Jelita Sasongko putri satu satunya keluarga Dery Sasongko dipaksa menikah dengan Evan Nugraha pengawal pribadi ayahnya. Jelita harus menikahi Evan selama dua tahun atau seluruh harta ayahnya beralih ke panti asuhan. Demi ketidak relaan meninggalkan kehidupan mewah yang selama ini dia jalani dia setuju menikahi pengawal pribadi ayahnya. Ayahnya berharap selama kurun waktu dua tahun, putrinya akan mencintai Evan.
Akankah keinginan Dery Sasongko terwujud, bagaimana dengan cinta mati Jelita pada sosok Boy?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11
Jelita benar-benar memanggil Dokter pribadinya datang ke mansion untuk memeriksa Evan. Kedatangan Dokter Leo sedikit mengundang rasa heran bagi orang-orangnya Evan termasuk Kiara. Tatapan geram dari Kiara menyambut kedatangan Dokter Leo. Sebab selama ini Evan hanya percaya Kiara untuk merawat lukanya.
Setelah memeriksa luka Evan dan mengganti perbannya, Dokter Leo pun pamit pulang. Evan duduk ditepi ranjang sembari menatap istrinya, senyum mengembang dibibir merahnya. Dia pernah terluka lebih parah dari ini, tapi tak pernah absen dari pekerjaannya. Kecuali dia sudah tak mampu bergerak dari tempat tidur.
"Jelita, aku punya banyak pekerjaan yang harus di urus. Kalau kau mengurungku begini tuan Sasongko akan memecatku nanti," ujar Evan berusaha membujuk Jelita.
"Dia tak akan berani memecat mu. Lagi pula aku sudah memintanya memberimu cuti dua hari." Jelas Jelita penuh ketenangan sembari menyusun obat Evan di atas nakas.
"Dua hari? apa kau bercanda?!"
"Tidak!"
"Je, aku tidak bisa meninggalkan prusahaan terlalau lama."
"Prusahaan?" Tanya Jelita sembari menatap lekat wajah Evan.
"Maksudku pekerjaanku melindungi perusahaan papamu," jawab Evan cepat.
"Sudah terlanjur meminta cuti dan papa sudah mengijinkan. Jadi tidak perlu membahas ini lagi, sebelum dua hari jangan berpikir untuk kembali bekerja." Titah Jelita tegas.
Mendangar itu Evan mendadak sakit kepala, terbayang olehnya pekerjaan yang harus segera ditangani. Terutama penyerangan Jelita di mall. Kalu dibiarkan terlalu lama takutnya pelaku akan menutup jejak dan tak akan terlacak.
"Kita tidur dimana?" Tanya Jeliat memecah keheningan.
"Untuk sementara lebih baik kita tinggal disini. Tempat ini tak kan mampu mereka jangkau." Jelas Evan.
"Baiklah kalau menurutmu begitu, kita tidur disini."
"Kita?" Tanya Evan membulatkan bola matanya.
"Harusnya aku yang keberatan, ini kenapa kamu," sungut Jelita manik hitamnya menatap Evan lekat.
"Bukan seperti itu sayang, aku hanya takut tak mampu menahan diri tidur disamping istriku." ucap Evan dengan senyum nakal.
"Cih! sayang!" cibir Jelita dengan Jantung berdebar kencang. Senyum nakal Evan membuatnya olah raga jantung. Entah mengapa belakangan ini janting bisa berdetak kencang hanya dengan tatapan Evan.
Evan tertawa pelan, dia bisa melihat pipi Jelita yang berubah merah karena candaannya barusan.
"Evan kita makan malam dimana?" tanya Jelita mengalihkan pembicaraan.
"Kita makan disini bersama yang lain."
"Aku tidak mau, suruh orangmu mengantarkan makan malam kita kesini."
Evan tak langsung mengiyakan keinginan Jelita, dia menatap Jelita dengan sorot mata menolak permintaan Jelita. Tapi Jelita membalas Tatapan Evan dengan lebih tegas.
Tak ingin bersiteru hanya karena makan malam, Evan menghubungi orangnya agar mengantar makan malam mereka kedalam kamar.
Jelita menata beberapa menu yang diantar kekamarnya diatas meja.
"Apa kiara tinggal di markas ini juga?" tanya Jelita ditengah makan malamnya.
"Iya, hanya sesekali dia pulang kerumah orang tuanya." sahut Evan.
