NovelToon NovelToon
Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:758
Nilai: 5
Nama Author: Bechahime

Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Manual Hidup Meisya : Jangan Ditiru, Tapi Juga Jangan Diremehkan (Bagian 2)

Pagi ini aku bangun dengan niat yang mulia: menjadi dewasa, tenang dan tidak overthinking. Tapi tentu saja, hidup bilang:

“Hahaha. Lucu lo, Mei.”

Jadi begini. Hari ini aku sengaja datang lebih pagi dari biasanya, karena niatnya pengen duduk manis, kerja tenang dan sarapan cilok dengan minuman boba rasa taro. Tanpa harus di kerubungi oleh anak magang yang nanya kenapa suka minum boba tapi gak gendut juga. Baru aja duduk, baru ambil tusukan cilok yang kedua, tiba-tiba datanglah sosok pria asing masuk ke ruangan.

Tinggi. Rapi. Kemeja licin. Bawa map.

Aman dari jauh. Tapi mencurigakan dari dekat.

Karena…dia ngeliatin aku. Lama. Senyum.

Se-nyum.

Lalu jalan ke arahku. Aku langsung ngefreeze.

‘Wah gila…cowok ini fix gelirik gue dari tadi. Mungkin dia dari departemen IT. Atau mungkin… di bos baru yang undercover? Atau…atau jangan-jangan…ini…jodoh guee?’

Jantungku deg-degan. Mataku nunduk. Cilok di tangan mulai ngeluarin kuah dari plastiknya. Aku langsung ambil posisi “cool tapi aprroachable” alias tangan nyender di kursi sambil pura-pura baca file yang isinya sebenernya struk beli cemilan di minimarket.

Dan saat dia akhirnya berdiri di depan mejaku, dia buka mulut dan berkata,

“Maaf, mbak…tau tempat fotokopi sebelah mana yak?”

“…..”

……

Seketika harga diriku turun kayak diskonanan late night sale. Deg-degan tadi berubah jadi…asam lambung naik. Bubar semua narasi romantik yang udah aku siapin di kepala. Ternyata dia cuma…nanya tempat fotokopi.

Dan aku?

Bahkan sudah membayangkan nanti resepsi mau pakai adat mana.

“Di pojok, deket pantry, belok kiri. Nanti ada suara ‘tek-tek-tek’…itu dia,” jawabku datar, sambil menelan ludah dan ego yang hancur.

Cowok itu melemparkan senyum manisnya, bilang makasih dan pergi. Tinggal aku dan cilok yang kuahnya udah berserak di atas meja, yang gak cuma udah dingin, berantakan tapi juga malu.

‘Tuhan, ini ujian ya? Atau lagi ngetes reflex absurdku?’

Tapi cerita belum selesai teman-teman. Karena takdir bilang,

“Yuk, gaskeun babak kedua.”.

Tepat jam 10. Aku melangkahkan kaki lunglai ke pantry. Niatnya untuk mengisi tumbler yang sudah habis. Tapi malah kebetulan ketemu sama Mas Tegar yang menawarkan untuk ketemu sama koneksinya yang lagi nyari calon pasangan.

“Minimal coba buka hati dulu Sya, temboknya coba di robohin bentar,” ujar Mas Tegar.

Dia adalah rekan ditempat kerjaku, seorang pria yang sudah di penghujung umur tiga puluhan tetapi masih terlihat muda dan prima. Karirnya sebagai manager divisi marketing juga menambah tampilan necis ala pekerja kantorannya.

Aku dan dia bisa dibilang cukup dekat karena sering berdebat soal pendapatan perusahaan, kita memiliki hubungan cinta dan benci, mengingat aku adalah tim leader divisi akunting.

Yah hal ini tidak lain karena hubungan divisi marketing dan akunting itu tidak akan pernah akur. Akan selalu ada perdebatan di akhir bulan masalah anggaran penjualan, walaupun begitu di luar perusahaan kita dibilang teman satu tongkrongan.

“Gue selalu buka hati kok Mas, para pria itu aja yang gak berani deketin, mungkin mereka mikirnya gue udah taken kali ya” kilahku sambil memutar bola mata.

“Lo selalu pasang tampang judes sih, minimal senyum kek”

“Ya kan gak harus juga gue nyengir-nyegir ngak jelas” tukasku sambil mengisi ulang tumbler ku.

“Maksud gue aura unapproachable lo itu di kurangi, divisi lain pada bilang lo itu pemarah dan sangat sulit untulk di dekatin”.

