Gabah yang melaju ke arah mereka. (RH)