"Ooo."
Setelah itu mereka menghabiskan makan malam dengan suasana sunyi. Baik Jelita maupun Evan tak punya bahan untuk dibicarakan.
"Aku tidur dimana?" tanya Jelita. Matanya sudah tak mampu menahan kantuk. Sementara dia bingung mau tidur dimana?
"Disini," sahut Evan sembari menepuk tempat disisinya. Jelita menatap wajah Evan yang tengah berbaring diatas ranjang, sepertinya tempat itu terlihat nyaman.
"Aku takut."
"Jangan kawatir, aku sedang sakit tidak bisa melakukan apapun padamu,"
"Janji."
"Hemm."
Walau ragu Jelita tetap naik keatas ranjang dan berbaring disebelah Evan. Seperti janjinya, Evan tak mengaggu. Evan hanya diam sembari memejamkan matanya. Atau mungkin dia sudah tetidur. Melihat itu Jelita merasa tenang hingga tak ragu untuk memejamkan matanya dan terlelap.
Evan tak benar-benar tidur, dia tau Jelita tak kan merasa tenang kalau Evan belum tidur. Evan membuka matanya setelah yakin Jelita sudah tertidur. Dengan langkah pelan dia turun dari ranjang meninggalkan Jelita sendiri didalam kamar.
Diruang kerjanya Evan tengah berkutat dengan komputernya. Memeriksa email yang dikirim orangnya yang berada di kepolisian.
"Sampai kapan kau harus bersembunyi dasar Ba bi gendut." umpat Evan saat membuka Email. Seringai licik menghiasi wajah tampannya.
Evan memeriksa bukti-bukti yang dikirim informannya, semua bukti itu mengarah kesatu orang, sosok yang selama ini dia curigai.
Evan melihat penanda waktu diponselnya, sudah hampir jam satu malam. Dia memutuskan kembali kekamar dan istrhat, sebelum istrinya terbangun dan menyadari dia tak berada dikamar.
Hatinya lega saat Jelita masih tertidur pulas diatas tempat tidur. Perlahan dia merebahkan tubuhnya disamping Jelita.
Sudah hampir setengah jam Evan menatap wajah Jelita, sesekali jemari kokohnya menyentuh pipi Jelita yang terasa begitu halus.
Ingatan Evan terbang ke beberapa tahun lalu, saat itu Jelita sedang liburan keparis. Dia baru saja lulus SMA. Bersama dengan tiga teman wanitanya Jelita terbang keparis. Tentu saja dengan pengawalan ketat.
Tak disangaka, sesampai disana dia bertemu dengan tiga laki-laki teman satu sekolah Jelita. Salah satu dari mereka menyukai Jelita. Dia ingin mengambil kesempatan di pertemuan ini dengan menaruh obat Perang sang di minuman Jelia. Tak ayal Jelita pun terjerat.
Jejadian itu tak luput dari pantauan pengawalnya, yang dipimpin oleh Evan. Jelita yang sudah terpengaruh obat segera di selamatkan Evan kesebuah kamar hotel tempat Jelita menginap.
"Berani sekali kau masuk kekamarku!" bentak Jelita . Tubuhnya terhuyung mendatangi Evan yang duduk disudut ruangan kamar. Evan yang tak memiliki pengalaman dengan wanita, sedikit gugup melihat tingkah Jelita.
Jelita berhenti saat tubuhnya sudah menyentuh tubuh Evan, bau alkohol langsung meruar dari tubuhnya.
Dengan sedikit mencondongkan tubuhnya Jelita memandangi Evan dengan seksama. "Hhh untung kau tampan, kalau tidak aku sudah menendangmu keluar dari kamarku!" ucap Jelita arogan. Sikap yang terlihat begitu manis dimata Evan. Sebagai lelaki normal ingin rasanya dia merasai mulut lancang nona mudanya.
"Nona sebaiknya kembali ketempatmu," titah Evan sembari mendorong tubuh Jelita dengan gerakan halus.
Bukannya menjauh, Jelita malah semakin mendekat. Bahkan tubuhnya menempel begitu lekat. Dada Evan bergemuruh tak karuan saat dua benda kenyal yang menempel padanya bergerak menggesek tubuh kekar Evan karena gerakan Jelita.
"Diamlah!" titah Evan sembari mencengkram lengan Jelita, menahan gerakan tubuhnya yang mengundang hasratnya kelelakiannya.
