Dimana masih ada konsep pemenang, maka orang yang dikalahkan tetap ada.
SAKA AKSARA -- dalam mengemban 'Jurus-Jurus Terlarang', penumpas bathil dan kesombongan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKSARA 23
Pagi di rumah minimalis Saka.
"Eh, kenapa nih anak curut manja banget," kata Aryani saat Saka menyanggakan dagu di pundaknya dengan aroma lesu.
Tangan Aryani sedang sibuk dengan wajan dan spatula di depan kompor. Ayam kecap di sana masih setengah matang. "Kagok ini Mama, Sak, lagi masak juga! Kamu ni kenapa, sih?"
"Boleh gak Saka gak masuk sekolah dulu, Ma?"
"Kenapa?" tanya Aryani masih sambil mengoseng.
Saka menarik diri lalu melangkah ke meja makan. Satu kursi ditarik lalu didudukinya. "Males aja, Ma.” Teko beling berisi air putih dituangnya ke dalam gelas, lalu meneguk sampai tidak bersisa. "Boleh ya, Ma? Sekaliiii aja."
"Gak usah macem-macem!"
"Satu macem aja, Ma!"
"Hey!" tegur Aryani sembari mengacungkan spatula ke arah Saka. "Gak ada males-males, bentar lagi ujian kenaikan kelas. Mama gak mau denger nilai kamu ada merahnya lagi."
Yeaah ...
Pada akhir tetap tak bisa mendebat harga mati Aryani, Saka pergi ke sekolah membawa perasaan yang kurang baik.
Jam pelajaran berlalu seperti biasa. Saat istirahat Saka keluar bersama Yudistira dan Alfa, mereka hanya ngobrol biasa sembari makan camilan.
Masuk kembali di jam pelajaran ketiga dan keempat, waktu dihabiskan dengan praktek membuat sketsa atap bangunan hingga jam pelajaran benar-benar berakhir.
Saat keluar, Saka berniat akan mengantar Baim pulang sekalian ingin meminjam sebuah buku, namun setelah sampai di parkiran ....
"Kok motor gua gak ada, Im?!" Saka kelabakan mengedar pandangan dan badannya sekaligus.
Motornya tidak ada di tempat.
Baim melakukan hal serupa, ikut mencari. "Eh, iya gak ada, Sak! Lu yakin parkir di sini?"
"Ya elah, Baim ... mau ngerobah juga kagak ada tempat lagi. Yakin di sinilah gua."
"Coba kita tanya Pak Muis!" Baim berlari menuju pos satpam, Saka mengikuti dari belakang sama tergesa.
Jawaban Pak Muis Jauhari saat habis pertanyaan Saka, "Lho, tadi keluar bukan kamu toh, Sak?" Satpam itu malah balik bertanya dengan muka terheran-heran.
"Bukan, Pak!" jawab Saka. Wajah yang biasa tenang mulai meresah.
"Wah, jangan-jangan maling, Sak! Bisa gawat ini."
Saka merenyih, kalau sampai itu benar ... “Mama ....”
"Pak Muis kenal gak siapa yang bawa motornya?" Ibrahim maju bertanya.
Satpam itu nampak berpikir, lalu ... "Mukanya sih gak keliatan. Dia pake sweater yang ada kudung soalnya. Saya antepin karena ngiranya itu kamu, Sak. Pake celana seragam juga soalnya."
Panjang napas terbuang dari mulut Saka, pikirannya langsung kusut saja. "Jadi ini alesan gua males berangkat sekolah," cicitnya dalam hati.
"Ayo cek CCTV!" Pak Muis baru terpikirkan itu.
Saka dan Baim mengikuti gegas ke dalam pos yang diawasi petugas lain.
Dan yang terekam sesuai penjelasan Pak Muis.
Anak cowok berhoodie hitam dengan wajah tak jelas milik siapa. Meski seratus kali diamati, mereka tetap tak mengenali. Posturnya pasaran, bukan hanya mirip dengan sembilan atau sepuluh murid. Sweater yang dikenakan juga terlalu umum.
Saka mulai frustrasi.
Beberapa waktu habis untuk membahas dengan Pak Muis dan seorang guru olahraga pria, sampai sekolah dalam keadaan sepi.
Saka mengaku tidak meminjamkan motornya pada siapa pun, kuncinya bahkan masih dia kantongi.
"Besok kami akan tanyai semua anak di tiap kelas, siapa anak laki-laki yang keluar lebih dulu tepat bell pulang berbunyi, atau yang gak masuk kelas," kata guru lelaki bernama Yusron itu pada Saka. "Bila perlu kita akan libatkan polisi."
"Soal polisi gak usah, Pak!" sergah Saka. "Saya malu, cuma motor butut."
“Lho kok gitu?”
“Gak apa-apa, Pak. Kalo masih rezeki juga pasti ketemu.”
Semua hanya bisa mendesah pasrah.
Saka yang masih ditemani Baim melangkah gontai menuju gerbang.
"Yang sabar, Sak. Moga motor lu secepatnya balik."
"Iya, Im, makasih. Gua minta maaf gak jadi nganterin lu pulang."