“Lah siapa suruh mereka menilai dari wajah doang, padahal pada gak berani kalau di depan gue, di belakang gue malah ngomongin gue”, balasku dengan wajah cemberut.

Aku selesai mengisi tumbler. Berdiri sebentar di depannya.

Dia melirikku. Tersenyum— kecil hampir tidak kelihatan. Kemudian geleng-geleng sambil menyesap kopinya.

“Kalau gitu gue duluan ya”

Aku melangkah pelan. Hendak kembali ke meja kerja. Tapi dihentikannya.

“Bentar!”

Aku berhenti. Menutup mata sambil menarik nafas. Lalu berbalik.

“Gimana dengan kencan buta?”

“Hah?”

Aku memiringkan kepalaku, dan tentu saja aku mendengar dengan jelas pertanyaannya, tapi aku ingin memastikan sekali lagi.

‘Ini dia, bom yang seperti apa lagi yang mau dia jatuhkan?’

“Gue punya banyak koneksi jadi lo jelaskan aja kayak apa tipe lo”.

Aku menatapnya dengan wajah tidak percaya. Tapi tidak bereaksi. Hanya berdiri dengan santai sambil menunggu jawabanku.

Aku terdiam beberapa detik. Mengatur pikiranku. Kemudian memaki pria tersebut dalam kepalaku.

‘Mulai lagi, kali ini koneksinya? Baru juga kemaren dia menjodohkan gue sama bocil dari departemen operasional, kenapa orang ini gigih banget pengen nyariin gue pasangan sih? Kenapa dia gak fokus aja sama kerjaannya sih?

Belum sempat aku menjawab ucapannya, Ana yang berada di divisi yang sama denganku nimbrung dengan wajah ceria.

Gadis itu memakai celana kulot berwarna putih dengan atasan kemeja putih dipadu dengan blazer krop berwarna pink, rambutnya dikucir tinggi dengan rapi, dia terlihat stylish dengan kulit putih dan batang hidung yang tinggi, membuatnya terlihat menyenangkan untuk dilihat ditambah karakternya yang ceria membuatnya cukup popular di kalangan pria yang ada diperusahaan.

“Terima aja Mbak, lagian gak ada salahnya juga buat ketemu dulu, siapa tau cocok”

Dia membuka kulkas. Mengambil minuman rasa buah. Kemudian kembali bergabung dengan kami.

“Ah, gue gak nguping, kebetulan gue dengar dari pintu masuk”.

Dia tertawa manis sambil menunjuk pintu depan pantry.

‘Nambah satu lagi’.

“Ana aja sedependapat, apa salahnya dicoba sih Sya?”

“-Well’.

Aku terdiam sejenak. Mataku tertuju kepada dua orang yang terlalu sibuk dengan kehidupan pribadiku itu. Aku menyilangkan tangan di dada dan menjawab dengan pasrah,

“Baiklah, gue buka hati buat yang datang dan bertahan, kita lihat saja nanti seberapa kuat mental koneksi Mas”

Dia tertawa penuh makna. Seakan terdengar mengejek. Keningku kembali berkerut, tapi kali ini aku lebih memilih meninggalkan kedua orang tersebut.

Aku bersandar dengan kasar di kursi kerja. Memejamkan mata beberapa detik. Lalu mendesah pelan,

“Mari kembali bekerja, Meisya!”

Aku menegakkan punggungku. Meraih mouse komputer. Memantapkan pikiran ku ke layar yang ada di depanku.

‘Toh pada akhirnya mereka akan menyerah pada waktunya, aku sudah sering ketemu sama pria yang semangat di awal lalu kemudian menghilang tanpa kabar’

Aku sudah beberapa kali di dekati, atau lebih tepatnya mereka ingin berkenalan denganku via orang ketiga. Seperti teman masa kuliahku atau teman di lingkungan tempatku tinggal.

Namun anehnya saat aku bersedia untuk berkenalan dengan mereka, mereka selalu menghilang atau tanpa mengenal lebih dulu mereka langsung saja menilaiku dengan buruk.

Terkadang aku bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang di wajahku yang membuat mereka kabur, atau apa aku sejelek itu?

Waktu pertama kali hal ini terjadi padaku tentu saja membuat kepercayaan diriku jatuh, aku bahkan meminta lingkungan di sekitar untuk menilaiku.

“Jujur menurut lo, apa gue jelek?”

“Apa kepribadian gue juga jelek? Jawab jujur!”

