Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
nabil mulai berhitung
Santi pulang dengan langkah ringan. Udara malam seolah lebih ramah dari biasanya. Senyumnya mengembang ketika melewati Lina yang sedang duduk. Lina melirik sekilas, bibirnya tertarik ke satu sisi, tetapi Santi hanya tersenyum sambil mengangguk pelan.
Banyak yang kagum dengan santi, dia tidak lemah walau orang tak punya, tak mudah ditindas dia akan melawan., dan akan bertarung dengan siapapun yang coba-coba menyakiti nabil
Memang, tak semua orang senang. Sebagian mencibir, menyebutnya sombong, terlalu percaya diri, bahkan belagu karena tak mau "mengalah seperti perempuan pada umumnya". Tapi Santi tak peduli. Ia tahu siapa dirinya sekarang.
Sampai di rumah, hatinya makin hangat saat melihat Nabil sedang bermain di teras bersama Heru. Anak itu tertawa pelan, tangannya menggerakkan potongan kayu kecil yang dibentuk seperti robot. Heru sabar menemaninya, bahkan ikut tertawa meski langkahnya terbatasi dan punggungnya agak membungkuk.
Namun bagi Santi, semua itu tak masalah. Melihat Nabil tertawa saja sudah cukup membuatnya merasa menang dalam hidup.
“Gimana, Kak?” tanya Heru ketika melihat Santi duduk di dekat mereka.
“Hanya masalah kecil, Ru,” jawab Santi santai. “Mulai besok, Kakak mau fokus jualan gorengan aja. Ya begitulah, kalau kerja sama orang, pasti suatu saat kita diperlakukan seenaknya.”
Heru mengangguk pelan, lalu tiba-tiba mengeluarkan uang dari sakunya.
“Kak, aku punya tujuh puluh ribu,” ucapnya penuh semangat.
“Buat apa, Ru?” tanya Santi heran.
“Aku mau berhenti jadi kuli. Aku mau dagang aja, kayak Kakak.”
Santi tersenyum lebar. “Oke, jadi ini modal kamu?”
“Iya, Kak.”
Santi pura-pura serius. “Kamu harus bayar Kakak sepuluh ribu. Sisa keuntungannya buat kamu.”
Heru mengerutkan kening. “Loh, kenapa Kakak perhitungan banget sama aku?”
Santi tertawa. “Hehe… ini bukan soal perhitungan, Ru. Ini pelajaran pertama. Kamu juga harus punya buku catatan kayak Kakak. Catat setiap hari: kamu laku berapa, modal berapa, untung berapa.”
“Kenapa sih? Dagang gorengan aja harus dicatat segala?”
Santi menepuk pundaknya pelan. “Kalau kamu nggak punya catatan keuangan, kamu nggak bisa kendalikan keuanganmu sendiri. Kamu nggak tahu targetmu, nggak tahu di mana kamu rugi, di mana kamu untung. Dalam berdagang, kita harus pandai berhitung dan mencatat. Kalau nggak, bisa-bisa kita kerja keras tapi nggak pernah merasa cukup.”
Heru menggaruk kepala yang tak gatal. Wajahnya menunjukkan kebingungan.
“Jadi kamu mau tetap berdagang atau jadi kuli?” tanya Santi sambil menahan tawa.
“Awalnya aku kira dagang itu cuma jual barang, terus dapat uang gitu aja…”
“Hehe, banyak orang tergoda sama kalimat, ‘berdaganglah kalau ingin kaya’. Tapi mereka lupa, berdagang bukan jalan pintas. Harus siap lelah, fisik dan pikiran.”
Santi menatap adiknya lekat-lekat. “Kalau kamu kerja jadi kuli, badan capek, dapat uang, makan, tidur. Tapi kalau dagang, otakmu juga harus kerja. Kamu harus cari ide, cari tahu apa yang disukai pembeli, belajar menawarkan dagangan , belajar gagal dan bangkit lagi.”
Heru mengangguk perlahan. “Aku siap, Kak. Kata Abil, berpikir itu menyenangkan.”
Santi terbelalak. “Apa kamu nggak bohong, Ru?”
“Enggak, Kak. Serius. Abil itu banyak banget nanya. Aku kadang pusing jawabnya. Kenapa sih kalau malam gelap? Kenapa siang terang? Kenapa aku tinggi, dia nggak? Tapi terus dia bilang, ‘berpikir itu menyenangkan’.”
Santi tersenyum haru. Ia menoleh ke arah Nabil yang kini sudah terlelap di lantai, tangan mungilnya memeluk kayu kecil buatannya.
Air mata menetes perlahan. Keputusannya berpisah dengan Bayu benar-benar keputusan terbaik. Nabil kini berkembang pesat. Tak ada lagi jeritan, tak ada ketakutan. Yang tersisa hanya tawa, rasa ingin tahu, dan kecerdasan yang terus tumbuh.
“Ka, besok aku mulai jualan ya,” ucap Heru memecah lamunan.
Santi mengusap air matanya cepat-cepat. “Oke, Ru. Kakak akan ajarin kamu cara jualan dan mencatat keuangan. Kita mulai dari kecil, tapi serius.”
Heru tersenyum lebar, semangat memancar dari sorot matanya. Pagi itu terasa berbeda—lebih hangat, lebih penuh harapan.