"Apaan sih lu?!" hardik Ibrahim. "Gak usah pikirin gua. Gua masih ada ongkos buat ngangkot kok.”
Saka mengangguk dengan raut merasa bersalah. Padahal Baim sudah semangat tadi. Akhirnya berujung begini.
Sekarang mereka sudah sampai di jalanan raya tempat pengeteman angkot.
"Gua duluan ya, Sak." Sekilas Ibrahim mengusap bahu Saka yang lebih tinggi darinya itu.
"Iya, Im. Ati-ati lu."
Baim naik ke dalam angkot lalu melaju. Sisa Saka dengan segenap resah dan kehampaannya.
Tiba-tiba di saat sama saat Saka mulai melangkah, sebuah mobil mewah berhenti di hadapannya.
Kaca bagian belakang turun perlahan dan memperlihatkan Liona dengan wajah bening dan rambut indahnya yang hitam legam.
"Sak! Kamu ngapain berdiri di situ?" tanya Liona melongokkan kepala hingga keluar melewati kaca.
Saka melengak ke wajah yang sudah sangat dikenalinya itu. "Eh, Li. Mau kemana?"
"Aku mau ke rumah tanteku, jalannya emang ke sini. Kamu gak bawa motor?"
Mendengar kata 'motor' raut wajah Saka jadi murung kembali, dengan pelan dia menjawab jujur, "Motor aku ilang di sekolah siang ini, Li.”
Sontak mengejutkan Liona. "Kok bisa?! Emang gak ada satpam?!"
Saka tersenyum sumbang lalu menjawab, "Tugas satpam gak cuma jagain parkiran. Kasian kalo salahin dia. Aku duluan ya, Li." Langsung dia berlalu begitu saja. Mood-nya benar-benar sedang buruk, tidak ada minat bicara panjang lebar dengan Liona.
"SAKA! AKU ANTERIN PULANG AYOOO!"
Saka menolehnya sembari jalan. Kepalanya menggeleng didukung kalimat menolak, "Gak usah, Li, makasih." Lalu berdadah singkat, berbalik badan kemudian berlari.
Di dalam angkot perjalanan pulang, Saka terus merenung dan memikirkan bagaimana caranya bicara dan menjelaskan pada Aryani. Akan bagaimana sikap ibunya itu dengan dia yang telah menghilangkan motor yang bahkan belum genap sebulan dalam kepemilikan.
Saat yang keruh itu, ponsel di saku celana berdering singkat.
Ada pesan masuk.
Saka meraih untuk melihatnya.
Nomor baru lagi.
Bunyi pesan yang cukup panjang melebarkan mata Saka Aksara.
Foto motornya lengkap dengan isi pesan;
'𝙳𝚊𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚎 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚔𝚊𝚗𝚐 𝚐𝚎𝚍𝚞𝚗𝚐 𝚇𝚇𝚇 𝚍𝚒 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝙻𝚒𝚖𝚊𝚞. 𝚐𝚔 𝚞𝚜𝚊𝚑 𝚕𝚎𝚋𝚊𝚒 𝚋𝚊𝚠𝚊 𝚙𝚘𝚕𝚒𝚜𝚒, 𝚐𝚞𝚊 𝚌𝚞𝚖𝚊 𝚙𝚒𝚗𝚓𝚎𝚖 𝚋𝚊𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚛𝚘𝚗𝚐𝚜𝚘𝚔 𝚕𝚞 𝚋𝚎𝚗𝚝𝚊𝚛𝚊𝚗 𝚍𝚘𝚊𝚗𝚐'
Tanpa berpikir, nomor itu ditelepon-nya, tapi tidak diangkat, bahkan hingga kali ketiga.
Saka lalu mengetik cepat; Share loc!
Dia tidak tahu di mana letak gedung yang dimaksud.
Tak berapa lama, balasan muncul. Alamat jelas melalui maps.
Cepat anak itu mengambil keputusan, "Kiri, Pak!"
Turun dari angkot lalu berlari seperti atlet maraton.
Tempat yang disebutkan ternyata berlawanan dengan arah dia kembali.
Ada ojek, segera dinaikinya.
Ternyata cukup jauh. Ojek itu dibayar dengan harga 25 ribu setelah sampai, uang jajan seminggu jadi berkurang. Sekarang dia berdiri di hadapan sebuah bangunan yang lantainya berjumlah lima. Mendongak ke ketinggian lalu menelisik sekitar.
Gedung lapuk yang tertunda pembangunannya.
Tak lama ponsel berdering lagi. Kali ini panggilan.
Saka menempelkan benda itu ke telinganya setelah menggeser icon berwarna hijau.
“Jalan ke belakang gedung lewat arah kiri.”
Tajam mata Saka menatap sekeliling bangunan.
Ternyata dia sudah diamati, orang itu tahu dia sudah di sana.
Tanpa mengatakan dan menyela apa pun, Saka melangkah mengikuti instruksi, hingga geraknya berakhir di sebuah tempat.
Dan ....
sama-sama beresiko dan bermuara pada satu orang.. yordan..
🙏