Setelah mencari lebih dari sepuluh responden, seratus persen dari mereka mengatakan aku cukup menarik dan delapan puluh lima persen mengatakan kalau kepribadianku menyenangkan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa aku cukup menarik dan menyenangkan berdasarkan persentase jawaban responden.

“Benerkan? Sebenarnya apa yang kurang sih dari gue? Gue cantik, kepribadian gue juga oke, karir gue juga oke dan gue gak clingy dan gatel, lalu kenapa mereka pada menghilang?”

Ini adalah pertanyaan yang selalu aku tanyain ke satu-satunya sahabat yang aku miliki, Rahma.

“Itu karena Lo belum ketemu yang gentleman aja, lagian dengan kualitas sebaik lo tentu saja pasangannya juga harus dengan kualitas yang sama, itu yang namanya selevel.”

Rahma selalu menjawab dengan bijaksana. Walaupun terkadang juga absurd.

Aku dan Rahma sudah berteman selama 10 tahun. Sejak masih mahasiswa baru universitas. Tapi percintaan Rahma lancr jaya kayak air mengalir.

Bahkan setelah pacaran sekian lama, akhirnya pacarnya datang melamar.

Lalu bagaimana responku? Tentu saja bahagia dan juga tidak.

Kenapa?

Karena aku cemburu woi dengan perjalanan cintanya yang adem ayam tanpa problema yang serius. Dan juga cemburu sama pacar yang bakal jadi suaminya.

Bagaimana kalau nanti setelah menikah dia fokus sama suaminya saja? Terus aku gak punya lagi teman yang bisa di ajak karokean bareng, nonton bareng, curhat sampai pagi atau hanya sekedar keliling pergi review kuliner.

Tapi disisi lain aku juga Bahagia. Bahagia pada akhir kisah cinta mereka yang sampai pada titik pernikahan. Walaupun aku beberapa kali merasa kesal karena pacarnya yang tidak memberikan kepastian.

“Mbak!”

“Mbak!!”

Suara berat memanggil dengan samar. Aku kembali tersadar dan menoleh kearah datangnya suara.

Disana berdiri seorang pria dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter. Bersih dan rapi. Berdiri dengan gugup sambil memegang beberapa berkas di tangannya.

“Um… Saya sudah menyelesaikan laporan untuk pengeluaran event tahun baru, hard copy invoice karangan bunga belum di kasih marketing tetapi kemaren adminnya sudah mengirimkan photo invoicenya, jadi saya lampirkan saja photonya”

Aku mengambil dokumen yang dia serahkan. Membuka lembar per lembar. Lalu menutupnya.

“Saya review dulu nanti di follback lagi”

“Baik”

Dia kembali ke meja kerjanya dengan kaki yang diseret pelan-pelan. Wajahnya tampak was-was. Alisku bertaut melihat sikapnya yang seperti telah melakukan kesalahan tersebut.

‘Apa gue semenakutkan itu ya? Masak cuma ngobrol beberapa kata saja sudah membuat dia ketakutan begitu?’

Ring. Ring.

Aku menarik gagang telpon di atas meja dan membawanya dekat ke telingaku.

“Meisya, bisa keruangan saya sekarang?”

Itu suara Pak Darwis. Atasanku, dia adalah pria yang berumur hampir enam puluh tahun namun masih fit, berwibawa dan paham dengan pekerjaannya.

“Baik Pak”.

Aku menutup telpon. Mengganti sandal jepitku dengan sepatu. Lalu melangkah ke ruangannya.

‘Hari ini cukup melelahkan dan semoga tidak ada masalah tambahan yang akan membuat otak gue bekerja lebih dari cukup’.

Aku memejamkan mata sejenak. Mengatur isi kepalaku. Kemudian mengetuk pintu officenya dan masuk setelah mendengar suara Pak Darwis dari dalam.

‘Dari suaranya tidak terdengar seperti ada masalah, syukurlah hari ini aman’

Dia tersenyum kecil. Menyuruhku duduk dan mulai berdiskusi. Aku bernafas lega. Kemudian senyum percaya diri aktif menjawab setiap pertanyaan yang di lontarkan Pak Darwis.

**

1
nide baobei
berondong gak tuh🤣
kania zaqila
semangat thor💪😊
nide baobei
ya ampun meisya🤣🤣🤣
nide baobei
ngakak🤣🤣, semangat thor💪
nide baobei
🤣🤣🤭
nide baobei
udah pede duluan🤣🤣
nide baobei
🤣🤣🤣 si meisya lucu banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!