Santi terbangun bersamaan dengan lantunan shalawat tahrim dari musala dekat rumah. Udara pagi masih dingin, namun semangatnya tak kalah menyala. Dengan cekatan, ia menyiapkan dagangan dan sarapan sederhana untuk Nabil dan Heru.
Tak lama kemudian, suara adzan subuh berkumandang, membangunkan Heru dari tidurnya. Dengan sigap, remaja itu mengambil air wudu dan bersiap menjadi imam. Meski sajadah dan sarungnya lusuh, bacaan Heru terdengar cukup fasih. Ia sudah bisa mengaji sejak usia sembilan tahun, berkat didikan almarhumah ibunya.
Usai shalat, mereka bertiga bersiap menjajakan gorengan buatan Santi. Mereka berjalan kaki menyusuri gang demi gang, menawarkan dagangan dari rumah ke rumah. Heru memperhatikan setiap langkah Santi—dari cara menyapa pelanggan, menyusun gorengan, hingga bagaimana menanggapi penolakan dengan senyuman. Hari ini, Heru masih magang. Besok, Santi berencana melepasnya jualan sendiri.
“Berdagang itu harus dimulai dari langkah kecil, bukan cuma angan-angan,” kata Santi sambil menepuk bahu adiknya.
Nabil tampak senang, sesekali tertawa digendong Heru. Kehangatan pagi itu begitu terasa. Tepat pukul tujuh, seluruh dagangan ludes. Santi tersenyum puas.
“Kita harus langsung ke pasar, Ru,” ujar Santi. “Kamu harus belajar memilih bahan yang murah tapi berkualitas.”
..
:
Santi, Heru, dan Nabil sampai di pasar. Suasana sudah ramai, para pedagang berseru menawarkan dagangan.
“Belanja di Ko Ahong aja, Ma,” kata Nabil datar sambil menunjuk ke arah kios yang rapi di ujung.
Santi menoleh sambil tersenyum. “Di sana mahal, Nak.”
“Cuma beda dua ribu, Ma. Tapi barangnya bagus dan timbangannya pas,” jawab Nabil tenang.
Santi mengernyit, penasaran. “Kok kamu tahu?”
“bawang di ko ahong kering bersih tidak bau busuk,cabenya seger dan tidak layu, cabe yang layu dia berikan pada orang yang belanja lebih banyak” ucap nabil pelan datar tanpa ekspresi apapun dan ajrinya terus bergerak seperti sedang menghitung
“Terus timbangannya gimana kamu tahu pas?”
“Ko ahong pakai timbangan digital hasil timbangan diberi tahu kepada pembeli, dia ga mau nuruni harga karena dia sudah menghitung dengan pas”
Sesampainya di kios sayur milik Ko Ahong, Santi langsung sibuk memilih bawang merah dan cabai. Sementara itu, Nabil berdiri di samping meja tempat Ko Ahong melayani pembeli lain. Bocah kecil itu menatap angka-angka di timbangan dan tumpukan uang di tangan Ko Ahong dengan penuh rasa ingin tahu.
Seorang pembeli menyebutkan pesanannya, “Om, saya mau 3 kilo bawang, 2 kilo cabai, dan 1 kilo tomat ya.”
“Bawang 12 ribu, cabai 18 ribu, tomat 9 ribu,” gumam Ko Ahong sambil menghitung cepat dengan kalkulator.
Tiba-tiba Nabil bersuara pelan, “Totalnya delapan puluh satu ribu, Om.”
Ko Ahong mendelik ke arah Nabil. “Eh, jangan ganggu dulu, ini susah hitungannya.”
Nabil hanya tersenyum tenang. Namun setelah beberapa detik, Ko Ahong memencet kalkulatornya dan terdiam. Matanya membesar.
“Wah... bener. Sama persis!” gumamnya setengah tak percaya.
Ia menatap bocah kecil itu dengan heran. “Kamu hitung pakai apa?”
“Pakai otak,” jawab Nabil santai.
Heru yang melihat dari kejauhan langsung tertawa kecil, sementara Santi hanya menggeleng pelan, matanya berbinar penuh kebanggaan.
Tak puas, Ko Ahong menguji lagi. “Kalau ini? Lima kilo kentang 10 ribu, tiga kilo wortel 7 ribu, dua kilo buncis 8 ribu.”
Nabil hanya mengedip sebentar. “Sembilan puluh sembilan ribu, Om.”
Dengan cepat, Ko Ahong menghitung ulang dengan kalkulator. Angka di layar sesuai. Ia terkesiap.
“Kamu ini anak siapa, sih? Umur berapa?” tanya Ko Ahong makin penasaran.
“Umurku baru enam tahun. Aku anak Bu Santi,” jawab Nabil tenang.
Ko Ahong menggeleng-geleng, terkekeh. “Pantas Bu Santi dagangannya laris, anaknya aja jenius begini.”
Santi yang mendengar itu hanya bisa tersenyum haru. Rasanya setiap hari, ada saja kejutan dari Nabil. Ia hanya berharap satu hal: semoga anak itu selalu diberi kesehatan. Karena lebih dari sekadar keajaiban, Nabil adalah anugerah.