"Sakit! bibir dan tindakanmu sama kasarnya," rengek Jelita jemari lentiknya menyentu bibir Evan dengan lembut.
"Nona kembalilah ketempat tidur istrahat disana, kau sedang mabuk," ujar Evan sembari membimbing tubuh Jelita keatas ranjang. Evan bersukur Jelita mematuhi perintahnya.
Jelita dibantu Evan naik keatas ranjang, berbaring disana bergelung dibawah selimut tebal.
"Nona tidurlah, aku akan tidur disofa." ujar Evan dengan suara pelan. Sebab Jelita terlihat sudah terpejam.
Evan baru saja terlelap ketika jemari lentik menjamahi tubuhnya. Replek Evan menangkap Jemari Jelita menarik tubuhnya berniat membanting tubuh mungil itu keatas lantai.
"Nona!" Seru Evan sembari menahan gerakannya. Tak ayal tubuh Jelita yang dia tarik sekuat tenaga jatuh menimpah tubuhnya. Bukannya marah Jelita justru mendesis seperti seorang yang sedang bergai rah.
Ada yang tak beres dengan Jelita dan Evan menyadari itu. Apa lagi ternyata gaun Jelita saat ini terlihat berantakan.
"Aku mau dirimu.." rintih Jelita diatas tubuh Evan yang masih termangu menatap Jelita diatas tubuhnya. Mata sayu dengan pipi merona merah, bibir yang basah membuat kepala Evan berdenyut seketika. Bukan hanya kepala atas kepala bawahnya kini bereaksi.
Jemari Jelita mulai menjamahi tubuh Evan, napasnya tersenggal tak karuan, membuat dadanya yang membusung naik turun begitu menantang. Untuk sesaat Evan begitu menikmati sentuhan nona mudanya. Sentuhan yang begitu penuh gairah, tapi saat nalarnya kembali berpungsi dia menolak segala reaksi ditubuhnya.
"Si al! apa yang aku lakukan!" sentak Evan. Dengan cepat diamenarik tubuh Jelita kesamping, tubuh itu jatuh membentur lantai.
"Sakit!" Pekik Jelita dengan mata berkabut, has rat masih menguasainya.
"Maaf nona, aku terpaksa melakukan ini." Evan meraih pergelangan tangan Jelita membawanya kekamar mandi, lalu menguyur tubuh hangat itu dengan air dingin.
"Dingin tau!" Bentak Jelita meradang. Tubuhnya meronta berusaha lapas dari cekalan Evan. Dengan tubuh basah kuyup yang hanya ditutupi sebagian gaun yang tersisa, gerakan Jelita begitu menyiksa Evan. Dia lelaki normal yang memiliki has rat yang juga normal. Melihat tubuh lawan jenis sedang ber hasrat tentu saja mengundang has ratnya juga.
"Si al!" umpatnya saat juniornya sudah tak mau lagi diajak kompromi. Sebelum semua tak terkendari Evan memilih keluar dari kamar mandi mengunci Jelita didalam seorang diri.
"Hey buka! Aku akan membunuhmu kalau kau tidak buka!" Pekik Jelita dari dalam kamar mandi. Evan tak menggubris dia memilih mengendalikan hasratnya kelelakiannya yang hampir tak terkendali.
Setelah menunggu beberapa saat, suara Jelita tak lagi terdengar. Saat Evan masuk Jelita tampak tertidur dilantai kamar mandi yang basah.
Evan tersenyum mengenang kejadian itu, kejadian yang tak pernah dia lupa seumur hidup. Kejadian yang menumbuhkan rasa cinta pada nona mudanya.
Saat sasongko mengutarakan niatnya menikahkan mereka Evan menerimanya dengan senang hati. Walau diabtau ada niat tersembunyi dari Sansongko terhadap pernikahan mereka.
Dia tak perduli dengan setatus suami atau pengawal pribadi, asalkan bisa berada disamping Jelita melindunginya dengan segala kemampuannya itu sudah lebih dari cukup. Begitu pemikiran Evan dulu. Tapi saat berada begitu dekat dengan Jelita, dia mulai serakah. Rasa ingin memiliki Jelita seutuhnya mulai timbul menguasai pikirannya.
Evan menarik napas dalam, membelai wajah Jelita memeluk tubuh mungil itu dengan lembut. Lalu memejamkan matanya mencoba untuk tidur.
To be continuous